Liputan6.com, Jakarta - Tepat pukul 13.10 WIB, 8 tahun lalu, Presiden ke-2 RIÂ Soeharto tutup usia di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta. Purnawirawan jenderal bintang 5 itu menghembuskan nafas terakhirnya di usia ke 87 tahun.
Sang pendiri Partai Golkar ini tercatat menjadi Presiden RI terlama, selama menjabat 32 tahun. Pada 21 Mei 1998, dia mengundurkan diri setelah ada desakan dari para aktivis reformasi.
Soeharto di mata anggota DPR Fraksi Partai Golkar M Misbakhun adalah sosok yang memiliki visi besar dan berpikir panjang dalam hal pembangunan untuk rakyat Indonesia.
"‎Pak Harto adalah pemimpin besar dengan visa besar pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Beliau membuat strategi yang matang dengan melibatkan banyak putra-putri terbaik bangsa dalam perencanaan program pembangunan dan dilaksanakan dengan konsisten," kata Misbakhun kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (27/1/2016).
Baca Juga
Pembangunan tersebut, lanjut dia, dilakukan Soeharto dalam segala bidang. Indonesia yang kini memiliki banyak infrastruktur, tidak lepas dari peranan dan jasa-jasa Soeharto saat menjadi presiden.
"Pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan rakyat adalah program utama beliau. Pembangunan fisik infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, sekolah, rumah sakit, rumah ibadah dan lainnya dibangun untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan tersebut. Indonesia yang maju saat ini adalah berkah fondasi pembangunan yang diletakkan oleh Pak Harto," beber Misbakhun.
Namun, anggota Komisi XI DPR ini tak menampik jika pemerintahan Soeharto yang dikenal dengan zaman Orde Baru (Orba)‎ itu memiliki kekurangan. Yakni kebebasan masyarakat untuk berekspresi dan menyatakan pendapat.
"Pak Harto memprioritaskan pembangunan fisik tersebut membutuhkan stabilitas sosial, politik dan keamanan. Untuk menjaga stabilitas tersebut maka diperlukan sebuah sistem politik yang terkontrol dengan baik sehingga kebebasan berbicara dan demokrasi dikontrol penuh sehingga membatasi kebebasan berekspresi warga negara," ungkap Misbakhun.
Adanya pemabatasan tersebut, lanjut dia, pemerintahan Orde Baru justru lebih terkontrol meskipun Soeharto akhirnya lengser ‎sebelum habis masa jabatannya sebagai presiden. Pembatasan itu disebut Misbakhun sebagai konsekuensi piliihan.
Advertisement
Diakui PDIP
Kemajuan di Tanah Air berkat pembangunan yang dilakukan Soeharto juga diakui oleh anggota dewan dari Fraksi PDI Perjuangan Dwi Ria Latifa. Meskipun saat itu PDI menjadi 'kompetitor' Golkar, baik saat pemilu maupun di parlemen, dia tak menampik Soeharto berjasa.
"Dulu waktu eranya reformasi saya pengacara PDI pro Megawati, jadi secara personal saya mengerti dan ini pendapat pribadi saya dari PDIP. Pada prinsipnya Pak Harto ada kelemahan dan positifnya. Dalam hal pembangunan di tahap kepemimpinannya tak bisa dipungkiri beliau banyak melakukan pembangunan, apa yang kita rasakan saat ini pembangunan yang berjalan juga dulu dilakukan Pak Harto," Dwi menuturkan.
Selain itu, Ria mengakui dengan diberlakukannya Garis Besar Haluan‎ Negara (GBHN) oleh Soeharto, pembangunan di Indonesia yang dilakukan pemerintah menjadi fokus dan terukur. Sebab, kata dia, setiap pembangunan itu diatur oleh parlemen yang dijalankan oleh pemerintah.
"Positifnya apa yang dilakukan Pak Harto coba direnungkan dengan jernih, pembangunan-pembangunan negara kita ini terkait infrastruktur dan lainnya yang ada saat ini beliau punya andil. Kemudian ditambah lagi dengan adanya GBHN itu pembangunannya jelas, karena tidak setiap ganti Presiden ganti pula pembangunannya tergantung keinginan Presidennya," kata Ria.
"Mungkin wacana kita mau ke‎mbali ke GBHN itu ada bagusnya, agar pembangunan ini tertata bukan karan bukan menggunakan azas ganti pemimpin ganti juga pembangunannya," sambung dia.
Namun, anggota Komisi III DPR ini juga tak menutup fakta tentang sikap otoriter Soeharto saat menjadi presiden. Di mana, kata dia, banyak masyarakat kecewa dan tidak bisa menyatakan pendapatnya secara bebas yang akhirnya membuat Soeharto lengser dari jabatannya.
"Tapi bahwa kemudian di perjalanannya menjelang akhir banyak hal yang menjadikan kita merasa kecewa, karena mungkin sudah terlalu lama berkuasa serta kepekaan-kepekaan terhadap KKN tidak ada dan sehingga semakin otriter itu justru menjadi satu hal yang sangat merusak hal postif yang seharusnya di awal cukup bagus," ungkap dia.
"Otoriternya beliau sangat terasa ketika rakyat tidak bisa lagi memberikan pendapat kemudian ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan otoriter militerisme dan kemudian ditambah masukan beliau jauh dari rakyat. Itu negatifnya," tandas Ria.