Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hingga menembus angka Rp 13.300 ditengarai menjadi yang terparah sejak 1998. Namun, pemerintah memastikan Indonesia tidak sendiri menghadapi situasi ini. Bahkan, ekonomi Indonesia justru diklaim jauh lebih bagus dibanding tiga negara lain.
Melemahnya nilai rupiah di Tanah Air belum terlalu berimbas ke harga jual produk elektronik, khususnya ponsel impor. Harga ponsel impor justru dinilai masih relatif stabil. Namun, nantinya bisa saja ada kemungkinan bahwa harga ponsel bakal mengalami kenaikan ke depannya.
Ketua Asosiasi Pedagang dan Importir Telepon Genggam (ASPITEG), Alie Cendrawan mengatakan, jika pelemahan rupiah terjadi dalam jangka pendek, harga-harga ponsel tidak akan mengalami kenaikan. Pasalnya, kenaikan biaya impor ponsel masih ditanggung oleh importir sehingga harga tidak naik.
"Kalau terjadi di jangka pendek, biasanya disubsidi oleh importir. Kalau kenaikan nilai tukar terjadi sangat drastis, baru harga akan naik. Tapi sejauh ini masih belum terlalu pengaruh," ujarnya ketika dikonfirmasi tim Liputan6.com melalui saluran telepon.
Lebih lanjut, masa paling lama dimana rupiah melemah biasanya terjadi dalam kurun waktu setengah tahun. Alie menambahkan bahwa ia tidak bisa memprediksi naik turunnya nilai rupiah sehingga mempengaruhi nilai jual ponsel impor. "Naik terus juga nggak bagus." ujarnya.
Lantas, bagaimana jika nilai rupiah terus melemah? Alie mengatakan bahwa di situlah para importir dan pedagang harus terpaksa melakukan penyesuaian harga, khususnya bagi seri ponsel terbaru.
"Kalau nilai terus melemah, untuk produk lama tidak ada penyesuaian. Tetapi justru untuk produk baru, harganya juga harus baru. Ini sebenarnya termasuk ke regulasi tidak tertulis, jadi sudah menjadi suatu kelaziman bagi para pengusaha," lanjutnya.
Sedangkan, untuk ponsel lama, kemungkinan adanya kenaikan harga justru relatif kecil, karena produknya sudah ada di Indonesia sebelum rupiah berada di level saat ini. Sehingga, sudah seharusnya pedagang juga menjual dengan harga lama.
Bagaimanapun, ia berharap nilai tukar rupiah dapat kembali menguat sehingga harga semua produk ponsel impor bisa tetap semakin stabil.
"Kami justru berharap tadinya turun, tetapi pemerintah malah kewalahan. Harapannya harga stabil di Rp 10 ribu saja, tapi kan situasi seperti sekarang malah tidak mungkin, dan ini bukan hanya mempengaruhi Indonesia saja, malah sampai ke regional. Menguatnya juga datang dari Amerika-nya. Jadi yang penting stabil," tandasnya.
Selanjutnya, Alie juga mengungkap bahwa omzet penjualan ponsel di dalam negeri juga belum terpengaruh pelemahan rupiah meskipun sebagian besar ponsel yang dijual di Indonesia merupakan produk impor.
Menurut Alie, justru kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar gonta-ganti ponsel setiap kali seri terbaru keluar juga menjadi salah satu penyebab penjualan ponsel belum terkena efek melemahnya rupiah.
Selanjutnya: Harga Barang Elektronik Terkatrol Naik...
Harga Barang Elektronik Terkatrol Naik
Harga Barang Elektronik Terkatrol Naik
Sepanjang tahun 2014, seluruh sektor industri elektronik di Indonesia mengalami keterpurukan karena kondisi ekonomi yang tidak stabil akibat beberapa hal.
"Berdasarkan data dari lembaga riset GFK, hingga akhir November 2014, pasar bisnis elektronik di Indonesia hanya menyentuh angka Rp 36 triliun. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, pasar elektronik Tanah Air mencapai Rp 37,7 triliun," kata Andry Ady Utomo, National & Sales General Manager PT Sharp Electronics Indonesia (SEID) yang dihubungi tim Liputan6.com.
Sejumlah faktor yang mempengaruhi hal tersebut di antaranya adalah penurunan nilai rupiah, kenaikan tarif listrik, penerapan label Standar Nasional Indonesia (SNI), pengurangan subsidi BBM, dan lain sebagainya.
"Akibat penurunan nilai rupiah, tahun ini saja kami sudah menaikkan harga produk elektronik hingga 15% sejak Januari hingga April 2015. Pasalnya, nilai dolar Amerika Serikat (AS) juga naik hampir 15% dari tahun lalu," terang Ady.
Ady menuturkan, pada Juni 2015 perusahaannya telah menaikkan lagi harga elektronik yang dipasarkan hingga 3-5%. Strategi tersebut dipilih karena di momen Lebaran ini beberapa karyawan mendapatkan gaji ke-13 atau tunjangan hari raya (THR).
"Harapan kami kenaikan harga elektronik 3-5% ini tidak terlalu mengganggu pasar karena pasar lagi ramai. Lain halnya bila kami menaikkan harga di bulan sepi, seperti Januari atau April, pasti kami akan sulit jualan," pungkasnya.
Ady memaparkan, jenis produk elektronik yang naik adalah TV LCD dengan kenaikan harga 2%, lemari es 3%, small home appliances 5%, mesin cuci 3%, dan pendingin ruangan (AC) 3%.
"Kenaikan harga di bulan Juni ini, kami memakai standar dolar AS dengan nilai Rp 14 ribu. Bila nilai dolar AS menyentuh Rp 15 ribu, kami akan menaikkan harga lagi. Nilai yang bisa kami toleransi adalah Rp 14 ribu, kalau lebih dari itu kita akan mengurangi produksi," ungkapnya.
Sebagai solusi untuk mengatasi kurs rupiah yang semakin melemah, Ady memaparkan beberapa strategi yang dinilainya cukup jitu.
"Solusi untuk mangatasi kurs rupiah yang melemah kalau dari sisi sales adalah menaikkan harga. Tapi kalau dari purchasing, akan negosiasi mengenai currency. Strateginya adalah kami tidak akan memakai patokan dari dolar AS lagi," jelasnya.
Misalnya, lanjut Ady, kalau kami membeli komponen dari Thailand, kami memakai patokan baht, kalau dari China memakai yuan, kalau dari Malaysia pakai ringgit.
"Secara bertahap kami akan memakai strategi itu. Kami tidak mau profit hilang hanya gara-gara nilai tukar dolar yang menguat. Kalau kami memakai patokan harga komponen dengan nilai mata uang negara yang bersangkutan, kami bisa melakukan negosiasi dengan lebih fleksibel," tutupnya. (Ein)
Advertisement