Liputan6.com, Jakarta - Gunung Iliboleng merupakan sebuah gunung berapi yang berada di tenggara Pulau Adonara di wilayah Larantuka, Kabupaten Flores Timur, provinsi Nusa Tenggara Timur. Gunung ini tercatat pertama kali meletus pada 1885.
Gunung ini memiliki beberapa kawah antara lain K1, K2, K3, K4, dan K5 sebagai kawah utama dan Kawah Riawale. Sejarah letusan pertama kali tercatat pada 1885 yang terdiri dari berbagai ledakan moderat. Ledakan yang diikuti lava tercatat pada letusan 1888.
Mengutip dari laman Gunung Bagging, Jumat (19/1/2024), Gunung Iliboleng memiliki ketinggian 1. 658 mdpl. Masih banyak hal mengenai Gunung Iliboleng selain lokasi dan ketingiannya, berikut enam fakta menarik Gunung Iliboleng yang dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber.
Advertisement
1. Gunung Terlihat dari Ibu Kora Flores Timur
Anda akan pertama kali melihat Gunung Ileboleng saat kapal feri dari Larantuka, ibukota dari Kabupaten Flores Timur dan mengitari ujung barat daya Adonara. Bentuknya sebuah kerucut menjulang di atas pulau yang jarang dikunjungi di sebelah timur Flores ini.
Puncaknya merupakan pendakian siang hari yang sangat baik dan pemandangan dari puncak ke pulau-pulau kecil di sekitarnya sungguh fantastis.Â
2. Terakhir Meletus 1991
Puncaknya saat ini tidak aktif, terakhir meletus pada 1991, dan tidak ada tanda-tanda aktivitas di kawah tersebut. Dengan beragam rute dan hamparan padang rumput di dekat puncak, ini juga akan menjadi perjalanan semalam yang menyenangkan bagi mereka yang memiliki perlengkapan berkemah.Â
3. Perlu Menyewa Pemandu Gunung
Anda pasti membutuhkan seseorang untuk memandu melewati jalan awal yang melalui hutan lebat di lereng yang lebih rendah, meskipun begitu sudah bersih dari pepohonan Anda dapat dengan mudah mendaki tanpa petunjuk. Tanyakan ke penduduk desa, warga yang bisa menjadi pemandu gunung.
Menurut pengalaman pendaki yang pernah ke sana, sangat sedikit orang luar yang datang untuk mendaki Ili Boleng sehingga konsep pemanduan terorganisir untuk mendapatkan uang sepertinya tidak terpikirkan oleh penduduk setempat.Â
4. Rute PendakianÂ
Ada berbagai rute menuju puncak, dan penduduk lokal dari berbagai wilayah di Adonara akan mengklaim pendekatan berbeda sebagai yang terbaik dan tercepat. Kemungkinan waktu berjalan kaki ke puncak yang ditawarkan oleh penduduk setempat sangatlah tidak akurat.
Meskipun keberadaan gunung ini mendominasi di Adonara, yang mengejutkan hanya sedikit orang yang pernah mencapai puncak. Salah satu rute yang baik menuju puncak dimulai di desa Lamalota (595 mdpl) di lereng barat, sekitar 20 menit dengan ojek dari Waiwerang, ibu kota Adonara.
Â
Advertisement
5. Pemandangan dari Puncak
Dari ujung jalan beraspal di Lamalota, rute awalnya mengikuti jalur lurus lalu bercabang sepanjang jalur hutan sempit yang berkelok-kelok melewati pepohonan. Jalur ini melewati beberapa lahan petani kecil yang ditanami sedikit jagung. Penduduk setempat juga menanam vanili di hutan, dan terdapat jambu biji liar, alpukat dan kelapa yang berlimpah.
Kehidupan burung di sini sangat eksotis menurut standar Indonesia, seperti burung beo dan parkit karena Iliboleng berdiri di sisi timur Garis Wallace. Menuju ke arah kawah, Anda akan menemui jalan berkelok-kelok melewati pepohonan serta jalan setapak dan mulai menanjak terjal, sampai hutan menipis.Â
Di atas puncak, pendaki akan menemukan pemandangan ke arah pantai, ke Solor, dan ke Lembata yang sangat indah. Jika langit sedang cerah, pendaki juga bisa melihat saudara kembar Iliboleng, yaitu Ile Api (yang juga disebut Lewotolo), di Lembata (Ili/Ile berarti "gunung" dalam bahasa lokal ).
Â
6. Tradisi Masyarakat untuk Menenangkan Gunung
Jalan menuju puncak pun terlihat yang ditutupi rumput dan jalan setapak. Penduduk setempat sering datang ke puncak untuk berburu kambing liar yang hidup di lereng, mengejar mereka ke dalam kawah dan membawanya ke teluk di tebing terjal.​
Penduduk setempat punya tradisi untuk "memberi makan" gunung tersebut pada awal musim hujan setiap tahunnya. Mereka melemparkan ayam dan persembahan lainnya ke dalam kawah untuk memastikan gunung tetap tenang.
Ada berbagai pantangan di puncak. Ikan dan garam dilarang dibawa ke puncak. Selain itu perahu, paus, dan topik maritim lainnya tidak boleh dibahas, dan jika Anda harus membicarakan garam karena alasan tertentu.Â
Setelah menikmati pemandangan indah gunung. Di perjalanan pulang, pendaki bisa memilih rute lain untuk turun ke desa-desa lain dari puncak. Tetapi untuk turun dengan cara yang sama seperti saat Anda naik, lanjutkan menyusuri punggung bukit yang berbeda sekali lagi. Â
Â
Advertisement