Apa Keistimewaan Budaya Dongeng di Indonesia Dibandingkan di Taiwan?

Meskipun sama-sama cerita anak, ada beberapa perbedaan dari sisi kebudayaan antara Indonesia dan luar negeri.

oleh Henry diperbarui 20 Sep 2019, 06:03 WIB
Diterbitkan 20 Sep 2019, 06:03 WIB
Versi gelap dongeng anak (6)
Little Red Riding Hood. (Sumber Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Jakarta - Dongeng adalah cerita fiksi yang biasa diceritakan kepada anak-anak. Biasanya, tema cerita yang dibawakan adalah soal keluarga, hewan atau topik ringan lainnya yang mengandung nilai moral. Ada pula cerita-cerita yang berlandaskan budaya daerah.

Jika membahas soal nilai, tidak ada perbedaan. Semua cerita dongeng memang dimaksudkan untuk mengajarkan anak tentang nilai moral yang berlaku di masyarakat. 

Perbedaannya adalah, seluruh dunia memiliki ciri dongengnya masing-masing. Baik dari cerita budaya, cara penyampaian, hingga antusiasme anak dan orangtuanya. Hal tersebut biasanya terpengaruh oleh norma-norma yang berlaku di masyarakat hingga kemajuan perekonomian sebuah negara.

Hal ini diungkapkan okeh Uncle Fat, seorang pendongeng dari Taiwan. Menurutnya, hal yang paling menonjol saat dia hadir ke Indonesia adalah kesopanan anak-anaknya, terlebih saat setelah dia membacakan cerita.

"Di Taiwan, biasanya anak-anak hanya akan mengucapkan terima kasih secara bersamaan kemudian pulang. Tapi, di Indonesia, setelah selesai anak-anaknya menyalami saya satu per satu dan mengucapkan terima kasih. Itu hal yang membuat saya senang di Indonesia," ungkap Uncle Fat saat ditemui di Festival Cerita Nusantara dan Dunia pada Sabtu, 14 September 2019.

Selain itu, kebiasaan lesehan juga menjadi perbedaan antara kebudayaan mendongeng di Indonesia dan negara lain. Di Indonesia, baik orangtua, guru atau pendamping akan duduk bersamaan di lantai bersama dengan anak-anak. Sedangkan di luar negeri, hanya anak-anak yang duduk di lantai dan orangtua akan duduk di kursi.

"Kebiasaan ini bisa semakin mendekatkan satu sama lain," kata Uncle Fat lagi.

Mengulas mengenai cara penyampaian, Uncle Fat mengatakan bahwa penyampaian dongeng dapat dilakukan dengan berbagai cara. Setiap pendongeng juga memiliki keunikannya masing-masing. Uncle Fat sendiri kerap menggunakan medium lagu dan buku bergambar yang diletakkan di atas panggung agar dapat membuat imajinasi anak meningkat.

Teknik penyampaian yang baik juga disampaikan oleh Ariyo Zidni, Pendiri Komunitas Ayo Dongeng Indonesia yang telah bergelut di dunia dongeng selama 20 tahun. Menurutnya, kini pendongeng tak harus mempunyai bakat khusus seperti peniruan suara atau bisa teater seperti dulu. Hal yang terpenting adalah konsistensi dan ketulusan dalam melakukannya.

"Dongeng itu tools yang mudah, gak perlu ada boneka atau apa, tapi bisa grab attention besar banget," ucap Ariyo saat ditemui di Perpustakaan Nasional Indonesia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Antusiasme

Apa Perbedaan Dongeng Indonesia dengan Luar Negeri?
Ariyo Zidni saat ditemui seusai tampil di Festival Cerita Nusantara dan Dunia yang diselenggarakan di Perpustakaan Nasional Indonesia pada Sabtu, 14 September 2019. (dok. liputan6.com/Novi Thedora)

Eksistensi dari pegiat dan pencinta dongeng juga ada perbedaan antara Indonesia dan luar negeri. Berdasarkan data yang diberikan oleh Ariyo, pengunjung acara tahunan Komunitas Ayo Dongeng Indonesia yakni Festival Dongeng Internasional Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Pada 2018, jumlah pengunjung mencapai kurang lebih 8.500 orang. Naik delapan kali lipat dari diselenggarakannya pertama kali.

Berbeda dengan di Indonesia, antusiasme anak-anak dan orangtua di Taiwan terhadap dongeng ini rata-rata hanya dilakukan saat ada acara dari sekolah. Kurang ada inisiatif khusus baik dari pegiat maupun pengunjung untuk hadir dengan keinginan sendiri.

"Di sini banyak anak muda dan berasal dari berbagai kalangan yang menjadi relawan. Kalau di Taiwan, rata-rata ibu rumah tangga yang sekaligus ingin belajar mendongeng untuk anaknya," ungkap Uncle Fat kepada Liputan6.com.

Diketahui, jumlah relawan dari Ayo Dongeng Indonesia sudah mencapai lebih dari 200 orang. Relawan tersebut juga berasa dari berbagai kalangan, seperti guru, wartawan, mahasiswa, dan pekerja kantoran. Bahkan, ada siswa SMP yang menjadi relawan termuda dalam komunitas ini.

"Relawan di Indonesia berpartisipasi dari hati. Kalau di Taiwan, rata-rata melakukannya untuk uang," tambah Uncle Fat lagi. (Novi Thedora)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya