Komnas HAM: Bayar Diyat Satinah Bukan Solusi

Pro dan kontra masih membanjir terkait keputusan pemerintah untuk membayarkan diyat demi menyelamatkan nyawa TKI Satinah.

oleh Arry Anggadha diperbarui 04 Apr 2014, 18:32 WIB
Diterbitkan 04 Apr 2014, 18:32 WIB
Keluarga satinah - Liputan6 siang
(Liputan6 TV)

Liputan6.com, Jakarta - Pro dan kontra masih membanjir terkait keputusan pemerintah untuk membayarkan diyat (uang darah) demi menyelamatkan nyawa tenaga kerja Indonesia (TKI) Satinah binti Jumadi Ahmad yang terancam hukuman pancung di Arab Saudi. Penebusan nyawa TKI yang dituduh mencuri dan membunuh keluarga majikan perempuannya di Saudi itu dinilai masih kurang bijak.

"Kompensasi seperti itu bukanlah solusi mendasar yang harus ditempuh yang bahkan dinilai akan rawan memunculkan modus pemerasan oleh negara lain kepada warga negara kita yang lemah yang tak memiliki posisi tawar di negara lain," kata Ketua Komnas HAM Hafid Abbas dalam keterangan tertulisnya yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Jumat (4/4/2014).

Menurut Hafid, langkah terbaik yang dapat diambil untuk menghindari modus pemerasan ini adalah melakukan upaya-upaya preventif dengan menertibkan dan membenahi proses keberangkatan TKI ke luar negeri. Tak hanya dengan pembekalan keterampilan fungsional yang dibutuhkan negara tujuan, tapi juga pembekalan pemahaman sistem hukum yang dianut di sana.

"Institusi yang paling bertanggungjawab untuk melakukan hal ini adalah BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi," ucapnya.

Sementara, sambung dia, masih ada 6 juta TKI yang bekerja di berbagai negara. Dan saat ini ada lebih dari 200 kasus yang menimpa TKI di Arab Saudi dan Malaysia yang menunggu untuk dibebaskan dari putusan hukuman mati.

"Karenanya Komnas HAM mendesak pemerintah untuk sedini mungkin melakukan pendekatan bilateral, regional, dan internasional yang dapat memberi tekanan politik bagi pembebasan mereka yang terjerat hukuman mati."

"Agar tak seorang pun WNI yang menjalani hukuman mati di negara lain," pungkas Hafid.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya