Liputan6.com, Jakarta - Kilauan dunia fesyen ternyata menyimpan sisi gelap yang mencekam. Sebuah laporan dari jaksa penuntut di Italia mengungkap eksploitasi pekerja migran yang memproduksi tas-tas mewah tidak hanya rilisan Dior, sebagaimana dilaporkan sebelumnya, tapi juga Armani.
Mereka bekerja dengan upah yang sangat rendah, hanya sekitar dua dolar AS (sekitar Rp36 ribu) per jam, jauh di bawah standar hidup layak, lapor NY Post, dikutip Jumat (5/7/2024). Laporan tersebut menyebutkan bahwa para pekerja migran berasal dari Bangladesh, Pakistan, dan negara-negara lain di Asia Selatan.
Baca Juga
Mereka ditampung di tempat tinggal yang kumuh dan tidak layak, lalu dipaksa bekerja selama berjam-jam tanpa mendapatkan hak-hak dasar, seperti cuti dan asuransi kesehatan. Para buruh migran sering kali ditipu agen perekrutan yang menjanjikan pekerjaan dengan upah tinggi dan kondisi kerja yang baik.
Advertisement
Namun pada kenyataannya, mereka dipaksa bekerja dalam kondisi yang berbahaya dan tidak manusiawi. Mereka berisiko mengalami cedera dan penyakit akibat kerja keras, serta lingkungan kerja yang buruk. Ini adalah contoh nyata dari eksploitasi dan ketidakadilan yang terjadi di balik industri fesyen, ujar seorang aktivis hak buruh.
Dior, rumah mode mewah multinasional Prancis yang dipimpin Bernard Arnault dan keluarganya, membayar sekitar 57 dolar AS (sekitar Rp930 ribu) pada pemasok untuk memproduksi tas tangan yang dijual di toko dengan harga sekitar 2.780 dolar (sekitar Rp45,3 juta), menurut The Wall Street Journal.
Armani, desainer yang tinggal di Milan, membayar 270 dolar AS (sekitar Rp4,4 juta) pada pemasok untuk membuat tas tangan yang kemudian dijual di pasar ritel dengan harga di bawah dua ribu dolar AS (sekitar Rp33 juta).
Penggerebekan Pabrik Darurat
Pihak berwenang Italia memperoleh angka tersebut setelah polisi melakukan serangkaian penggerebekan di bengkel-bengkel kerja dan pabrik-pabrik darurat yang mempekerjakan imigran ilegal dan pihak-pihak lain yang "tidak tercatat," Journal melaporkan.
Bulan lalu, hakim Italia memerintahkan anak perusahaan Dior, Armanti, dan Alviero Martini Spa, pembuat fesyen mewah yang terkenal dengan tas bergambar peta dan barang lainnya, untuk ditempatkan di bawah administrasi pengadilan setelah memutuskan bahwa unit manufaktur mereka menganiaya pekerja migran.
Outsourcing pembuatan produk Armani dilakukan GA Operations, sebuah perusahaan produksi internal. Menanggapi penggerebekan tersebut, rumah mode ini membantah melakukan kesalahan yang dilakukan GA Operations, yang memproduksi pakaian, aksesori, dan dekorasi rumah untuk merek Giorgio Armani Group.
"Perusahaan selalu menerapkan langkah-langkah pengendalian dan pencegahan untuk meminimalkan pelanggaran dalam rantai pasokan," begitu bunyi pernyataan Armani. "GA Operations akan bekerja sama secara transparan dengan badan-badan yang kompeten untuk memperjelas posisinya mengenai masalah ini."
Â
Â
Advertisement
Pekerjakan Buruh Migran Ilegal
Menurut polisi, GA Operations menyewa subkontraktor, yang pada gilirannya mempekerjakan subkontraktor tidak resmi yang mempekerjakan pekerja yang beberapa di antaranya berada di Italia secara ilegal. Mereka diduga mengabaikan peraturan kesehatan dan keselamatan, jam kerja, waktu istirahat, serta hari libur.
Polisi mengatakan, hal itu adalah bagian dari sistem caporalato, yaitu perantaraan dan eksploitasi ilegal terhadap pekerja yang paling sering dikaitkan dengan sektor pertanian. Empat pemilik pabrik di China menghadapi penyelidikan kriminal terpisah atas peran mereka dalam masalah ini.
Sementara itu, GA Operations tidak sedang diselidiki, tapi telah ditempatkan di bawah administrasi peradilan hingga satu tahun sebagai bagian dari prosedur untuk memastikan operasi yang sah, kata Letkol Carabinieri Loris Baldassarre. Diagram yang dirilis polisi menunjukkan bahwa subkontraktor China tersebut dibayar 93 euro (sekitar Rp1,6 juta) untuk sebuah tas tangan yang dijual rumah mode kenamaan dengan harga sekitar 1.800 euro (sekitar Rp32 juta).
Dior Punya Siapa?
Subkontraktor resmi, yang bertindak sebagai perantara tapi tidak memiliki kemampuan produksi, dibayar 250 euro (sekitar Rp4,4 juta) untuk tas yang sama. Mereka mengantongi total 157 euro (sekitar Rp2,8 juta) untuk setiap tas, kata polisi.
"Sistem ini memungkinkan keuntungan maksimal, yang mana pabrik Tiongkok benar-benar memproduksi produk, menurunkan biaya tenaga kerja dengan menggunakan pekerja yang tidak tercatat dan ilegal," kata polisi dalam sebuah pernyataan.
Pihak berwenang Italia telah menyelidiki kondisi kerja para subkontraktor produsen barang-barang mewah selama beberapa tahun. Langkah ini dilakukan untuk mengatasi kekhawatiran bahwa perusahaan-perusahaan "berbiaya rendah" yang dipimpin Tiongkok merugikan industri kulit tradisional Italia yang memproduksi sekitar 50 persen dari barang-barang mewah dunia.
Saham LVMH dikabarkan turun sampai titik terendah setelah berita keputusan pengadilan dirilis. Dior adalah label mode terbesar kedua LVMH. Christian Dior SE adalah perusahaan induk terpisah, yang dikendalikan keluarga Arnault, yang memiliki 42 persen saham di LVMH.
Advertisement