Liputan6.com, Jakarta - Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China. Pepatah tersebut masih sering disebut-sebut dan jadi motivasi ketika seseorang hendak menempuh pendidikan tinggi.
Di era yang terus berkembang, kemudahan akses informasi membuka kesempatan yang lebih luas akan peluang beasiswa. Bahkan menuntut ilmu bisa dicapai sampai jauh ke Jepang, Eropa, dan Amerika.
Baca Juga
Bukan hanya Maudy Ayunda, ada sederet cerita lainnya tentang menggapai pendidikan tinggi hingga ke luar negeri. Salah satunya Asti Shafira, penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang saat ini sedang menempuh sekolah S2 di Universitas Harvard untuk Master of Medical Sciences in Global Health Delivery.
Advertisement
Asti memperoleh beasiswa LPDP dengan status PNS Pegawai Tugas Belajar di Pemprov DKI Jakarta. "Jadi aku dapet kampus dulu baru daftar LPDP," ungkap Asti saat wawancara dengan Liputan6.com melalui zoom meeting, Sabtu, 20 Mei 2023.
"Di LPDP ada jalur khusus kalo udah dapat surat penerimaan boleh skip test potensi akademisnya, skip tes komputer dan karena status PNS di pemrov DKI Jakarta, LPDP itu jadi tugas belajar," sambung Asti yang merupakan lulusan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pada 2018.
Ia bercerita bahwa melakukan tes masuk terlebih dulu untuk tiga kampus incarannya yaitu Universitas Harvard, Universitas Columbia, dan Universitas John Hopkins. Setelah diterima, baru kemudian Asti mengajukan beasiswa LPDP dengan berbagai syarat salah satunya surat rekomendasi, membuat essay, hingga wawancara.
Asti diterima di Universitas John Hopkins dan Universitas Harvard. Namun ia memilih Harvard dengan berbagai pertimbangan, termasuk program sekolah yang saat disebut namanya saja prestisius.
Tentunya selalu ada perjuangan berdarah-darah untuk mendapat beasiswa. Pengalaman Asti sempat bekerja selama 3,5 tahun di Puskesmas dengan segala kekurangan sistem kesehatan di Indonesia memberinya motivasi untuk melanjutkan sekolah S2. Harapannya tentu ilmunya nanti bisa bermanfaat ketika selesai belajar di negeri orang.
Perjuangan Tembus Beasiswa LPDP
Menurut Asti, persiapan yang sulit adalah saat membuat essay tentang tujuan mengambil S2 dan sesi interview. Syarat lainnya seperti surat rekomendasi, skor ILTS, dan pengisian formulir juga cukup menyita waktu di sela-sela kesibukannya.
Kabar baik itu pun datang, Asti mendapat surat bahwa ia diterima di universitas pilihannya pada Februari 2022. Persiapan yang ia lakukan sejak setahun sebelumnya terasa terbayarkan.
Kini Asti sedang menikmati masa-masanya belajar lagi di kampus yang jadi impian banyak orang. Kendati ia juga sempat merasakan sedikit minder saat berkenalan dengan teman kuliahnya.
Mereka rata-rata sudah punya pengalaman 10 tahun bekerja di World Bank, WHO, NGO Internasional. Selain itu ia merasa takjub bisa bertemu langsung banyak profesor penulis buku dan jurnal yang biasanya hanya ia baca karyanya.
"Sempet imposter syndrom, tapi ternyata waktu di kelas tak semenakutkan itu," cetusnya.
Selain itu banyak hal baru dari sistem perkuliahan di Harvard yang lebih banyak diskusi saat berada di kelas. Sebelum kelas mahasiswa wajib membaca jurnal dan buku teks lalu ada sesi diskusi yang dihubungkan dengan pengalaman tiap mahasiswanya. Di sanalah Asti merasa perannya saat jadi PNS muda di Puskesmas bermanfaat banyak.
"Ternyata pengalaman terlunta-lunta saat pandemi ada baiknya," cetusnya.
Sebagai penerima beasiswa LPDP tentu ada tanggung jawab moral, bahwa beasiswa ini bisa dipergunakan dengan baik. "Menurut aku beasiswa pemerintah, menekankan kontribusi kita. Sesi wawancara jadi kuncian LPDP bagaimana kita bisa mengutarakan tujuan kita apa sekadar ikut-ikutan dan itu teruji saat bikin essay," sarannya.
Menurutnya penting juga untuk memiliki mentor dan banyak bertanya, karena ternyata jurusan di kampus pilihan di luar negeri banyak sekali. Pesan terakhirnya untuk bisa tembus beasiswa harus punya mental tahan banting mulai dari daftar dan kemungkinan bisa gagal lalu mencobanya lagi.
Advertisement
Kesempatan Beasiswa ke Jepang
Cerita serupa juga dibagikan Muhammad Dwi Wahyu yang sedang menjalani kuliah S3 untuk gelar PhD Student dengan jurusan Biodysfunctional Regulation Medicine, Psychiatry Department, di Niigata University, Jepang. Pria yang akrab disapa Didit ini mendapatkan MEXT Scholarship Awardee dari Pemerintah Jepang.
Sebelumnya ia telah lulus sebagai sarjana kedokteran, namun belum mengambil spesialist karena ingin mencari beasiswa penuh. Ketika pandemi berlangsung di sanalah kesempatan itu datang, pada 2021 ia mantap mendaftar beasiswa yang secara akan membiayai pendidikannya.
Menariknya Didit ternyata bisa langsung loncat dengan gelar S3. "Profesi dokter bisa langsung S3 karena di beberapa negara termasuk jepang, itu udah bisa disetarakan master atau S2," ungkap Didiet saat wawancara melalui Zoom Meeting dengan Liputan6.com, Sabtu, 20 Mei 2023.
Menurutnya banyak dokter juga yang melakukan hal serupa, loncat ke jenjang S3. Tentu kesempatan ini bisa jadi pilihan bagi dokter muda lainnya, bahka peluang beasiswa penuh termasuk biaya hidup tak hanya seputar LPDP saja.
Hal menarik lainnya yang mungkin belum diketahui banyak orang, melanjutkan kuliah dengan beasiswa S2 atau S3 di Jepang tak dituntut harus bisa bahasa Jepang. Hal itu lantaran perkuliahan fokus pada penelitian, berbeda untuk program S1 yang memerlukan keterampilan bahasa Jepang kalau program kuliah yang diambil bukan program internasional.
Tapi tentu untuk keperluan menjalani keseharian di Jepang, Didiet tetap belajar bahasa Jepang sebulan sebelum ia berangkat. Apalagi selain kuliah ia juga aktif di kegiatan kemahasiswaan.
Bangun Portofolio Selagi Jadi Mahasiswa
Mengingat kembali perjuangannya saat mengajukan beasiswa, Didiet yang juga aktif sebagai Kreator Konten dan membuat video Youtube di channel pribadinya mengungkapkan usahanya terbilang mulus. "Apply (beasiswa) jujur ini aja, aplikasi dua kali di tahun yg sama, tapi alhamdulilah langsung lulus,"
Justru menurutnya ia berjuang mati-matian saat perkuliahan, ikut aktif organisasi khususnya organisasi keilmiahan sampai rela menginap di kampus dan membuat project karya tulis. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk membangun portofolio.
Di sela-sela kuliah Didiet juga masih sempat mengajar Bahasa Inggris untuk anak SMP maupun SMA meski sifatnya paruh waktu. Masa studi 4 tahun untuk meraih gelar PhD ia manfaatkan betul, dengan harapan ilmu tersebut bisa bermanfaat ketika kembali ke Indonesia.
Saat ditanya apakah ada kemungkinan untuk memilih berkarier di Jepang sebagai dokter, Didiet menjawab program studinya fokus pada penelitian, sehingga jika pun bekerja di sana akan menjadi peneliti. Selain itu untuk lulus menjadi dokter di Jepang tentu ada ujian yang berlapis-lapis.
Dengan apa yang sudah didapatnya saat ini, Didiet merasa bersyukur karena pengalamannya kuliah di Jepang tentu tak akan bisa tergantikan dengan apapun. "Bagaimana aku mengembangkan diri aku sendiri, karena tinggal sendiri merasakan kerasnya hidup, tinggal di negara dengan cuaca yang cukup ekstreme dinginnya minus nol derajat," sebutnya.
Termasuk adaptasi budaya, bagaimana berkomunikasi, dan bertahan dengan uang beasiswa termasuk untuk biaya hidup di Jepang yang cukup tinggi. Ia mengimbanginya dengan berbelanja ke pasar dan memasak makanan di rumah, karena jika makan di luar cukup mahal.
Advertisement