Anak Usia 9 Tahun Jadi Korban Sterilisasi Paksa di Jepang, Rahim Diangkat Tanpa Persetujuan

Anak-anak berusia 9 tahun ternyata termasuk di antara sekitar 25.000 orang penyandang disabilitas yang dahulu disterilisasi secara paksa di Jepang berdasarkan arahan undang-undang eugenika yang kini sudah dihapus.

oleh Dyra Daniera diperbarui 21 Jun 2023, 21:00 WIB
Diterbitkan 21 Jun 2023, 21:00 WIB
Bendera Jepang
Undang-undang eugenika memberikan wewenang untuk melakukan sterilisasi terhadap orang dengan disabilitas atau gangguan keturunan guna mencegah kelahiran anak yang dianggap "terbelakang". (Dok. Instagram/@mitsuosuzuki)

Liputan6.com, Jakarta - Anak-anak berusia 9 tahun ternyata termasuk di antara sekitar 25.000 orang penyandang disabilitas yang dahulu disterilisasi paksa di Jepang berdasarkan arahan undang-undang eugenika yang kini sudah dihapus. Eugenika adalah sebuah filosofi sosial yang berarti memperbaiki ras manusia dengan membuang orang-orang berpenyakit dan cacat serta memperbanyak individu sehat.

Dikutip dari Japan Today pada Selasa, 20 Juni 2023, laporan pertama yang disampaikan oleh Diet mengungkapkan bahwa 65 persen dari operasi tersebut dilakukan tanpa persetujuan, bahkan beberapa di antaranya diperdaya dengan mengira bahwa mereka menjalani pengobatan untuk penyakit tertentu.

Laporan ini didasarkan pada penyelidikan parlemen mengenai pelaksanaan undang-undang eugenika yang berlaku antara 1948 hingga 1996. Sterilisasi sempat dijadikan syarat untuk masuk ke beberapa fasilitas kesejahteraan atau untuk menikah. Laporan tersebut juga melaporkan kasus paparan radiasi dan pengangkatan rahim, metode yang sebenarnya dilarang oleh undang-undang.

Undang-undang eugenika memberikan wewenang untuk melakukan sterilisasi terhadap orang dengan disabilitas intelektual, gangguan mental, atau gangguan keturunan guna mencegah kelahiran anak yang dianggap "terbelakang". 

Undang-undang ini juga ditujukan untuk mengendalikan peningkatan jumlah penduduk setelah Perang Dunia II yang disertai dengan krisis pangan. Pada saat itu, undang-undang tersebut diadopsi dengan suara bulat.

Menurut laporan, pada tahun 1975, terdapat buku teks sekolah menengah yang menyatakan bahwa pemerintah Jepang sedang berupaya meningkatkan "eugenika negara untuk memperbaiki dan mengoptimalkan kecenderungan genetik seluruh masyarakat".

Laporan sebanyak 1400 halaman tersebut diumumkan setelah ketua komite kesejahteraan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Penasihat mengirimkannya kepada ketua dewan perwakilan dan presiden dewan penasihat. Sekretaris Kabinet Utama, Hirokazu Matsuno, menyatakan dalam konferensi pers bahwa pemerintah "sungguh-sungguh merenungkan dan dengan tulus meminta maaf" atas fakta bahwa banyak orang yang menderita kesakitan luar biasa akibat sterilisasi paksa.

 

Penyelidikan Dimulai pada 2020

Protes Undang-undang eugenika Jepang
Para wanita di Tokyo, Jepang, pada Juni 1972 berbaris dalam protes menentang RUU perubahan eugenika yang sedang dibahas di parlemen. (Dok. Twitter/@wrkclasshistory)

Pemerintah Jepang akan melakukan segala upaya untuk memastikan bahwa diskusi di parlemen berjalan lancar berdasarkan laporan dan mempertimbangkan bagaimana menangani masalah tersebut, terang juru bicara.

Pada 2019, lebih dari dua dekade setelah undang-undang kontroversial itu direvisi karena dianggap diskriminatif, parlemen mengesahkan undang-undang untuk memberikan kompensasi negara sebesar 3,2 juta yen (sekitar Rp339 juta) kepada setiap orang yang mengalami sterilisasi paksa berdasarkan undang-undang tersebut.

Undang-undang tersebut juga menugaskan parlemen untuk melakukan penyelidikan terhadap kerusakan yang terjadi dan latar belakang pengesahan undang-undang tersebut. Penyelidikan dimulai pada Juni 2020.

Yasutaka Ichinokawa, seorang profesor sosiologi medis di Universitas Tokyo yang telah mendesak diadakannya penyelidikan sejak 1997, mempertanyakan apakah kompensasi sebesar 3,2 juta yen yang diberikan kepada setiap individu berdasarkan Undang-Undang 2019 tersebut "layak" untuk menyelesaikan masalah ini.

Korban di seluruh negara telah menggugat pemerintah pusat untuk mendapatkan kompensasi tambahan. Dari 16 putusan di pengadilan distrik dan tinggi yang telah dijatuhkan, 14 mengatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi.

“Pemerintah Telah Menipu Anak-anak”

Laporan undang-undang eugenika Jepang
Hiromi Mitsubayashi (kanan) Ketua Komite Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan di Dewan Perwakilan Rakyat bersama Hiroyuki Hosoda, Ketua Dewan Rendah, di parlemen pada tanggal 19 Juni 2023. (Dok. Twitter/@AndyVermaut)

"Legislatif harus bertanggung jawab dalam melakukan peninjauan ulang terhadap undang-undang kompensasi dan cara lain yang memungkinkan (pemerintah) harus memberikan bantuan tambahan kepada korban sehingga tragedi semacam ini tidak akan terulang," kata Ichinokawa.

Merujuk pada temuan dalam laporan Diet, seorang korban sterilisasi paksa berusia 80 tahun yang mengalami sterilisasi pada usia 14 tahun mengatakan bahwa laporan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah "telah melakukan hal-hal mengerikan dengan menipu anak-anak."

"Saya berharap negara tidak menyembunyikan masalah ini dalam kegelapan tetapi segera menganggap serius penderitaan kami," kata korban yang menggunakan nama samaran Saburo Kita dalam konferensi pers.

Sebuah kelompok pengacara yang mewakili korban menunjukkan reaksi yang beragam terhadap laporan tersebut. Koji Niisato, salah satu pemimpin kelompok tersebut, memuji dokumen tersebut karena mengungkap kenyataan tentang operasi tersebut, tetapi juga menyoroti kekurangannya.

"Laporan tersebut tidak mengungkap mengapa undang-undang itu dibuat, mengapa butuh 48 tahun untuk memperbarui undang-undang tersebut, atau mengapa para korban tidak mendapatkan kompensasi," kata Niisato. Menurut laporan tersebut, sebanyak 24.993 orang menjalani operasi sterilisasi paksa di Jepang berdasarkan undang-undang eugenika.

 

Korban Termuda Berusia 9 Tahun

Sterilisasi paksa jepang
Anak-anak berusia 9 tahun jadi korban sterilisasi paksa di Jepang pada 1960-1970. (Dok. Twitter/@Fmsmnews)

Korban termuda adalah seorang anak laki-laki dan perempuan berusia 9 tahun yang disterilisasi pada awal 1960-an dan awal 1970-an.  Alasan dan latar belakang dari operasi-operasi tersebut tidak diketahui, ungkap laporan tersebut. Laporan tersebut juga menambahkan bahwa beberapa tempat pengasuhan anak-anak mengajukan permohonan secara berkelompok untuk menjalani operasi sterilisasi.

Menurut undang-undang eugenika, jika tidak ada persetujuan dari individu yang akan disterilisasi, sebuah dewan pemeriksa di pemerintahan prefektur dapat memutuskan apakah operasi harus dilakukan atau tidak. Namun, terdapat kasus-kasus di mana prosedur tersebut tetap dilakukan tanpa diskusi dari dewan, atau tanpa badan tersebut memenuhi jumlah anggota yang diperlukan.

Ketika undang-undang tersebut berlaku, kementerian kesejahteraan Jepang mengirim pemberitahuan kepada pemerintah daerah yang menyatakan bahwa penggunaan penipuan diperbolehkan dalam sterilisasi orang-orang dengan penyakit turunan. Dalam satu kasus, seorang anggota keluarga meyakinkan individu yang akan menjalani operasi sterilisasi bahwa itu adalah untuk mengobati radang usus buntu, seperti yang disebutkan dalam laporan tersebut.

 

Infografis Kunjungan Kenegaraan Kaisar Jepang Naruhito ke Indonesia. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Kunjungan Kenegaraan Kaisar Jepang Naruhito ke Indonesia. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya