74,5 Persen Emisi Karbon Berasal dari Industri, Langkah Bisnis yang Sustainability Bisa Berdampak Besar

Suhu bumi yang diklaim terpanas tahun ini, polusi udara, hingga berbagai bentuk bencana seperti banjir. Semuanya merupakan dampak perubahan iklim yang secara tidak langsung terengaruh dari perilaku dan konsumsi manusia yang menghasilkan emisi gas CO2 atau emisi karbon.

oleh Dyah Ayu Pamela diperbarui 06 Des 2023, 21:47 WIB
Diterbitkan 06 Des 2023, 21:00 WIB
Niko Safavi, President Director, CEO Mowilex Indonesia saat talkshow bertajuk "Beyond Carbon Neutral"
Niko Safavi, President Director, CEO Mowilex Indonesia saat talkshow bertajuk "Beyond Carbon Neutral" di kawasan Jakarta Barat, Rabu (6/12/2023). (Dok: Liputan6.com/dyah)

Liputan6.com, Jakarta - Isu sustainability atau berkelanjutan menjadi topik hangat yang jadi bahan perbincangan saat ini. Mengingat dampaknya secara nyata sudah dapat dirasakan manusia sebagai penghuni bumi.

Suhu bumi yang diklaim terpanas tahun ini, polusi udara, hingga berbagai bentuk bencana seperti banjir, semuanya merupakan dampak perubahan iklim yang secara tidak langsung berpengaruh dari perilaku dan konsumsi manusia yang menghasilkan emisi gas CO2 atau emisi karbon.

"Kalau dari sumber emisi karbon di Indonesia, yang menghasilkan 74,5 persen per hasil emisinya adalah industri dan sisanya dari individu, jadi sangat bergantung juga pola konsumsi kita," ungkap Senior Manager Energy and Sustainable Business di World Resources Institure (WRI) Clorinda Kurnia Wibowo dalam pemaparannya sebelum talkshow bertajuk "Beyond Carbon Neutral" di kawasan Jakarta Barat, Rabu (6/12/2023).

Itu sebabnya, menurut Clorinda, sektor industri menjadi kunci dan sebetulnya boleh diakui sudah banyak aksi yang dilakukan industri. Namun, masih banyak tantangan bagi industri untuk lebih berambisi mengurangi emisi karbon dan pemerintah saat ini belum menerapkan guideline yang baik untuk industri menerapkannya.

Banyak juga industri yang belum paham dengan bagaimana secara nyata mengurangi emisi karbon. Standar untuk industri menurutnya belum banyak dikeluarkan oleh pemerintah.

"Topik sustainability ini sedang jadi perbincangan di COP28, para ilmuwan dan pemimpin dunia berkumpul untuk meyakinkan pemerintah dan pebisnis dampak kegiatannya pada emisi karbon, serta adanya risiko yang segera terjadi untuk habitat manusia dalam jangka panjang," ungkap  President Director, CEO Mowilex Indonesia, Niko Safavi di kesempatan yang sama. 

 

Upaya untuk Mencapai Netral Karbon pada 2060

Para pembicara dan pakar saat talkshow bertajuk "Beyond Carbon Neutral"
Para pembicara dan pakar saat talkshow bertajuk "Beyond Carbon Neutral" di kawasan Jakarta Barat, Rabu (6/12/2023). (Dok: Liputan6.com/dyah)

Lebih lanjut Niko mengatakan, untuk mendukung target Indonesia sebagai negara netral karbon pada 2060, perusahaannya selama lima tahun terakhir telah menerapkan upaya sustainability. "Emisi untuk energi yang dikonsumsi langsung perusahaan, untuk daya yang didapat dari pemasok listrik, berkaitan emisi lainnya termasuk dalam rantai pasok dari hulu ke hilir," sebutnya. 

Ia menyambung, "Kami telah tersertifikasi sebagai perudahaan netral karbon yang bersifat suka rela."

Kemudian pihaknya juga telah menyadari bahwa belum memiliki keahlian, sehingga menyewa pihak ketiga yang independen untuk mendapatkan sertifikasi jejak karbon. Upaya lanjutan termasuk mengubah sistem pencahayaan, menggunakan materi bangunan yang efisien dan berinvestasi pada penggunaan panel surya sehingga dalam 7 hari, ada satu hari di mana pabriknya memakai energi surya.

Pihaknya juga mengeleminasi gas rumah kaca. Dan upaya tersebut bahkan sudah disertifikasi lembaga PBB, perusahaannya berinvestasi dengan membayar jasa ahli di Indonesia yang memiliki klaim untuk mengurangi emisi karbon. 

Penerapan Sustainability Butuh Modal

Ilustrasi emisi karbon (unsplash)
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Tak hanya sampai di situ, Niko menuturkan agar apa yang dilakukan perusahaan semakin kuat dalam mengurangi jejak karbon, mereka ikut dalam program penanaman pohon mangrove. Diakuinya semua hal yang sustainability ini memerlukan modal pendanaan yang sangat besar, namun hal tersebut akan menjadi investasi di masa depan.

Di sisi lain ia pun menyinggung makna berkelanjutan yang pahit, bahwa sebagai manusia yang masih melakukan konsumsi dan mobilitas untuk tidak menghasilkan emisi karbon. Bahkan sebenarnya saat menulis bahwa sebuah produk berkelanjutan, bisa jadi kita sedang menyesatkan publik apalagi konsumen sekarang pintar, dengan memberikan klaim berlebihan.

Ia menyontohkan dalam hal pemakaian cat pada bangunan atau rumah, maka sebuah keluarga bisa juga turut berkontribusi dengan memilih cat yang bisa bertahan hingga 3 tahun. 

Di kesempatan yang sama, Direktur Trisakti Sustainability Center, Juniati Gunawan menurutkan bahwa penerapan sustainability di bagi industri harus dikomunikasikan dengan baik agar memberikan nilai seperti angka capaian, target, strategi, dan tantangan yang dihadapi untuk disertakan dalam laporan. 

Tantangan Industri Menerapkan Sustainability

Hadapi Global Warming, Mesin Penghisap Emisi Karbon Kini Dibangun
Emisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. (Pixabay)

Perusahaan yang menerapkan sustainability pun kini bisa mendapat insentif pengurangan pajak hingga insentif pinjaman dari bank dengan bunga relatif lebih kecil dan proses lebih cepat.

"Sudah ada keuangan berkelanjutan dengan adanya regulasi ini lembaga jasa keuangan untuk memberi insentif yang memang masuk kategori hijau," sambungnya.

Dekan Universitas Prasetiya Mulya, Fathony Rahman menambahkan, tantangan terbesar bagi bisnis adalah zona nyaman dan tak ingin keluar dari sekadar mencari laba perusahaan. "Kalau Anda bicara sustainability ini wilayah yang konsumen tidak paham, dan supply chain yang belum siap, tidak semua perusahaan dan pemimpin ambil keputusan ini," ungkapnya.

Itu sebabnya, kata Fathony kepemimpinan di sebuah perusahaan sangat penting dan akan membawa ke arah perubahan. Namun tetap perlu didukung internal dengan konsekuensi berinvestasi pada biaya pelatihan. "Tantangan ini juga ada konsekuensi biaya, tapi banyak perusahaan yang paham bahwa ini bukan masalah biaya tapi sebuah investasi," jelasnya.

Namun memang tantangan terbesar untuk masuk wilayah sustainability adalah pembiayaan. Untuk mengubah ide besar ini omong kosong jika tanpa biaya, di mana yang paling utama pemimpin di perusahaan harus merasa bahwa menerapkan sustainability ini penting.

Chairperson of ESG Task Force KADIN, Maria R. Nindita Radyati, menyambung bahwa sebenarnya ada banyak aspek yang menjadi keuntungan sebuah industri atau perusahaan dengan menerapkan sustainability. Namun di lini perusahaan, pemimpin juga harus memberikan edukasi untuk karyawan yang berada dinaungannya, begitu juga dengan konsumen. 

"(Penerapan sustainability) akan Bbanyak sekali mengurangi biaya, dengan Unique Sustainability Purpose System konsumen juga akan lebih memilih (produknya)," cetus Maria. 

 

Infografis Journal
Infografis Journal Dunia Kepanasan, Akibat Perubahan Iklim Ekstrem?. (Liputan6.com/Tri Yasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya