Tagar All Eyes on Papua Menggema di Media Sosial, Soroti Soal Penyerobotan Hutan Adat

Seruan untuk memperhatikan kondisi Papua menggema di media sosial, khususnya di Twitter atau X dan tagar All Eyes on Papua sedang menjadi trending topic sampai saat ini.

oleh Henry diperbarui 03 Jun 2024, 16:00 WIB
Diterbitkan 03 Jun 2024, 16:00 WIB
Tagar All Eyes on Papua Menggema di Media Sosial. Soroti Soal Penyerobotan Hutan Adat
Tagar All Eyes on Papua Menggema di Media Sosial. Soroti Soal Penyerobotan Hutan Adat.  foto: Twitter @ibebrumbrapuk

Liputan6.com, Jakarta - Usai All Eyes On Rafah jadi trending di media sosial (medsos), kini warganet banyak yang mengunggah poster dan tagar All Eyes On Papua. Bantu suarakan aspirasi suku adat Papua mendapatkan haknya kembali. Seruan untuk memperhatikan kondisi Papua menggema di media sosial, khususnya di Twitter atau X dan sedang menjadi trending topic sampai saat ini.

Dalam unggahan akun @tanyakanrl, 31 Mei 2024, disebutkan bahwa hak-hak masyarakat Papua tengah direnggut paksa oleh penguasa. Unggahan yang disertai poster bertuliskan “All Eyes on Papua” itu viral dan sudah dilihat lebih dari 1,1 juta kali dan disukai lebih dari 47 ribu kali.

Ada berbagai keterangan dalam tiap poster yang beredar bahkan ada yang ditulis dalam bahasa Inggris. Salah satu poster memperlihatkan sebuah kondisi hutan tandus di atas tanah kering. Ada juga ilustrasi orang yang menggambarkan masyarakat adat Papua yang berada di antara pohon-pohon kering tersebut.

Dalam unggahan itu juga dituliskan warganet diminta menggaungkan tagar All Eyes on Papua sebagai bentuk dukungan terhadap hak rakyat Papua atas penyerobotan hutan adat yang akan dijadikan perkebunan kelapa sawit oleh penguasa yang serakah. Pada poster lainnya tertulis bahwa hutan di Papua tepatnya di Boven Digul Papua yang luasnya 36 ribu hektar atau lebih dari separuh luas Jakarta akan dibabat habis dan dibangun perkebunan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari.

Selain berpotensi menghilangkan hutan alam, proyek perkebunan sawit ini juga menghasilkan emisi 25 juta ton karbon dioksida. Jumlah emisi ini sama dengan menyumbang 5 persen dari tingkat emisi karbon tahun 2030. Dampaknya bukan hanya dirasakan oleh seluruh warga Papua, tetapi berdampak ke seluruh dunia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Hutan Jadi Akar Kehidupan

Tagar All Eyes on Papua Menggema di Media Sosial. Soroti Soal Penyerobotan Hutan Adat
Tagar All Eyes on Papua Menggema di Media Sosial. Soroti Soal Penyerobotan Hutan Adat.  foto: Twitter @tanyakanrl

Masyarakat adat Awyu dan Moi jadi pihak yang paling terdampak imbas pembabatan hutan tersebut. Hutan adalah akar kehidupan yang menyediakan segala kebutuhan sehari-hari bagi rakyat Awyu dan Moi, mulai dari sumber pangan, air, dan hasil hutan lainnya.

Menurut akun Instagram @jktgo, Senin (3/6/2024), masyarakat Maga Woro dan Suku Awyu mengajukan gugatan terkait izin lingkungan kebun sawit PT IAL dengan didampingi Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua.

Proses gugatannya kini sedang bergulir di Mahkamah Agung (MA). Ini menjadi harapan terakhir bagi masyarakat adat Marga Woro dan suku Awyu untuk mempertahankan hutan yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka secara turun temurun.

Dilansir dari Antara, 8 Juni 2022, Suku Moi adalah salah satu suku dari dataran Papua yang tinggal di daerah pesisir utara. Suku Moi kini banyak mendiami sebagian daerah Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Suku Moi terbagi menjadi tujuh sub suku, di antaranya adalah Suku Moi Kelim, Moi Abun That, Moi Abun Jhi, Moi Salkma, Moi Klabra, Moi Lemas, dan Moi Maya.

 


Budaya Melestarikan Lingkungan Suku Moi di Papua

Suku adat Awyu dan Moi Minta Konsesi Perusahaan Kelapa Sawit Dicabut
Para perwakilan suku adat Awyu dan Moi meminta Mahkamah Agung mencabut izin perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang akan beroperasi di tanah Papua. (BAY ISMOYO/AFP)

Suku Moi sejak dulu menerapkan budaya Egek, yaitu budaya adat tentang menjaga alam dengan mengambil secukupnya dari alam, termasuk dalam penggunaan mesin yang tidak ramah lingkungan. Maka dari itu, Suku Moi lebih senang menggunakan perahu adatnya dibandingkan dengan perahu bermesin.

Egek, atau Sasi dalam budaya Maluku, merupakan budaya menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan tidak mengambil hasil-hasil alam tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan perjanjian masyarakat sudah lama diterapkan oleh Suku Moi. Esensi dari budaya Egek adalah mengambil secukupnya dari alam dan tidak mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan.

Tidak hanya itu, sebagian Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Moi terutama Moi Kelim yang mendiami Desa Malaumkarta dan Desa Suatolo juga telah menerapkan sumber energi terbarukan dalam penggunaan energi listrik.

Sebelum tahun 2016 silam, MHA Suku Moi Kelim belum tersentuh aliran listrik. Namun setelahnya, masyarakat berinisiatif untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) yang ramah lingkungan.


Kearifan Lokal Suku Moi di Papua

Suku adat Awyu dan Moi Minta Konsesi Perusahaan Kelapa Sawit Dicabut
Perwakilan dari suku adat Awyu dan Moi saat melakukan aksi unjuk rasa meminta Mahkamah Agung mencabut izin perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang akan beroperasi di tanah Papua, pada tanggal 27 Mei 2024. (BAY ISMOYO/AFP)

Berkat kegigihan MHA Suku Moi dalam mempertahankan Egek sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup, Suku Moi diakui sebagai kelompok MHA oleh Pemerintah Kabupaten Sorong pada 2017.

Oleh karena itu, MHA Suku Moi berhak atas wilayah kelola yang dilindungi oleh hukum seluas sekitar 4.000 hektare di perairan dan 16.000 hektare di daratan. Biasanya, MHA Suku Moi hanya melaksanakan Buka Egek dengan ritual tradisional khas Suku Moi seperti dengan tarian adat yang bernama tarian a'len.

Pada 2023, MHA Suku Moi melaksanakan Buka Egek sekaligus menggelar acara Festival Egek pada 5-8 Juni 2023. Acara tersebut mendapat dukungan penuh dari pemerintah baik pemerintah daerah maupun berbagai kementerian serta beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani isu pelestarian lingkungan hidup.

Dari Festival Egek setidaknya dapat ditarik pelajaran bahwa budaya Egek yang menjadi kearifan lokal Suku Moi bisa menjadi contoh bagi masyarakat pada umumnya agar tidak serakah dalam memanfaatkan kekayaan alam. Alam harus dijaga kelestariannya, bukan diekploitasi tanpa memikirkan keberlanjutannya.

 

Infografis: Divestasi Freeport, APa manfaatnya untuk Papua? (Dok Kementerian BUMN)
Infografis: Divestasi Freeport, APa manfaatnya untuk Papua? (Dok Kementerian BUMN)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya