Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, penyelenggaraan pilkada serentak 2015 bisa tetap berlangsung meski hanya terdapat 1 pasangan calon saja. MK mengatur, pemilihan calon tunggal dilakukan menggunakan kolom setuju atau tidak setuju.
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengatakan, ‎putusan MK soal calon tunggal pilkada tidak menjawab tuntas masalah yang ada, karena tidak diatur secara pasti mekanisme penggunaan kolom setuju dan tidak setuju tersebut.
"Bagaimana mekanisme, cara, dan kapan pelaksanaannya. Itu bisa untungkan orang yang mau memerintah sementara. Bisa saja ditunda lama referendumnya (kolom setuju atau tidak setuju). Banyak problem, karena MK tidak bangun detail soal referendumnya. Kalau begitu, itu menutup masalah dan buka masalah baru. Tutup satu problem dan buka problem lain," kata Zainal di Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta, Selasa (29/8/2015).
Pria yang juga menjabat Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi UGM itu menjelaskan, pihak-pihak yang berkaitan dengan penyelenggara pemilu harus dengan cepat menyusun mekanisme penggunaan kolom setuju atau tidak setuju itu. ‎Meski demikian, Zainal menuturkan dirinya belum tahu isi lengkap putusan tersebut.
"‎Semua yang bertanggung jawab dengan proses pemilu bersih itu harus turut serta. Pemerintah, DPR, KPU, Bawaslu, DKPP, bahkan unsur‎ kepolisian yang jaga itu. Saya belum baca putusan MK, saya enggak tahu mau ditaruh di mana referendum. Apakah jadi include urusan KPU sebelum proses pemilihan atau jadi urusan berbeda," tutur dia.
"KPU kan urusan soal pemilihan umum, bisa masalah kalau referendum diserahkan ke KPU. Bisa jadi catatan besar," imbuh Zainal.
Putusan MK
Baca Juga
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), serta Pasal 54 ayat (4), (5), dan (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada).
Permohonan ‎itu diajukan Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru yang mempermasalahkan syarat minimal 2 pasangan calon untuk bisa digelarnya pilkada. ‎Effendi dan Yayan dalam permohonannya meminta MK agar mengabulkan tawaran solusinya terhadap permasalahan pasangan calon tunggal, yakni pasangan calon tunggal melawan kotak kosong.
"Namun, Majelis Hakim Konstitusi tidak sependapat dengan pandangan pemohon yang meminta Mahkamah memaknai bahwa frasa 'setidaknya 2 pasangan calon' atau 'paling sedikit 2 pasangan calon' yang terdapat dalam seluruh pasal yang dimohonkan pengujian dapat diterima dalam bentuk atau pengertian, pasangan calon tunggal dengan pasangan calon kotak kosong yang ditampilkan pada kertas suara," ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam pembacaan amar putusan di Ruang Sidang Utama, Gedung MK, Jakarta.
Majelis mempertimbangkan demikian, sebab pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon harus ditempatkan sebagai upaya terakhir. Hal itu semata-mata demi memenuhi hak konstitusional warga negara, setelah sebelumnya dengan syarat paling sedikit 2 pasangan calon.
Hakim MK kemudian berpendapat, pilkada yang hanya diikuti oleh pasangan calon tunggal, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat sebagai pemilih untuk menentukan pilihannya dengan mekanisme 'setuju' atau 'tidak setuju' dengan pasangan calon tunggal tersebut. Bukan dengan pasangan calon kotak kosong sebagaimana dikonstruksikan oleh pemohon.
Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'setuju', maka pasangan calon dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'tidak s‎etuju' maka pilkada ditunda. (Ndy/Mvi)
Advertisement