Liputan6.com, Jakarta - Peningkatan jumlah wisatawan di Gunung Fuji, Jepang, menyebabkan polusi ekstrem dan berbagai kerusakan lingkungan lainnya. Dilansir dari Japan Today, Minggu, 10 September 2023, pihak berwenang kemungkinan terpaksa membatasi pengunjung dan menjadikan gunung tersebut hanya dapat diakses dengan sistem trem yang rencananya akan dibangun.
Saat ini, Gunung Fuji semakin kehilangan keindahannya. Saat kondisi langit tampak kelabu dan hujan, bus wisata tiba di stasiun pangkalan Gunung Fuji di Jepang dan menurunkan puluhan turis asing berpakaian tipis di depan toko souvenir dan restoran.
Baca Juga
Pemandangan tersebut mengingatkan kita akan sebuah taman hiburan, bukan sebuah penghormatan yang diharapkan kebanyakan orang Jepang kepada gunung setinggi 3.776 mdpl yang dipuja sebagai gunung suci oleh orang Jepang, dan merupakan sumber kebanggaan karena bentuknya yang simetris sempurna.
Advertisement
Wisatawan yang datang juga kurang memperhatikan aturan saat mengunjungi gunung tersebut. "Hei, jangan merokok di sini!" teriak seorang penjaga toko souvenir, ia berbicara kepada seorang pria yang mengenakan celana pendek dan memegang sekaleng bir di depan gerbang torii merah yang melambangkan pintu masuk ke kuil Shinto.
Mastake Izumi, yang merupakan seorang pejabat di Prefektur Yamanashi mengatakan bahwa, "Fuji menghadapi krisis yang nyata." Hal tersebut dikatakannya kepada wartawan saat melakukan tur untuk media asing pada hari Sabtu, 9 September 2023, akhir pekan terakhir sebelum jalur tersebut ditutup untuk tahun ini.
"Ini tidak dapat dikendalikan dan kami khawatir Gunung Fuji akan menjadi tidak menarik lagi, sehingga tidak ada seorang pun yang ingin mendakinya," katanya.
Kerusakan Lingkungan di Gunung Fuji
Gunung Fuji terletak di prefektur Yamanashi dan Shizuoka di bagian timur Jepang, selalu populer di kalangan wisatawan lokal dan luar negeri. Gunung tersebut terdaftar sebagai salah satu situs Warisan Dunia UNESCO 10 tahun yang lalu, sehingga semakin meningkatkan popularitasnya.
Namun, saat ini Jepang sedang berupaya untuk mengurangi kepadatan penduduk dan menanggulangi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengunjung, juga memperbaiki lanskap buatan, seperti tempat parkir luas yang dibangun untuk menampung wisatawan. Saat ini, masalah kepadatan penduduk juga semakin parah.
"Subaru", yang merupakan stasiun pangkalan kelima dan terbesar di Jepang, dikunjungi sekitar 4 juta pengunjung pada musim panas ini, yang melonjak sebesar 50 persen dari tahun 2013. Meskipun pembersihan dilakukan oleh petugas kebersihan, dunia usaha, dan relawan.
Namun, media sosial tetap dipenuhi oleh postingan tentang kamar mandi yang kotor dan tumpukan sampah di sepanjang jalur pendakian. Izumi khawatir Dewan Internasional untuk Monumen dan Situs (ICOMOS), yang memberi nasihat kepada Komite Warisan Dunia UNESCO, akan menegurnya akibat kerusakan lingkungan yang terjadi di Gunung Fuji.
Advertisement
Jalur Pendakian yang Terlalu Ramai
Fenomena "Pendakian peluru" marak terjadi di gunung tersebut, yaitu pendaki yang berusaha mendaki puncak tertinggi di Jepang. Mereka yang ingin menyaksikan matahari terbit dan turun di hari yang sama, juga semakin memusingkan, kata pihak berwenang.
Jumlah permintaan penyelamatan pengunjung juga naik pada tahun ini. Permintaan penyelamatan berjumlah berjumlah 61 orang, angka tersebut naik sebesar 50 persen dari tahun lalu, dengan seperempatnya terdiri dari wisatawan yang berasal bukan dari Jepang, menurut polisi prefektur Shizuoka.
Petugas mengatakan bahwa sebagian besar dari mereka tidak memiliki perlengkapan yang memadai, menderita hipotermia atau penyakit ketinggian. Namun, Polisi Yamanashi tidak memiliki data pembanding tentang hal tersebut. Seorang pengunjung lokal berpendapat bahwa rencana pembatasan pengunjung mungkin tidak bisa dihindari, dikarenakan popularitas yang dimiliki Gunung Fuji.
"Setiap orang Jepang pasti ingin mendaki Gunung Fuji setidaknya sekali dalam hidupnya," kata Jun Shibazaki, 62 tahun, yang datang untuk melakukan tur. "Tetapi tempat ini sangat ramai. Akses masuk yang terbatas mungkin merupakan sesuatu yang harus kita jalani."
Kerusakan Lingkungan di Tokyo
Selain itu, kabar soal kerusakan lingkungan juga terjadi di Tokyo, Jepang. Kelangsungan hidup pohon ginkgo berusia 100 tahun terancam akibat rencana proyek pembangunan komplek perumahan mewah di Tokyo, Jepang.
Gubernur Tokyo Yuriko Koike menyetujui rencana pembangunan tersebut pada awal tahun 2023. Mitsui Fudosan, seorang pengembang yang juga membangun sepasang gedung pencakar langit setinggi 200 meter di Jingu Gaien, berencana untuk menebang pohon berharga itu di salah satu dari sedikit kawasan hijau di Tokyo.
Dia juga akan merobohkan serta membangun kembali stadion rugby bersejarah dan stadion bisbol yang berlokasi bersebelahan. Pembangunan kembali yang direncanakan akan selesai dalam waktu lebih dari satu dekade itu memicu protes dari para aktivis lingkungan, kelompok masyarakat, penduduk lokal, dan penggemar olahraga.
Pasalnya, tidak hanya satu tapi 18 pohon ginkgo di belakang stadion rugby kemungkinan besar akan ditebang. Dilansir dari Japan Today, Senin, 28 Agustus 2023, Miho Nakashima menggelar protes atas keputusan pembangunan komplek perumahan mewah tersebut dengan berdiri di samping pohon ginkgo yang berusia 100 tahun.
Ia terlihat mengecat tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan gambar dedaunan hijau dan cabang coklat. Pesannya jelas, dan dia mengulanginya sambil berdiri di jantung kawasan taman Jingu Gaien, Tokyo.
Protes tersebut didasari oleh ketidaksetujuan pada penebangan pohon ginkgo yang kesuciannya terancam oleh sengketa rencana pengembangan real estat. "Aku adalah pohon," katanya. "Jangan tebas aku," ujarnya dalam protes tersebut.
Advertisement