Kisah Pegunungan Matantimali Buruan Atlet Paralayang yang Terdampak Gempa Palu

Pegunungan Matantimali disebut sebagai lokasi paralayang terbaik di kawasan Asia Tenggara. Tak heran, jadi buruan para atlet paralayang, termasuk yang meninggal akibat gempa Palu.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 03 Okt 2018, 01:02 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2018, 01:02 WIB
Paralayang di Pegunungan Matantimali Sigi
Berlokasi di Sigi, Pegunungan Matantimali menjadi lokasi paralayang dan destinasi para turis di Palu. (dok. Instagram @riristamba/https://www.instagram.com/riristamba/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Jakarta - Gempa di Palu menghadirkan beragam cerita, termasuk para atlet paralayang yang terjebak di reruntuhan Hotel Roa Roa, Palu, Sulawesi Tengah. Keberadaan mereka saat itu adalah mengisi Festival Pesona Palu Nomoni (FPPN) yang sedianya digelar pada 28-30 September 2018.

Palu bagi atlet paralayang adalah surga. Kawasan Pegunungan Matantimali yang berada di Kabupaten Sigi, Sulteng, disebut sebagai lokasi terbaik untuk paralayang di kawasan Asia Tenggara.

Sejumlah kejuaraan digelar, baik berskala nasional maupun internasional. Dari ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut, atlet paralayang maupun pengunjung biasa dapat melihat Kota Palu dan sejumlah desa di Kabupaten Sigi dari ketinggian.

Misalnya pada Indonesia Open tahun 2016 lalu, lokasi kejuaraan paralayang dilaksanakan di Desa Wayu, Kecamatan Marawola Barat, pada ketinggian 800 meter dari permukaan laut. Dari tempat itu, para atlet satu per satu mulai terbang dengan parasut.

"Ketika melayang-layang di udara, sepertinya tidak mau cepat-cepat mendarat," kata Ramlah, salah seorang atlet luar negeri asal Singapura yang ikut berlaga pada kejuaraan Indonesia Open berlangsung di Pegunungan Matantimali, dilansir Antara, 7 Agustus 2016 lalu.

Kekaguman akan Matantimali juga sempat diutarakan oleh atlet mancanegara asal Korea Selatan, Lee Dong Jin. Ia juga mengatakan bahwa lokasi itu sangat cocok untuk cross country.

Menurut dia, tempat tersebut sangat luar biasa dan menarik sekali. Bahkan, jika pemerintah mampu mengelolahnya dengan baik akan menjadi salah satu sumber pendapatan devisa bagi daerah dan juga masyarakat yang bermukim di sekitarnya.

Selain untuk tempat pelaksanaan berbagai kejuaraan, lokasi ini bisa menjadi objek wisata dirgantara yang paling menarik dan banyak dikunjungi wisatawan mancanegara.

"Kalau sudah dikelolah dengan bagus, banyak wisatawan mancanegara yang memang sangat hobi dengan olahraga dirgantara datang ke sini," kata Lee. Ucapannya terbukti dengan sejumlah atlet paralayang luar negeri yang masuk daftar korban gempa dan tsunami Palu, minggu lalu.

 

 

Satu-satunya di Indonesia

Pegunungan Matantimali
Pemandangan Kota Palu dari Pegunungan Matantimali yang jadi buruan atlet paralayang. (dok. Instagram @lalabohang/https://www.instagram.com/lalabohang/Dinny Mutiah)

Sementara, Henning Paradigma, atlet nasional paralayang, mengatakan lokasi ini satu-satunya yang bisa dijangkau dengan kendaraan. Pasalnya, hampir semua lokasi paralayang di Indonesia, termasuk di puncak Batu Malang (Jatim) tidak bisa dijangkau kendaraan.

Akibatnya, para peserta harus jalan kaki sambil memikul peralatan ke lokasi tempat terbang. "Tapi di sini kendaraan bisa sampai di lokasi," katanya.

Senada dengan atlet paralayang asal Korea Selatan, Hening juga berpendapat Matantimali sangat layak dikembangkan menjadi objek wisata dirgantara karena memiliki kondisi alam yang luar biasa.

Dalam situs Trip Advisor, sejumlah pengunjung Matantimali amat merekomendasikan kunjungan ke sana. Pasalnya, paralayang bisa digelar setiap musim di sana, berbeda dengan kondisi di puncak Batu Malang yang hanya layak terbang selama enam bulan.

Akun 700deasyc menuliskan, wajib bagi Anda yang berkunjung ke Palu untuk mendatangi Matantimali. Dari lokasi itu, ia mengatakan Anda bisa mendapati suguhan pemandangan pegunungan yang mengelilingi Kota Palu, serta tentunya garis pantai Palu dari sisi barat daya.

"Udara yang sejuk dan pemandangan yang memikat hati," tulisnya.

Ia menerangkan perjalanan ke lokasi itu memakan waktu sekitar 1 sampai 1,5 jam dari Kota Palu. Meski tidak terlalu buruk, kondisi jalanannya berkelok dan cukup curam.

"Pastikan anda berangkat di kondisi cuaca yang bagus," sambungnya.

Bila ingin tandem paralayang, Anda bisa membayar Rp 450 ribu sampai Rp 500 ribu. Itu harga pada 2017 dan tergantung hasil negosiasi dengan pilot paralayang.

"Ada baiknya anda menghubungi pilot atau koordinator paralayang sebelum berangkat, untuk memastikan adanya pilot dan angin yang bagus," ia menyarankan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya