'Drama' Patah Hati Berujung Penembakan

"Dylann berperilaku di luar batas setelah perempuan yang disukainya mulai berkencan dengan pria Afro-Amerika," jelas si sepupu, Scott.

oleh Muhammad AliTanti YulianingsihRinaldoAndreas Gerry Tuwo diperbarui 20 Jun 2015, 00:00 WIB
Diterbitkan 20 Jun 2015, 00:00 WIB
Lokasi penembakan massal di Gereja bersejarah Emanuel African Methodist Episcopal (AME). (Reuters)
Lokasi penembakan massal di Gereja bersejarah Emanuel African Methodist Episcopal (AME). (Reuters)

Liputan6.com, South Carolina - "Jantung dan jiwa dari Carolina Selatan rusak. Ini adalah hari yang sangat-sangat sedih di Carolina Selatan," kata Gubernur wilayah itu, Nikki Haley sembari menangis.

"Ini benar-benar buruk. Ini adalah adegan yang sangat mengerikan," kata pendeta lokal Thomas Dixon.

Penggalan kutipan dari beberapa orang itu menggambarkan ulah pemuda 21 tahun bernama Dylann Roof yang membabi buta memberondong sebuah gereja bersejarah di South Carolina atau Carolina Selatan, Amerika Serikat. Sebuah aksi yang sangat disesalkan.

Ia diduga patah hati, sampai nekat menghabisi nyawa banyak orang. 9 Orang yang tengah beribadah di tempat suci meregang nyawa karenanya.

Menurut informasi dari Walikota South Carolina, Joe Riley, korban adalah mereka yang tengah mengikuti doa di Gereja Emanuel African Methodist Episcopal (AME).

Lokasi penembakan massal di Gereja bersejarah Emanuel African Methodist Episcopal (AME). (Reuters)

Dugaan patah hati Dylann diketahui dari beberapa pengakuan orang terdekat, termasuk seorang sepupunya, Scott Roof. Menurut dia, dulu sang sepupu tidak berpikiran sepicik itu. Ia menduga perilaku rasis pada saudaranya itu muncul karena patah hati.

"Dylann merupakan pribadi yang normal sampai dia mendengarkan musik soal kegagahan kaum kulit putih," jelas Scott seperti dikutip dari The Intercept, Jumat (19/6/2015).

"Dylann berperilaku di luar batas setelah perempuan yang disukainya mulai berkencan dengan pria Afro-Amerika," lanjut Scott.

Setelah peristiwa tersebut, Scott melihat perubahan drastis dari saudaranya itu. Apalagi setelah pujaan hati Dylann memadu kasih dengan pria Afro-Amerika.

"Dylann sangat menyukai gadis itu, tetapi pria Afro-Amerika itu yang mendapatkan (cinta gadis pujaan Dylann). Dia langsung berubah," ucap Scott.

Di tengah menjadi sorotan seantero Amerika bahkan dunia, dari keterangan paman Dylann, Carson Cowles mengemuka pribadi si penembak yang introvert. Dalam penglihatannya, Dylann tertekan karena belum dapat pekerjaan.

Bahkan akibat derasnya tekanan dari kedua orangtuanya, awal tahun ini Dylann harus berurusan dengan pihak berwenang karena memiliki obat penghilang rasa sakit yang berlebihan.

 Dylann Roof (21), penembak di Gereja bersejarah Emanuel African Methodist Episcopal (AME). (Reuters)

Dylann juga disebutkan sebagai sosok yang bermasalah, baik dalam pertemanan atau studi. Di awal masuk SMA dia pernah tinggal kelas, akibatnya ia harus berpindah sekolah. Namun, di tempat belajar barunya malah lebih parah lagi. Tercatat ia tidak pernah menamatkan pendidikannya.

Fakta lainnya disebutkan sang paman bahwa Dylann merupakan sosok yang begitu tertutup. Dan yang mengejutkan adalah pistol yang dipakai Dylann tidak dibeli sendiri, melainkan pemberian dari sang ayah.

"Untuk ulang tahunnya tahun ini, sang ayah membelikan pemuda tersebut sebuah pistol," papar Cowles.

Cowles pun menjelaskan pistol yang diberikan sang ayah pada Dylann berjenis kaliber 45. Hal ia ketahui langsung dari Dylann setelah dia menerima hadiah itu.

"Saya telah berbicara dengan dia beberapa saat setelah momen ulang tahunnya ia menyebut akan segera mencoba pistol itu di luar rumah," jelas Cowles.

'Drama' patah hati Dylann Roof yang berujung penembakan membuatnya diburu polisi. Namun pelariannya tak berlangsung lama. Dalam hitungan jam, si penembak 9 jemaat gereja Afrika-Amerika di Charleston, Carolina Selatan ditangkap masih di wilayah tersebut.

Dilansir Channel News Asia, pria berkulit putih itu dicokok ketika berhenti berlalu lintas di Shelby, sekitar 4 jam perjalanan dari lokasi penembakan.

Doa Bersama dan Pengetatan Senjata

Insiden penembakan massal yang menelan 9 korban jiwa di Gereja Emanuel African Methodist Episcopal meninggalkan duka bagi para jemaat dan warga di Charleston, South Carolina, AS. Doa bersama pun digelar di berbagai wilayah di sana, untuk menghormati para korban.

Beberapa gereja di Charleston penuh terisi jemaat yang mengikuti kebaktian. Adapun di luar Gereja Emanuel AME, tempat insiden penembakan berlangsung, ratusan orang berkumpul untuk memberi penghormatan kepada para korban.

Kebaktian untuk mendoakan sembilan korban penembakan dan keluarga mereka diadakan di sejumlah kota, termasuk Miami, Detroit dan Philadelphia. Doa bersama untuk para korban penembakan massal di Gereja bersejarah Emanuel African Methodist Episcopal (AME). (Reuters)

Di New York, layanan dan protes berlangsung. Para pendemo membawa plakat berisi pesan yang salah satunya berbunyi "Black Lives Matter" (nyawa orang kulit hitam penting) dan "Stop killing black people" (hentikan pembunuhan terhadap orang-orang kulit hitam).

Presiden AS Barack Obama mengatakan dia dan istrinya mengenal beberapa anggota jemaat Gereja Emanuel AME, termasuk Pendeta Clementa Pinckney yang turut menjadi korban.

"Gereja itu adalah tempat suci bagi sejarah Charleston, saya yakin para jemaat dan komunitas gereja itu akan bangkit," ucap Obama.

Menanggapi insiden tragis tersebut, Obama pun menegaskan isu kepemilikan senjata api agar diperketat. "Pada suatu titik, kita sebagai negara harus mengaku fakta bahwa pembantaian seperti ini tidak terjadi di negara-negara maju lainnya," tutur Obama.

"Kami tidak memiliki semua fakta, tapi kita tahu bahwa, sekali lagi, orang yang tidak bersalah tewas karena orang yang ingin mencelakai tidak kesulitan mendapatkan senjata," kata Obama dalam jumpa persnya di Gedung Putih. (Tnt/Ans)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya