Saat Label-Label Fashion Mewah Dipaksa Beradaptasi dengan Hukum Anti-Limbah Prancis

Beragam rumah mode yang memproduksi barang fashion mewah tidak bisa menurunkan harga jualnya demi menjaga gengsi mereka.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 14 Feb 2022, 15:02 WIB
Diterbitkan 14 Feb 2022, 15:02 WIB
Saat Label-Label Mewah Dipaksa Beradaptasi dengan Hukum Anti-Limbah Prancis
Ilustrasi toko Louis Vuitton. (dok. Pexels.com/Christian Wiediger)

Liputan6.com, Jakarta - Pelaku industri barang mewah Prancis mulai berbenah. Label-label ternama itu kini dipaksa untuk lebih hati-hati memproduksi barang mereka menyusul berlakunya Undang-Undang Anti-Limbah di Prancis sejak tahun lalu.

Dikutip dari laman Taipei Times, Senin (14/2/2022), keberadaan UU baru tersebut mencegah praktik pemusnahan massal barang-barang mewah tak laku untuk mencegah harga jualnya turun. Praktik tersebut memancing kontroversi, terutama setelah skandal yang melingkupi rumah mode Burberry pada 2018 lalu.

Saat itu, brand mewah asal Inggris tersebut ketahuan menghancurkan barang-barang stok mereka yang tak terjual di tahun sebelumnya. Nilainya mencapai 37,91 juta dolar AS atau lebih dari Rp54 miliar, setara dengan 20 ribu potong jubah panjang mereka.

Temuan itu mengundang kecaman luas. Burberry pun akhirnya mengumumkan berhenti menjalankan praktik tak ramah lingkungan itu per 2019. Langkah tersebut juga diikuti dengan label mewah lain yang kebanyakan berangkat dari penegakan hukum.

Rumah-rumah mode ternama berusaha mengelola stok mereka lebih hati-hati, memberi penawaran khusus bagi karyawan, berdonasi, dan mendaur ulang produk stok. Cara-cara itu dinilai lebih realistis ketimbang menjual ke konsumen dengan harga diskon.

Julie El Ghouzi, ahli barang mewah dari Cultz Consulting Agency, mengatakan mendiskon harga jual bukan pilihan bagi bisnis barang mewah. Mengurangi harga berarti dapat merusak daya tarik label tersebut yang bertahan pada status elit mereka.

"Di sektor barang mewah, harga jual yang lebih rendah, berarti juga menurunkan minat untuk membelinya," jelas El Ghouzzi kepada AFP.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Arnaud Cadart, manajer portofolio dari Flornoy and Associate yang berbasis di Paris. Ia menyebut mentalitas masyarakat saat ini sudah berubah, termasuk tidak lagi menghancurkan sesuatu bila tak berjalan dengan baik. "Kita tidak lagi dalam ekonomi yang menghargai penciptaan tak terkendali di atas segalanya," ujarnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Donasi hingga Diskon Karyawan

Donasi hingga Diskon Karyawan

Brand Christian Dior Dituding Mainkan Trik, Minta Konsumen Bayar Ekstra Saat Barang Pesanan Sudah Dilunasi
Ilustrasi Dior. (dok. P.L/Unsplash.com)

LVMH, grup yang menaungi berbagai label mewah, seperti Louis Vuitton, Dior, dan Celine, merupakan salah satu yang beradaptasi dengan aturan baru itu. Direktur Pengembangan Lingkungan Helene Valade mengatakan pihaknya secara ketat menjaga stok di tingkat rendah.

Sementara, pesaing mereka, Kering yang menaungi brand Gucci, Saint Laurent, dan Balenciaga berinvestasi dalam kecerdasan buatan untuk mengelola stok mereka lebih baik. UU baru itu memaksa rumah-rumah mode mewah belajar lebih banyak tentang klien mereka untuk mengantisipasi pembelian, seraya mengurangi stok ke tingkat minimal.

El Ghouzi pun menyebut grup itu bekerja dengan baik mengelola stoknya. "Mereka tahu betul apa yang mereka miliki di stok dan mampu mengelola hingga ke milimeter," ujarnya. "Ini tidak banyak dimiliki di rumah-rumah mode lainnya."

Untuk mencegah barang-barang tidak terjual, rumah-rumah mode itu memilih menjualnya kepada para karyawan dengan harga bersaing. Langkah ini dinilai strategis mengingat mereka memiliki karyawan yang banyak, lebih dari 150 ribu orang di LVMH, 38 ribu orang di bawah Kering, dan 16.600 orang bekerja untuk Hermes.

Di samping, mereka juga punya opsi memanfaatkan barang-barang tak laku sebagai hadiah. LVMH bermitra dengan Cravate Solidaire yang fokus mengumpulkan donasi dari toko profesional dan memberikannya kepada orang-orang berlatar belakang kurang beruntung agar bisa mendapatkan pekerjaan.

Berkembangnya Upcycle

Alasan Harga Baju Upcycle Lebih Mahal dari Baju Baru Versi Didiet Maulana
Desainer Didiet Maulana menerangkan baju upcycle yang dikenakan Andien Aisyah dalam jumpa pers #Hunts2Love Re-love. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Upcycle juga ikut berkembang sebagai tren di kalangan label mewah. Bila dulu para desainer mencari materi untuk mewujudkan desainnya, kini prosesnya berjalan terbalik.

"Ada beberapa desainer yang memulainya dengan material di tangan, koleksi lama, kain yang tidak terpakai, sisa potongan kulit, dan itu semua menginspirasi mereka," kata El Ghouzi.

Almarhum Virgil Abloh termasuk salah satu pelopornya. Direktur artistik untuk koleksi pria Louis Vuitton itu konsisten memanfaatkan barang tak terpakai untuk diolah sebagai produk anyar. Sementara, Marc Jacobs memilih bermitra dengan Fabscrap untuk mendaurulang kain tak terpakai menjadi insulasi, perabot rumah tangga, atau didonasikan untuk mahasiswa dan seniman yang memerlukannya.

Sementara, Hermes mengatakan berhasil menjual 39 ribu produk upcycle. Dengan cara ini, label mewah pun lebih sering kehabisan stok dibandingkan tidak berhasil menjual. (Natalia Adinda)

Fakta-Fakta Menarik tentang Fashion

Infografis Fakta-Fakta Menarik tentang Fashion
Infografis Fakta-Fakta Menarik tentang Fashion. (Liputan6.com/Triyasni)
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya