Soal Pilkada, Menteri Tjahjo Yakin KPU Tak Diintervensi

Mendagri Tjahjo Kumolo menjelaskan, pemerintah dan KPU telah bersepakat terkait masalah internal parpol tidak ingin ada intervensi.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 05 Mei 2015, 18:43 WIB
Diterbitkan 05 Mei 2015, 18:43 WIB
Mendagri Tjahjo Kumolo Buka Musrenbang di Balai Kota
Mendagri Tjahjo Kumolo. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Malik pada Minggu 3 April 2015 sudah menyatakan sikap terkait verifikasi kepengurusan partai politik dalam pencalonan kepala daerah. Dalam verifikasi pencalonan kepala daerah (KHD), KPU berpedoman pada SK kepengurusan partai politik yang dikeluarkan oleh Kemenkumham. Jika SK itu disengketakan di pengadilan, maka KPU akan menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Namun, pihak DPR memanggil KPU lagi pada 4 Mei 2015. Mereka mempertanyakan rekomendasi DPR terkait pencalonan tidak dimasukkan oleh KPU. Di mana rekomendasi Komisi II DPR, yaitu pencalonan mengikuti putusan pengadilan terakhir.

Terkait hal tersebut, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo angkat bicara. Dia mengatakan, pada prinsipnya KPU mempunyai kemandirian sebagai penyelenggara pilkada serentak terutama dalam membuat Peraturan KPU atau PKPU. Apalagi, pembuatan PKPU itu berpegang pada undang-undang.

"Apa pun peraturan KPU yang disusun oleh KPU dasarnya adalah undang-undang. KPU saya kira paham tidak akan menyusun Peraturan KPU yang bertentangan dengan undang-undang," ujar Tjahjo melalui pesan singkat, Selasa (5/5/2015).

Menteri Tjahjo menjelaskan, pemerintah dan KPU telah bersepakat terkait masalah internal parpol tidak ingin ada intervensi. Politikus PDIP itu juga menuturkan, masalah sengketa parpol dikembalikan pada internal masing-masing.

Draft PKPU

Sikap KPU yang menggunakan SK Menkumham, menurut Tjahjo, hal itu juga sesuai undang-undang. Terlebih untuk kasus Golkar, Menkumham Yasonna H Laoly juga sudah menjalankan sesuai putusan Mahkamah Partai Golkar.

"KPU dan Kemendagri mengikuti keputusan dari Kemenkumham karena mereka konsisten dengan dasar keputusannya yang sesuai undang-undang dan (untuk masalah Golkar) sudah sesuai dengan keputusan Mahkamah Partai," pungkas Tjahjo.

Sebelumnya melalui rapat pleno, KPU menyetujui 10 draf peraturan KPU yang baru. Salah satu aturan KPU menyebutkan, partai yang bersengketa harus memenuhi salah satu dari poin persyaratan untuk dapat mengikuti pilkada. Pertama, sengketa harus diselesaikan melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kedua, sengketa harus diselesaikan melalui islah.

Namun pada Senin 4 Mei 2015, Komisi II DPR kembali memanggil KPU untuk mengikuti rapat konsultasi membahas peraturan KPU yang telah disetujui. KPU diminta untuk memasukkan rekomendasi DPR mengenai putusan sementara sebagai pedoman persyaratan bagi partai bersengketa.

Di mana sebelumnya, Komisi II DPR merekomendasikan kepada KPU, apabila hingga pendaftaran peserta pilkada pada 26-28 Juli 2015 berakhir dan belum ada keputusan yang berkekuatan tetap, maka partai yang sedang bersengketa dapat menggunakan putusan pengadilan yang sudah ada saat itu. Putusan hukum yang berkekuatan tetap baru akan digunakan pada pilkada periode selanjutnya.

Selanjutnya: Mengacu SK Menkumham, KPU Dinilai Adil...

Mengacu SK Menkumham, KPU Dinilai Adil

Mengacu SK Menkumham, KPU Dinilai Adil

Dalam verifikasi pencalonan kepala daerah, KPU berpedoman pada SK kepengurusan partai politik yang dikeluarkan oleh Kemenkumham. Jika SK itu disengketakan di pengadilan, maka KPU akan menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Terkait hal tersebut peneliti Perludem, Fadli Ramadhani mengatakan apa yang dilakukan KPU merupakan sikap fair.

"Ini adalah satu sikap fair. Coba bayangkan jika mengunakan putusan pengadilan terakhir terus masa pencalonan ternyata sudah ada putusan pengadilan soal kepengurusan, ini tentu menganggu jalannya tahapan pemilukada," ujar Fadli dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta, Selasa (5/5/2015).

Senada dengan Fadli, Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC) Sulastio memandang menunggu keputusan hukum adalah langkah yang tepat. Apalagi jika tidak ada kepentingan KPU dalam memutuskan hal ini. Justru, bila KPU mengikuti rekomendasi Komisi II DPR, maka itu ada kepentingannya.

"Kepentingan, tapi kepentingan siapa? Jelas kan legalitas itu (SK Menkumham) sedang digugat PTUN. Jika menggunakan nalar, itu adalah suatu langkah yang tepat untuk menunggu kepastian hukum yang tetap," papar Sulastio.

Di kesempatan yang sama, peneliti Para Syndicate, Toto Sugiarto memandang jika KPU tidak menunggu keputusan hukum tetap maka KPU akan menyalahi Undang-Undang PTUN Pasal 115 yang menyebut secara tegas bahwa hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan.

"KPU jelas tidak bermain. Kalau tidak memiliki keputusan hukum tetap, maka KPU yang salah karena melanggar Undang-Undang PTUN Pasal 115," ujar Totok.

Karena itu timpal Ketua KoDe Inisiatif, Veri Junaidi, dorongan islah merupakan jalan yang harus segera dilakukan. Sebab, jika belum berdamai dan belum ada putusan hukum yang inkracht, maka dipastikan Golkar dan PPP tidak bisa ikut pilkada.

"Dorongan yang harus dilakukan oleh Partai Golkar dan PPP mereka harus islah. Karena jika tak islah dan belum ada putusan hukum berkekuatan tetap, maka dipastikan kedua partai itu tidak akan bisa mengikuti pemilukada secara serentak pada Desember 2015 ini," pungkas Veri Junaidi.

Selanjutnya: Golkar-PPP Disarankan Tak Ikut Pilkada Serentak...

Masih Bersengketa, Golkar-PPP Disarankan Tak Ikut Pilkada Serentak

Masih Bersengketa, Golkar-PPP Disarankan Tak Ikut Pilkada Serentak

Tahapan pilkada serentak pada 9 Desember 2015 disambut partai-partai politik yang siap menunjukkan kadernya yang terbaik sebagai salah satu calon kepala daerah. Namun terkait pencalonan, masih menimbulkan polemik panjang terutama kepada Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan yang terpecah kepengurusannya.

Menurut peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, jika keduanya tetap dipaksakan ikut dalam keadaan masih bersengketa akan menimbulkan chaos. Serta, menganggu jalannya tahapan pemilu dan menganggu Komisi Pemilihan Umum.

Masih kata Fadli, jika kedua partai belum islah sampai proses pendaftaran calon ditutup dan belum ada putusan pengadilan tetap atau inkracht sesuai Peraturan KPU maka dipastikan akan kedua partai tersebut tidak akan bisa ikut.

Dia menyadari dengan tidak keikutsertaan kedua partai tersebut akan menimbulkan chaos juga. Namun, keributan itu tidak akan lebih besar jika masuk ke dalam tahapan pemilu tetapi dengan masih bersengketa.

"Tentu akan chaos terutama oleh para pendukung partainya. Tapi ini kan bisa ditangani pihak keamanan. Tentu chaos itu tidak lebih besar daripada yang ditimbulkan jika kedua partai ikut dalam tahapan tapi masih kisruh di internalnya," jelas dia.

Islah Diperlukan

Ketua KoDe Inisiatif Veri Junaidi menilai islah tersebut perlu agar kedua partai tersebut dapat mengikuti Pilkada serentak dan tidak menganggu jalannya proses demokrasi tersebut.

"Kami menghendaki pilkada berjalan baik, pilkada serentak berjalan sesuai rencana. Bukan (pilkada serentak) yang terkena imbas akibat konflik dualisme mereka," ucap dia.

Veri menuturkan, apabila PPP dan Golkar tidak ikut pilkada serentak, maka akan merugikan kedua partai tersebut. Sebab, PPP dan Golkar akan rugi karena incumbent kepala daerah dari kedua partai tersebut cukup banyak.

"Tentu cost (ongkos) politik apabila PPP dan Golkar tidak ikut pilkada akan lebih besar. Incumbent kan mereka banyak di daerah," pungkas Veri Junaidi. (Ans/Sun)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya