Liputan6.com, Jakarta - Konflik agama di Myanmar berujung pada derasnya arus pengungsi Rohingya ke beberapa negara di Asia Tenggara. Kini, permasalahan ini menjadi sorotan dunia. Masalah undang-undang kewarganegaraan dinilai menjadi penyebab utama.
Ketua Bidang Kerukunan Agama Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Suhadi Sanjaya, menilai kondisi Myanmar saat ini sebenarnya pernah dialami Indonesia. Puncak konflik etnis di Tanah Air terjadi pada 1998.
"Ini seperti etnis Tionghoa di Indonesia beberapa puluh tahun lalu. Diskriminasi sangat kental. Mulai PP 10, PP 65, tahun 1998 puncaknya," kata Suhadi saat pertemuan dengan Rhoma Irama di kantor Walubi, Jakarta Pusat, Rabu (27/5/2015).
Beruntung, sambung dia, selepas itu undang-undang kewarganegaraan di Indonesia diubah. Sehingga tidak ada lagi perbedaan antara masing-masing umat beragama.
Suhandi menuturkan, penduduk Rohingya di Myanmar berbatasan dengan Bangladesh. Mereka sangat sering bolak-balik ke dua negara tersebut karena hanya dipisahkan oleh sungai.
Mereka, tutur Suhadi, juga lebih mahir berbahasa Bangladesh dibanding Myanmar. Menurut dia, kalau ditanya siapa presiden Myanmar saat ini mereka tidak akan tahu.
"Tapi bagaimana mereka mau meningkatkan jiwa kebangsaan kalau mereka saja tidak diakui negaranya," imbuh dia.
Rohingya bahkan sudah tinggal di lokasi itu sejak 1.400 tahun lalu. Permasalahannya, kata Suhadi, saat ini, Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai suku dalam undang-undang kewarganegaraan mereka.
"Myanmar memang perlu mengubah permasalahan yang paling fundamental itu. Mungkin belum seperti Indonesia, Myanmar masih butuh banyak masukan," ujar Suhandi.
"Pengetahuan berbangsa masyarakat Rohingya juga harus ditingkatkan. Sama seperti etnis Tionghoa di Indonesia. Kalau mau jadi orang Indonesia, paling tidak harus paham berbahasa Indonesia, tidak seperti dulu yang hanya bisa berbahasa mandarin," pungkas Suhadi. (Ndy/Yus)
Energi & Tambang