Tampi, Potret Kegigihan Penjual Jamu Gendong

Tampi, penjual jamu gendong tetap setia keliling menjajakan jamu buatannya dengan berjalan kaki.

oleh Komarudin diperbarui 15 Apr 2019, 21:00 WIB
Diterbitkan 15 Apr 2019, 21:00 WIB
Tampi
Tampi, pedagang jamu gendong yang berkeliling menjajakan jamunya (Liputan6.com/Komarudin)

Liputan6.com, Jakarta - Suasana gang Haji Naim di Karangmulya, Karang Tengah, Tangerang, mulai menggeliat pagi itu. Sejumlah pedagang makanan keliling, warung, dan kios pedagang sayur mulai didatangi para pembeli, tak terkecuali Tampi, penjual jamu gendong.

Jarum jam belum berada di angka 6 ketika penjual jamu itu tiba di gang tersebut. Berkebaya cokelat, perempuan berusia 60 tahun itu satu per satu menurunkan barang bawaannya. Setiap pagi, para pedagang bermacam-macam pedagang melintas di gang tersebut untuk menjajakan barang dagangannya.

Ember kecil biru yang berisi air dan tiga gelas dan boks makanan yang berisi lontong, misro, dan sambal. Perempuan kelahiran Toroh, Grobogan, Jawa Tengah ini lalu menurunkan keranjang yang memuat botol-botol plastik berisi jamu.

"Saya lebih dua 20 tahun dagang jamu," ujar perempuan berhijab itu kepada Liputan6.com, baru-baru ini.

"Nggak hanya jamu, saya juga bawa lontong, misro, bakwan buat tambah penghasilan," sambung Tampi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Dagang Makanan

Tampi
Tampi, pedagang jamu gendong yang berkeliling menjajakan jamunya (Liputan6.com/Komarudin)

Hampir tiap pagi Tampi mangkal di gang Haji Naim, sebelum melanjutkan perjalanan ke daerah Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat. Tampi tetap setiap berkeliling jalan kaki menjajakan jamu dan barang dagangan lainnya. Saat pedagang jamu lain sudah menggunakan sepeda bahkan motor, ia tetap setia jalan kaki.

"Saya ndak bisa naik motor dan sepeda, Mas," kata Tampi.

Sebelum berjualan jamu, Tampi lebih dulu berjualan makanan di Pasar Toroh, Grobogan, Jawa Tengah. Sejak kecil, Tampi sosok mandiri, sebagian masa kanak-kanaknya dihabiskan untuk usaha dan tak ingin merepotkan keluarga karena kondisi keuangan keluarga.

"Saya ndak sekolah dan ndak bisa baca. Orangtua saya ndak menyekolahkan saya saat kecil, tapi kalau soal uang saya ngerti, meski ndak sekolah, Mas," kata Tampi tertawa.

Sejam mangkal di gang Haji Naim, Tampi kemudian melanjutkan perjalanannya ke Meruya Utara. Ia melewati puluhan rumah dari tempatnya mangkal itu.

"Paling saya dapat 150 ribu sampai 200 ribu setelah keliling. Itu hasil dari penjualan jamu dan makanan yang saya bawa," kata Tampi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya