Cerita Akhir Pekan: Pertanyaan dan Harapan pada 10 Tahun Hari Batik Nasional

Setelah satu dekade Hari Batik Nasional, seperti apa perkembangan batik di Indonesia? Apakah sudah menjadi budaya dan bagian hidup masyarakat kita?

oleh Henry Hens diperbarui 28 Sep 2019, 08:31 WIB
Diterbitkan 28 Sep 2019, 08:31 WIB
20151001-Batik Kudus
Model membawakan busana batik Kudus rancangan desainer Denny Wirawan saat pagelaran fashion dan pembukaan pop-up store di Jakarta, Rabu (30/9/2015). Menyambut hari Batik Nasional retail Balijava meluncurkan koleksi Batik Kudus. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pada 2 Oktober 2019 nanti, rakyat Indonesia genap sepuluh tahun atau satu dekade merayakan Hari Batik Nasional. Tiap tahun sejak 2009, momentum itu dimanfaatkan masyarakat Indonesia, dari pelajar, pekerja kantoran, hingga pejabat untuk mengenakan batik.

Hari Batik menjadi peringatan pengakuan dunia atas kain asli Nusantara itu. Pada 2 Oktober 2009, Badan Kebudayaan PBB atau Unesco menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).

"Teknik, simbolisme, dan budaya yang melingkupi kain katun atau sutra yang diwarnai secara manual, yang dikenal sebagai Batik Indonesia, meresap dalam kehidupan orang Indonesia, dari awal hingga akhir," demikian dikutip dari laman UNESCO.

Menurut Unesco, Batik juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia. Batik digunakan sehari-hari, dalam kegiatan bisnis hingga akademis, saat merayakan pernikahan maupun kehamilan, bisa ditemukan dalam pagelaran wayang maupun seni lainnya.

Kain batik juga memainkan peran sentral dalam sejumlah ritual. Sejak pengakuan yang diberikan Unesco, Indonesia merayakan hari batik setiap 2 Oktober. Batik pun kian dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, digunakan dalam pakaian formal dan kasual, serta menjadi inspirasi bagi banyak haute couture kontemporer.

Banyak yang memilih menggunakan batik yang penuh warna dan modern sebagai pakaian sehari-hari, yang cocok untuk dipakai di wilayah yang panas dan lembab seperti di Nusantara.Masing-masing daerah pun mengembangkan motif batik khusus dan warna yang unik.

Hari batik juga menjadi sebuah momentum pelestarian dan pengenalan batik kepada dunia internasional. Selain itu diharapkan agar kecintaan masyarakat Indonesia akan batik makin mendalam, serta filosofinya meresap dalam jiwa: sabar, teliti, tekun dalam menjalani kehidupan.

Lalu setelah sepuluh tahun, seperti apa perkembangan batik di Indonesia? Apakah sudah menjadi budaya dan bagian hidup masyarakat kita? Atau hanya sekadar seremoni belaka dan sudah cukup puas dengan pengakuan dunia terhadap batik? Jawabannya tentu bisa beragam.

Salah satunya datang dari Iwet Ramadhan, seorang penyiar radio yang juga penggiat budaya dan desainer batik. Kecintaan dan pengetahuannya soal batik dituangkan lewat buku ‘Cerita Batik’ yang ditulis oleh Iwet dan dirilis pada 2013. Ia pun menganati perkembangan batik Indonesia sampai saat ini.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Hal yang Terluput

Iwet Ramadhan
Penyiar sekaligus aktor Iwet Ramadhan. (Zulfa Ayu Sundari)

Dalam keterangan tertulis pada Liputan6.com, Iwet menuliskan kalau secara umum batik di Indonesia sudah semakin diterima. Masyarakat sudah lebih apresiatif terhadap batik.

Hal ini terlihat dari makin banyaknya orang yang menggunakan batik dalam keseharian mereka. Menuutnya, hal ini berbeda sekali dengan beberapa waktu sebelum batik ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda pada 2009.

"Mungkin masih ada yang teringat jaman itu saat seseorang menggunakan batik tidak jarang dipanggil Pak Lurah atau yang lainnya. Berbeda dengan sekarang, semua orang sudah semakin terbiasa, dan bisa lebih bangga menggunakan batik dalam keseharian mereka," tuturnya.

Selain itu, makin banyak juga industri kreatif terutama di bidang fashion yang menggunakan batik sebagai material untuk desain mereka.Motif batik juga banyak menghiasi beragam desain kreatif lainnya, seperti design product, grafis, dan lain-lain. Lalu, apa lagi yang kurang?

Ternyata ada satu hal yang masih luput diperhatikan oleh masyarakat. Hal tersebut adalah esensi dari batik itu sendiri. Menurut Iwet, masih banyak sekali yang belum paham apa sebenarnya definisi batik, alasan kenapa batik dijadikan warisan budaya tak benda (intangible heritage) oleh UNESCO, sampai ke arti filosofi motifnya.

Pria asal Yogyakarta menerangkan kalau batik adalah teknik menghias kain dengan metode menahan warna menggunakan cairan malam menggunakan alat bernama canting. Teknik menghias kain ini diawali dengan melukis kain dengan menggunakan canting berisi cairan malam, lalu dicelup ke pewarna sehingga menghasilkan pola-pola dekoratif yang penuh makna.

Umumnya motif yang digunakan adalah motif-motif yang terinspirasi dari kehidupan sehari-hari, budaya yang berlaku, nilai-nilai agama, sampai ke stilasi gambar-gambar penuh doa dan makna.  Hal itu yang kemudian membuat UNESCO menetapkan batik sebagai warisan budaya tak benda.

Itu karena batik adalah teknik, gambaran cerita sebuah peradaban, kebudayaan, cerita tentang manusia yang terlibat dalam pembuatannya. Sebuah hasil karya pemikiran rasa dan karsa. Jadi bukan kainnya.  "Setiap kain punya cerita, setiap motif ada artinya, setiap warna adalah lambang sesuatu," terang pemilik nama lengkap Wethandrie Ramadhan ini

"Secara industri, terus terang sepertinya masih banyak orang memakai batik print ketimbang batik tulis atau cap. Itu karena masyarakat masih menganggap batik tulis adalah barang mahal yang masih belum diprioritaskan untuk dibeli," sambungnya.

Batik sebagai Karya Seni

Peringati Hari Batik Nasional, Penyandang Disabilitas Belajar Membatik
Sejumlah penyandang disabilitas belajar membatik di Rumah Batik, Palbatu, Jakarta, Senin (2/10). Kegiatan tersebut dalam rangka memperingati hari Batik Nasional. (Liputan6.com/JohanTallo)

Sedangkan, batik cap mungkin masih dianggap kurang atraktif dari sei desain dan detilnya.Ini kemudian berpengaruh kepada pengrajinnya.Karena kurangnya peminat, akibatnya banyak pengrajin yang kemudian frustrasi dan tidak meneruskan profesinya menjadi pembatik, atau justru berpengaruh ke generasi penerusnya.

Situasi itu membuat Indonesia sangat kekurangan generasi muda yang mau menjadi pembatik.Pekerjaan pembatik dianggap bukan pekerjaan yang keren dan menghasilkan banya materi. Bahkan faktanya, ada beberapa rumah pembatikan di Jogja, Solo, Lasem, Pekalongan yang keturunannya tidak mau meneruskan usaha keluarganya.

"Dan ini mengerikan menurut saya. Ini adalah sabuah lingkaran yang saling berhubungan, demand, supply, produsen/pengrajin, saling mempengaruhi," tulisnya lagi.  Iwet menekankan, batik adalah karya seni. Mungkin itu sebabnya masih butuh waktu untuk bisa dicerna dan diterima secara utuh oleh masyarakat kita.

Untuk itu, Iwet berharap semoga ditahun-tahun berikutnya, keriaan Hari Batik Nasional ini sudah bisa bergeser. Bukan hanya keriaan memakainya, tapi lebih dalam lagi tentang bagaimana kita memaknai batik sebagai warisan budaya nenek moyang yang sangat indah dan penuh dengan makna dan filosofi.

"Ini yang kemudian menjadi dasar perjuangan saya untuk mengenalkan batik ke masyarakat Indonesia. Mulai dari menulis buku #CeritaBatik, Youtube Series dengan judul yang sama, sampai ke memberdayakan Ibu Rusun dengan melatih mereka membatik di rusun-rusun di Jakarta," ungkapnya.

"Karena sesungguhnya, teknik dan motif serta cerita ini yang harus dilestarikan," pungkas Iwet Ramadhan.

Batik dan Anak Muda

Pelajar SD di Kota Bogor Lomba Membatik
Seorang pelajar mengikuti lomba membatik tingkat SD di Lapangan Ekspresi, Sempur, Bogor, Kamis (2/5/2019). Kegiatan yang diikuti 18 peserta hasil seleksi dari tingkat kecamatan se-Kodya Bogor ini dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sementara desainer senior Musa Widyatmodjo dalam momen Hari Batik Nasional lebih menekankan pada pengenalan batik pada generasi muda atau milenial. Alasannya, karena mereka merupakan generasi penerus dan akan memelihara batik sampai ke generasi berikutnya.

Pria yang sudah berkiprah di dunia fashion sejak 1991 ini fokus pada pembuatan desain batik kontemporer yang banyak digemari anak muda. Mereka sekarang tak ragu-ragu lagi memakai batik, terutama dengan desain modern, untuk dikenakan di acara resmi atau semi formal termasuk saat bekerja di kantor.

"Kontemporer bisa diaplikasikan pada warna atau pada potongan desain busana.Motif kontemporer mungkin bisa memberikan rasa baru dalam industri batik. Tapi ya, motif seperti itu belum tentu bisa merangsar pasar, kreatifitas, dan produktivitas," tuturnya saat dihubungi Liputan6.com.

"Karena pada umumnya desain batik lebih banyak dikerjakan pengrajin, jadi kemampuan mereka juga terbatas dalam mengasah pola kerja dan pola pikir kreatifitas," lanjutnya.

Permasalahan lainnya adalah tantangan klasik seperti bahan baku baik benang, kain,pewarnaan yang harganya tak bisa dibilang murah. Ia pun berharap pihak pemerintah dapat membantu untuk mempermudah impor bahan baku modal kreasi pengrajin.

Menurut Musa, untuk menjaga batik tetap dicintai butuh dukungan dari berbagai lapisan masyarakat. Bukan hanya dari para desainer maupun perajin batik, ataupun pemerintah. Paling tidak minimal 70 persen dari total warga negara Indonesia ikut andil.

"Batik merupakan warisan dunia. Makna di balik kainnya harus disampaikan kepada generasi muda dan begitu seterusnya sehingga batik tetap abadi dan lestari bagi masyarakat Indonesia," ujarnya lagi.

Pendapat hampir senada diutarakan Ayu Dyah Pasha selaku founder dan ketua umum Ikatan Pencinta Batik Nusantara,(IPBN). Menurut Ayu, momen Hari Batik Nasional bisa jadi pengingat dan pengenalan terhadap batik itu sendiri, terutama pada generasi muda.

Ia menambahkan, saat ini penerimaan batik oleh masyarakat khususnya anak muda makin terasa baik. Hal ini bisa dilihat dari penggunaan batik yang berubah menjadi tren fashion terbaru. Tidak hanya busana, tapi sentuhan batik juga terlihat dalam topi, tas sampai sepatu.

"Anak muda yang memakai batik ke tempat kerja atau kuliah secara tidak sadar ikut membangkitkan kecintaan orang-orang sekitar. Orang yang tadinya tidak peduli menjadi lebih ingin tahu tentang batik. Saat ada orang yang pakai batik yang bagus, sekarang sudah banyak yang tanya motifnya apa, itu salah satu pengaruh dari Hari Batik Nasional," terangnya pada Liputan6.com.

Perempuan yang juga dikenal sebagai pemain film dan sinetron ini mengaku bersama teman-temannya di IPBN ingin bertemu dengan pihak pemerintah melalui Kemendikbud untuk mengusulkan batik sebagai salah satu yang bisa diajarkan melalui pendidikan.

"Kita ingin ketemu sama Kemendikbud dan menyampaikan usul bagaimana kalau membatik itu diajarkan sebagai salah satu esktrakurikuler. Batik ini punya kita sudah diakui dunia melalui Unesco, masak kita enggak mau mengajarkan ini melalui pendidikan," kata perempuan 55 tahun tersebut.

Ia berharap bisa mendorong pemerintah untuk memasukkan batik dalam dunia pendidikan. Seperti dengan melakukan kegiatan yang berkaitan dengan batik, sehingga ketika anak-anak mencoba, mereka akan lebih kenal dengan batik atau mungkin jadi jatuh cinta dengan batik.

"Kalau mereka sudah cinta dengan batik, akan lebih mudah untuk melestarikan batik karena mereka kan generasi penerus bangsa ini, mudah-mudahan harapan kita bisa terwujud," ujarnya.

Hari Batik Nasional menjadi sebuah momentum pelestarian dan pengenalan batik kepada dunia internasional.Tentu bukan itu saja. Kita juga berharap agar kecintaan masyarakat Indonesia akan batik makin mendalam, serta filosofinya meresap dalam jiwa: sabar, teliti, tekun dalam menjalani kehidupan.Kalau itu belum terwujud, maka benar adanya seperti diterangkan Iwet Ramadhan, semua itu butuh waktu karena batik adalah karya seni, karya kebanggaan Indonesia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya