Liputan6.com, Jakarta - Sungai telah sejak lama menjadi sumber kehidupan bagi banyak individu di seantero jagat. Namun, seiring berjalannya waktu yang juga karena dipicu beragam faktor, selain sungai jauh dari kata bersih, tetapi tak sedikit pula yang tak dapat berfungsi sebagai mana mestinya.
Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai (DAS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Saparis Soedarjanto, menyebut sungai adalah daerah yang menerima dampak dari berbagai aktivitas yang ada di atasnya, baik di darat maupun di hulu. Kini faktanya, ada beragam problematika yang melingkupi sungai di Tanah Air.
"Pertama, aspek perilaku manusia cenderung berpikir di tempat dia beraktivitas. Dia enggak berpikir bila melakukan sesuatu di tempat dia juga berdampak di tempat lain. Kalau kita bicara sungai, aliran air kan mengalirnya ke sungai semuanya," kata Saparis saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 24 September 2020.
Advertisement
Baca Juga
Dilanjutkan Saparis, pertumbuhan penduduk tentu cenderung memerlukan lahan-lahan untuk berbagai aktivitas pendukungnya. Hal lain yang ditilik adalah perkembangan permukiman yang turut memengaruhi sungai di bawahnya. Sebut saja tanah yang tererosi ketika dibuka lahan hingga limbah-limbah domestik yang masuk ke sungai.
"Kemudian yang di sempadan sungai. Istilahnya bagian dari rumah air kalau itu banyak faktanya jadi sempadan-sempadan sungai itu, juga memengaruhi sungai juga. Kita tahu bahwa banyak sekali pertumbuhan permukiman di sempadan sungai, biasanya kan bebas dari aktivitas, statusnya kawasan lindung," lanjutnya.
Kondisi ini, dikatakan Saparis, kian mengkhawatirkan. Ia juga mengatakan, konversi lahan atau perubahan penggunaan lahan di bagian hulu sungai serta daerah aliran sungai turut memengaruhi regulasi air.
"Dulu mungkin banyak air yang meresap, kemudian pada musim kemarau dia keluar lagi mengalir ke sungai. Sekarang mulai banyak air yang enggak meresap banyak yang jadi aliran permukaan. Akibatnya pada musim kemarau, air jadi kering, kalau misalnya sungai itu tercemar," jelas Saparis.
Ia melanjutkan, jika di musim penghujan, konsentrasi beban pencemarnya tidak terlalu besar karena airnya banyak. Namun, musim kemarau air sedikit, berarti beban pencemar juga tinggi dan juga memengaruhi biota-biota yang ada di sungai.
Memasuki musim penghujan, tak sedikit sungai yang tak lagi mampu menampung volume air karena tingginya curah hujan. Saparis menyebut, banjirnya sungai tidak sekadar air yang berlebih saja.
"Mengenai erosi mengantarkan sedimen itu mengendap di sungai, lama-lama kapasitas tampung sungai kan berkurang kalau airnya banyak meluap karena sungai semakin dangkal," jelasnya.
Saparis melihat sungai sebuah sistem, bukan hanya sebagai badan air. Sistem alam apa dan bagian mana saja yang memengaruhi sungai itu. DAS sendiri bukan kanan kiri sungai, namun istilahnya daerah tangkapan air dari hulu yang mengalir ke sungai.
"Bicara banjir, kalau misalnya di hulu hutannya berkurang, permukiman bertambah, lapisan-lapisan kedap air di permukaan tanah semakin banyak. Artinya musim penghujan banyak sekali air mengalir ke sungai, melebihi kapasitas sungai jadi banjir," ia menambahkan.
Saparis melihat konteks utuh seperti yang disebut kestabilan hidrologis. Pada musim kemarau, sebaiknya jika tata guna lahan di hulu dalam konteks sistem bagus, pada musim penghujan air tidak terlalu besar karena banyak yang meresap ke dalam tanah.
"Begitu musim kemarau, air yang dari meresap tadi sedikit demi sedikit ke dalam alur sungai, jadi tidak terlalu kering juga sungainya jadi cenderung stabil. Jadi fluktuasi aliran pada musim kemarau dan penghujan itu enggak terlalu tinggi," kata Saparis.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Upaya di Masyarakat
Di sisi lain, upaya untuk menyelamatkan atau memulihkan sungai dapat dilaksanakan lewat ragam upaya. Seperti intervensi langsung dari KLHK pada hutan-hutan yang rusak lewat langkah reboisasi.
"Pada konteks penyadaran masyarakat itu kita melibatkan masyarakat, pada saat reboisasi atau rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), kita juga melibatkan masyarakat jadi banyak program-program langsung, misalnya kelompok tani terlibat dalam program RHL," ungkapnya.
Selain itu, ditambahkan ada pula skema-skema membangun seperti kampanye mendorong masyarakat untuk ikut menanam. KLHK menyediakan apa yang disebut persemaian permanen.
"Ada 50 unit persemaian permanen masing-masing unit memproduksi 1 juta batang per tahun. Jenisnya pun kita menyesuaikan animo masyarakat maunya apa harapannya ikut menanam di lahan masing-masing, dekat rumah. Harapan bisa tata air semakin terjaga dan bagus itu dari water quantity," tambahnya.
Sementara, berdasarkan inventarisasi KLHK, disebutkan Saparis, ada 34 ribu sungai yang merupakan hasil pemetaan 1 banding 50 ribu se-Indonesia. Diakui Saparis, bahwa bukan perkara mudah untuk menginventarisasi puluhan ribu sungai itu.
"Kita kemudian fokus ke sungai-sungai besar yang menjadi perhatian banyak pihak. Kami menggunakan kriteria, kalau dalam konteks aliran tadi namanya Qmax Qmin jadi Koefisien Regim Sungai (KRS) selama ini kita juga enggak bisa semuanya kita monitor," kata Saparis.
Adapun 15 DAS prioritas Nasional, yakni di Pulau Jawa terdiri atas Ciliwung, Citarum, Cisadane, Bengawan Solo, Brantas, dan Serayu. Lalu di Pulau Sumatera, yakni Siak, Asahan Toba, Musi, Way Seputih, dan Way Sekampung. Berlanjut DAS Moyo di Nusa Tenggara Barat, DAS Kapuas di Pulau Kalimantan, serta di Pulau Sulawesi, DAS Jeneberang dan Saddang.
Advertisement
Ekowisata Taman Sungai Mudal
Pengelolaan sungai menjadi destinasi wisata tercermin dari eksplorasi potensi dari Ekowisata Taman Sungai Mudal. Sungai ini sendiri berlokasi di Dusun Banyunganti, Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo, D.I. Yogyakarta.
Sungai Mudal sendiri dikelola oleh masyarakat setempat. Semua bermula pada 2015 lalu, ketika warga menunjukkan kepedulian dengan gotong royong membersihkan dan mempercantik sekitar sungai.
"Di beberapa bibir sungai, kanan-kiri kita bersihkan pelan-pelan, bikin tempat duduk, taman untuk menghias di Sungai Mudal," kata Mudiheriyanto selaku Ketua Pengelola Ekowisata Taman Sungai Mudal saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 24 September 2020.
Ia melanjutkan, dahulu Sungai Mudal dengan mata air bernama senada, hanya dimanfaatkan sebagai sumber air oleh warga sekitar untuk kebutuhan sehari-hari. Hingga inisiatif warga untuk membersihkannya mengubah wajah Sungai Mudal.
"Di bawahnya kurang terawat ada ranting dan sampah-sampah dedaunan berserakan di sungai itu. Inisiatif dari masyarakat sekitar sini karena kalau kita bersihkan bareng-bareng, gotong royong kerja bakti biar sungai terlihat indah, bersih dan sehat," lanjutnya.
Upaya dan kerja keras ini berbuah manis. Selain kian dikenal akan wisata yang tak hanya cantik dan menyegarkan, tetapi destinasi ini turut mendorong perputaran roda ekonomi warga setempat.
"Selama ada wisata ini dampak positif, Alhamdulillah kita bersyukur dulunya belum ada warung sekarang ada beberapa. Walaupun belum bisa 100 persen, kita berusaha untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar Sungai Mudal," jelas Mudiheriyanto.
Fasilitas yang Tersedia
Tak hanya untuk bersantai dan berenang, Ekowisata Taman Sungai Mudal juga memiliki menyediakan atraksi flying fox hingga area untuk camping. Wisata ini juga menghadirkan fasilitas seperti musala, toilet, pendopo, gazebo kecil, sampai free WiFi.
Harga tiket masuk Rp10 ribu untuk dewasa dan Rp2 ribu untuk anak-anak. Parkir motor dikenakan biaya Rp2 ribu, Rp5 ribu untuk mobil, dan Rp10 ribu untuk mini bus hingga bus.
Namun jika Anda ingin camping, Ekowisata Taman Sungai Mudal juga menyediakan tenda dengan kisaran Rp35 ribu per orang untuk satu hari satu malam. Disediakan pula kayu untuk api unggun dan ada pihak setempat yang berjaga di lokasi.
"Untuk tenda tergantung, ada yang mau bawa sendiri silakan, tidak bawa kita sediakan. Biaya termasuk tiket masuk, parkir, dan tenda dan tenda variasi ada dome tiga Rp40 ribu satu hari satu malam, tenda sudah dipasang. Kalau dome enam Rp55 ribu sudah dipasang," kata Mudiheriyanto.
Sempat tutup selama lima bulan karena pandemi corona Covid-19, ekowisata ini kembali membuka pintu untuk publik pada Juni lalu. Beberapa protokol kesehatan turut diterapkan kepada para pengunjung.
"Selama pandemi kita menyiapkan protokol kesehatan, seperti cek suhu, tempat cuci tangan sebelum masuk, wajib pakai masker, jaga jarak, dan jangan berkerumun," lanjutnya.
Ekowisata Taman Sungai Mudal buka mulai pukul 08.30--16.00 WIB. "Jam tujuh pagi kita bersih-bersih sambil briefing dan mulai penyemprotan disinfektan. Sore tutup kita juga lakukan penyemprotan," tutup Mudiheriyanto.
Advertisement