Polri: Menerbitkan SIM dan STNK Itu Kewenangan Tambahan yang Sah

Secara sosiologis, di masyarakat sudah tertanam suatu pemahaman dan kesadaran bahwa registrasi dan SIM berada di tangan Kepolisian.

oleh Oscar Ferri diperbarui 07 Sep 2015, 22:27 WIB
Diterbitkan 07 Sep 2015, 22:27 WIB
Pembuatan SIM
Pembuatan SIM (Liputan6.com/ Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Inspektur Jenderal Pol Condro Kirono mengatakan, kewenangan penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) sebagai lanjutan dari pengujian kompetensi mengemudi dapat ditempatkan sebagai bagian dari kedudukan Polri sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Hal itu dikatakan Condro berkaitan dengan uji materi ‎Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ)‎. Uji materi itu digugat ke Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan kewenangan Polri dalam menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB.

Dia menjelaskan, kewenangan Polri dalam Registrasi Kendaraan Bermotor dan penerbitan SIM itu didasarkan pada penjelasan dan pertimbangan secara yuridis konstitusional, dalam hal ini pada ketentuan Pasal 34 ayat (4) UUD 1945.

"‎Pasal 34 ayat (4) UUD 1945‎ memberikan kedudukan kepada Polri sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai salah satu tujuan dari bangsa dan negara. Sebagai alat negara, Polri harus mampu mewujudkan kondisi dan rasa aman serta kondisi tertib dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun ekonomi dan politik," kata Condro di Ruang Sidang Utama, Gedung MK, Jakarta, Senin (7/9/2015).

Lebih jauh Condro menjelaskan, bahwa ketentuan tugas Polri juga bersifat open norm. Artinya, penambahan, pengurangan, ataupun penugasan sesuatu kewenangan yang terkait dengan Polri merupakan lingkup kewenangan kekuasaan pembentuk undang-undang, yaitu DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.‎

"Oleh karenanya, kewenangan Polri di bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan penerbitan SIM merupakan kewenangan yang sah, sebab DPR dan Presiden telah menegaskannya dalam UU Polri dan juga UU LLAJ," ujar dia.‎

Pertimbangan Historis dan Sosiologis

Condro menambahkan, secara politik, pendistribusian kewenangan negara kepada alat perlengkapannya, termasuk di bidang eksekutif atau pemerintahan sepenuhnya tergantung pada kebijakan dan keputusan dari DPR dan/atau Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.

Berkenaan dengan kewenangan penyelenggaraan registrasi kendaraan bermotor dan penerbitan SIM, DPR sudah mengambil kebijakan dan keputusan untuk menyerahkannya kepada Polri yang dituangkan dalam 2 undang-undang. Yaitu, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ.‎

"Penyerahan kedua kewenangan tersebut kepada Polri oleh DPR, di samping tentunya secara implisit didasarkan pada logika hukum hubungan antara hakekat dari kewenangan tersebut dengan kontekstual dan semangat Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, juga sebagaimana tertuang dalam naskah pembahasan draft RUU LLAJ didasarkan pada pertimbangan historis dan sosiologis," kata dia.

‎Secara historis, lanjut Condro, penyelenggaraan registrasi dan penerbitan SIM sejak awal berkembangnya kendaraan bermotor di Indonesia, sudah diserahkan dan ditempatkan sebagai bagian dari tugas Kepolisian. Secara sosiologis, di dalam masyarakat sudah tertanam suatu pemahaman dan kesadaran bahwa registrasi dan SIM berada di tangan Kepolisian.

Karena itu, Condro meminta agar Majelis ‎Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh dampak negatif jika permohonan uji materiil ketentuan UU Polri dan UU LLAJ a quo dikabulkan. Dampak negatif itu berupa dampak psikologis dan sosiologis.

"Dampak psikologis berupa pelemahan semangat korps kepolisian dalam mengemban tugas-tugas konstitusional. Kemudian dampak sosiologis berupa ketidakpastian bagi masyarakat yang memerlukan tindakan kepolisian," ucap dia.‎

Menggugat Kewenangan Administrasi
‎
Seperti diketahui, sejumlah warga negara perseorangan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menggugat beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) ke Mahkamah Konstitusi (MK).‎ Mereka menguji Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c UU Polri serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88‎ UU LLAJ.

Dalam gugatan uji materi ke MK, pemohon mempermasalahkan kewenangan kepolisian dalam menerbitkan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) yang tertuang dalam pasal-pasal tersebut.‎

‎Para pemohon menganggap kebijakan Polri mengeluarkan SIM, STNK, dan BPKB bertentangan dengan Pasal 30 ayat 4 UUD 1945. Di mana dalam Pasal 30 ayat 4 tersebut menyatakan polisi sebagai alat keamanan negara yang bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat.‎
‎
‎Dengan menguji Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 itu, para pemohon menilai kewenangan Kepolisian hanya sebatas keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan‎ mengurusi urusan administrasi seperti menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB.
‎
‎Adapun para pemohon ini adalah warga negara bernama Alissa Q Munawaroh Rahman dan Hari Kurniawan. Sedangkan pemohon dari LSM yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Malang Corruption Watch, dan Pemuda Muhammadiyah. (Ado/Ian)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya