Pakai Atasan Kebaya Belum Cukup Disebut Berkebaya

Ada pakem tertentu yang bisa membuat seorang perempuan disebut berkebaya.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 17 Jul 2019, 16:02 WIB
Diterbitkan 17 Jul 2019, 16:02 WIB
Hari Kartini, Pengendara Vespa Wanita Berkebaya Keliling Jakarta
Anggota komunitas Vespa se-Jabodetabek foto bersama di sela konvoi dalam rangka memperingati Hari Kartini di Jakarta, Minggu (21/4). Dalam konvoi ini para pengendara vespa mengenakan kebaya bagi perempuan dan batik serta lurik bagi laki-laki. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Perempuan Indonesia pasti pernah pakai kebaya. Ternyata, tak semua yang memakai kebaya bisa disebut berkebaya, karena ada pakem yang harus diperhatikan.

Dosen pendidikan tata busana Universitas Pendidikan Indonesia, Suciati, menerangkan berkebaya itu harus mengikuti aturan dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Berdasarkan disertasi berjudul Visualisasi Busana Nasional Ibu Negara pada 1945-2014 yang disusunnya pada 2017 lalu, tata rambut perempuan berkebaya haruslah ditekuk. Modelnya disesuaikan dengan kekayaan budaya daerah setempat.

"Menekuk rambut itu ada maknanya. Perempuan yang pandai menata rambutnya, menyisirnya dengan baik, melambangkan bisa menyelesaikan beragam masalah karena rambut itu kan banyak, kecil-kecil, semrawut kalau tidak ditata," jelasnya di sela acara Gerakan Indonesia Berkebaya di Museum Nasional, Selasa, 16 Juli 2019.

Leher kebaya haruslah tegak di bagian belakang. Kebaya juga mesti simetris kiri dan kanan dengan belahan depan. Kebaya juga tak boleh menggembung pada lengan atas. Sementara, panjang lengan bisa hanya sampai siku atau hingga menutup pergelangan tangan dengan model lurus.

Panjang kebaya bisa diatur hingga sepinggul, bahkan selutut. Bahan kebaya juga tidak transparan dan tak harus selalu ketat atau membentuk lekuk badan seperti yang dicontohkan lewat kebaya Kartini. Padanannya bisa kain atau sarung serta pelengkap, seperti selendang, sementara alas kakinya berbentuk selop.

"Kalau pakai kebaya dan celana panjang, itu perempuan pakai kebaya, tapi bukan berkebaya," kata desainer Musa Widyatmodjo yang juga jadi pembicara dalam acara tersebut.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Selasa Berkebaya

Pakai Atasan Kebaya Belum Cukup Disebut Berkebaya
Para perempuan mengenakan kebaya di sela-sela acara Gerakan Indonesia Berkebaya di Museum Nasional, Selasa (16/7/2019). (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Kebaya memang bukan satu-satunya busana nasional di Indonesia. Suciati menyebut ada tiga pakaian lain, yakni baju bodo, kemben, dan baju kurung. Seluruhnya bisa ditemukan dari Sabang sampai Merauke, walau yang terpopuler tetaplah kebaya.

"Kebaya adalah hasil proses, nggak bisa disebutkan asalnya ini," kata dia. Persoalan besarnya adalah mewariskan kebaya kepada generasi muda.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, menyatakan generasi muda berperan penting melestarikan tradisi berkebaya, tetapi mereka harus diedukasi terlebih dulu. Setidaknya, mengenalkan apa itu kebaya.

"Indonesia punya tradisi panjang berkebaya. Itu jadi statement dan kini berdampak jauh. Bisa menghidupkan industrinya," tutur Hilmar.

Untuk itu, komunitas Perempuan Indonesia Berkebaya menggalakkan gerakan Selasa Berkebaya. Ketua komunitas, Rahmi Hidayati, menyebut gerakan tersebut sudah digaungkan sejak 2014 dan kini diterima secara luas.

Meski begitu, ia menilai hal tersebut belum cukup disosialisasikan pada generasi muda. Banyak dari generasi milenial menganggap berkebaya itu merepotkan. Padahal, perempuan tetap bisa beraktivitas biasa dengan mengenakan busana tersebut.

"Saya pribadi, naik gunung dari bawah ke puncak gunung, bisa berkebaya dan tak menyusahkan. Kalau merasa kebaya bukan pakaian yang susah, adik-adik kita mau memakainya," kata Rahmi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya