Liputan6.com, Jakarta - Upaya membangun kebiasaan hidup sehat perlu dikeroyok banyak pihak. Dalam hal ini, Super Indo memperkenalkan sistem stiker warna untuk menandai kandungan gula di minuman siap saji.
Yuvlinda Susanta, General Manager Corporate Affairs & Sustainability PT Lion Super Indo, menyebut peluncuran stiker warna untuk menandai kandungan gula sudah dimulai sejak Februari 2023. Pihaknya menyebut program tersebut sebagai sugar indicator.Â
"Ini cara kami meningkatkan awareness bahwa memilih produk harus cermat," kata Yuvlinda dalam media gathering ulang tahun ke-27 Super Indo di Jakarta, Kamis, 1 Agustus 2024.
Advertisement
Meski terkesan simpel, formulasinya cukup panjang. Salah satunya soal pemilihan warna. Awalnya, pihaknya mempertimbangkan warna biru untuk dipasang di stiker, tapi secara psikologis tidak cukup membangkitkan perhatian. Perhatian beralih ke palet warna kuning hingga jingga.Â
"Ketika kuning ke hingga, selain relate ke warna gula, tapi juga secara psikologis memengaruhi orang untuk membeli minuman manis,"Â ujar Yuvlinda.
Total ada empat level indikator kandungan gula, yakni kuning untuk minuman dengan kandungan gula di bawah 0,5 gram per 100 ml; jingga terang untuk minuman dengan kandungan gula antara 0,5--6 gram per 100 ml; jingga tua untuk yang mengandung gula antara 6--12 gram per 100 ml; dan cokelat untuk yang mengandung gula di atas 12 gram per 100 ml. Pihak toko akan melabeli stiker warna sesuai berdasarkan keterangan kandungan gula pada label kemasan. "Pakai warna itu ternyata lebih efektif," ujarnya.
Â
Stiker Warna Pengaruhi Kebiasaan Konsumen
Ia menyatakan sugar indicator itu direspons positif para konsumen. Di awal pengimplementasian, banyak pertanyaan diajukan seputar hal itu. Langkah itu diapresiasi lantaran dianggap memudahkan konsumen untuk memahami isi kandungan gula.
Meski begitu, pelabelan itu terbatas pada susu dan minuman berperisa yang siap minum. Sementara, cairan olahan lain, seperti jamu dan yoghurt, tak diberi stiker karena dinilai gula yang dipakai tidak 'berbahaya' dan tingkat konsumsinya rendah dibandingkan minuman siap saji lainnya.
"Kalau RTD (ready to drink) dianggapnya menyegarkan dan tingkat pembeliannya tinggi," ujarnya.
Setelah beberapa waktu berjalan, pihaknya menggandeng NGO bernama GAIN untuk meriset pengaruh stiker warna pada kebiasaan membeli minuman manis. Yuvlinda menyebut bahwa berdasarkan survei, ada perubahan perilaku dari konsumen yang membaca level.
"Setelah baca kadar gula, paham, dan mengubah cara mereka membeli minuman tersebut. Dari kami sendiri, dalam hal sales, trennya cukup bagus untuk minuman rendah gula. Sedangkan untuk minuman dengan gula normal, kami tidak bilang turun, tapi tidak berkembang," urainya.
Advertisement
Sempat Dipertanyakan Produsen RTD
Di sisi lain, sejumlah produsen minuman kemasan, terutama yang berpemanis tinggi, langsung mempertanyakan keputusan Super Indo untuk menaruh label tersebut. Pertanyaan itu dijawab dengan penjelasan bahwa mereka hanya mencantumkan sesuai keterangan di label kemasan.
Temuan di lapangan kemudian jadi bahan diskusi intens dengan para produsen. Dari yang awalnya antipati, produsen melihat peluang terbuka untuk produk minuman tanpa gula atau rendah gula.Â
"Ini jadi masukan bagi brand-brand yang belum memiliki minuman rendah gula, mereformulasi produk mereka. Produsen juga lebih banyak melihat manfaat karena minuman rendah gula penjualan cukup baik," Yuvlinda menyambung.
Pihaknya pun tak akan berhenti di pelabelan gula, tetapi juga garam dan lemak, dua kandungan yang patut diwaspadai karena mengandung risiko kesehatan tinggi bila dikonsumsi berlebihan. Ia menargetkan tahun ini, pelabelan terkait garam dan lemak sudah mulai diterapkan.
"Dalam waktu dekat ya," ujarnya seraya menyebut ada 20 kategori produk yang akan diberi simbol dan standarnya disesuaikan dengan aturan pemerintah.
Banyak Anak Kecil Jalani Cuci Darah
Beberapa waktu lalu beredar kabar banyak anak menjalani cuci darah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Sekitar 60 anak menjalani dialisis secara rutin di RSCM, dengan 30 di antaranya menjalani hemodialisis atau cuci darah. Dokter spesialis anak konsultan nefrologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusuo (RSCM), dr Eka Laksmi Hidayati, menjelaskan bahwa banyaknya anak yang menjalani dialisis di RSCM disebabkan karena rumah sakit ini menjadi rujukan untuk pasien dari luar Pulau Jawa.
Dialisis dan hemodialisis merupakan dua jenis terapi pengganti ginjal yang bertujuan untuk membuang limbah dan kelebihan cairan dari darah ketika ginjal tidak lagi mampu melakukannya. Mengutip kanal Health Liputan6.com, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Piprim Basarah Yanuarso SpA(K) menjelaskan beberapa faktor yang dapat menyebabkan anak memerlukan cuci darah.
Salah satu penyebab utamanya adalah adanya kelainan bawaan kongenital. "Pada kasus ini, anak tersebut sudah sejak lahir memiliki kelainan pada ginjal atau ada kista," kata Piprim dalam video terkait banyak bocil cuci darah di RSCM pada Kamis, 25 Juli 2024.
Piprim juga mengungkapkan bahwa anak dengan lupus bisa mengalami gangguan pada organ ginjal yang akhirnya membutuhkan cuci darah. Selain faktor kelainan bawaan, gaya hidup tidak sehat juga dapat menyebabkan anak perlu menjalani cuci darah, terutama pada anak dengan obesitas. Menurut Piprim, obesitas pada anak dapat memicu inflamasi derajat rendah yang berlangsung secara kronis.
"Ditambah faktor lain, seperti hipertensi, kondisi ini dapat merusak ginjal dan lama-kelamaan menyebabkan ginjal rusak sehingga memerlukan cuci darah," katanya.
Â
Advertisement