Liputan6.com, Jakarta - Menyatukan pandangan berbeda-beda tentu tidaklah mudah. Apalagi untuk urusan negara, mengatur jutaan kepala, dengan berbagai permasalahan yang ada.
Namun, itulah tugas pemimpin atau kepala negara yang mengurusi puluhan menterinya. Seperti amanah yang kini dijalani Presiden Joko Widodo, yang membawahi 34 menteri Kabinet Kerja dan 8 pejabat setingkat menteri.
Presiden yang akrab disapa Jokowi itu, ibarat orangtua yang harus mengasuh anak-anaknya. Ada kalanya harus bersabar, ada saatnya pula harus tegas. Kegaduhan beberapa menteri Kabinet Kerja yang belakangan terjadi membuat Presiden geram.
Betapa tidak? Para menteri yang harusnya bekerja dengan baik untuk rakyatnya, mereka malah kerap berselisih pendapat, mencari panggung. Bahkan, berdebat di media sosial.
Sebut saja polemik Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Yuddy Chrisnandi dengan Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung, terjadi sekitar awal Januari lalu.
Polemik ini akibat Yuddy sempat membeberkan nilai rapor para menteri pada awal Januari lalu. Hingga akhirnya mengundang komentar dari Pramono, yang menyatakan Presiden Jokowi menyesali sikap tersebut.
Menurut Pramono, Presiden tidak pernah memerintah Yuddy menyampaikan hasil evaluasi kinerja para menteri kepada publik.
Sementara, Yuddy menilai apa yang dilakukannya mempunyai dasar hukum yang kuat, yakni instruksi Presiden. Ia pun membantah kalau evaluasi itu terkait dengan rencana reshuffle kabinet, yang kabarnya akan dilakukan Jokowi dalam waktu dekat ini.
Polemik ini akhirnya meredam. Khalayak berpindah mata ke sejumlah kasus yang terjadi pada awal 2016, seperti kasus pembunuhan kopi 'sianida' yang terjadi pada 6 Januari lalu. Disusul kasus teror Thamrin, Jakarta, pada 14 Januari.
Kedua, perbedaan pendapat antara Menteri ESDM Sudirman Said dan Menko Maritim Rizal Ramli perihal Blok Masela. Sudirman dalam sebuah kesempatan mendukung kilang gas Masela terapung di laut.
Sedangkan, Rizal Ramli menginginkan agar pembangunan kilang gas di darat, karena dianggap memberikan dampak ekonomi lebih besar bagi masyarakat. Selain itu, pembangunan kilang gas di darat berbiaya lebih murah.
Silang pendapat juga terjadi antara Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengenai kebijakan impor beras.
Amran mengatakan, selama setahun kepemimpinannya, Pemerintah RI tidak lagi mengimpor beras. Namun, Thomas justru berpendapat pemerintah masih bernegosiasi terkait rencana impor beras dari Vietnam dan Thailand.
Ada juga, polemik antara Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Marwan Jafar dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, terkait pernyataan Marwan yang meminta agar Direksi Garuda Indonesia diganti.
Hal ini menyusul kasus yang dialami Marwan, mengalami delay saat menumpang Garuda dan mendapatkan perlakuan mengecewakan. Dia juga harus tertinggal pesawat plat merah itu lantaran terlambat.
Perang argumen juga ditunjukkan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, perihal perizinan kereta cepat.
Di satu sisi, Rini mendorong percepatan proyek. Namun, Jonan berusaha menjaga agar tidak ada hal yang dilanggar.
Saran untuk Presiden
Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Erwan Agus Purwanto menyatakan, ada 3 hal yang harus dimiliki Jokowi untuk menyelesaikan silang pendapat yang membuat gaduh sesama menterinya.
Pertama, menurut Erwan, Jokowi perlu memiliki kemampuan dalam hal manajerial. Jokowi diharapkan mampu membedakan tugas dan fungsi masing-masing kementerian, yang disesuaikan dengan regulasi dan aturan yang berlaku.
Kedua, Jokowi sebaiknya memahami bahwa dalam sistem presidensial, para menteri berada di bawah kendalinya. Dengan demikian, mantan Walikota Solo itu perlu memastikan, apakah para menteri bertindak sesuai norma dan sopan santun terhadap Presiden.
Sedangkan yang ketiga, Jokowi juga perlu memiliki kemampuan memimpin yang baik. Menurut Erwan, sudah saatnya Presiden menunjukkan leadership, dan segera mengambil tindakan agar situasi menjadi lebih kondusif.
Erwan mengatakan, jika kegaduhan tidak juga selesai hanya dengan peringatan, Presiden Jokowi dapat mengambil langkah tegas kepada para menteri yang bertikai. Bahkan, Presiden dapat memberikan sanksi terberat, berupa pergantian anggota kabinet.
"Harus ada ultimatum. Jika sudah ada peringatan terakhir, tetapi tidak juga ikut aturan main, berarti menteri tersebut tidak akan ikut dalam kesatuan kabinet," pungkas Erwan," ujar Erwan Agus dalam diskusi 'Para Menteri Bertikai, Apa Langkah Presiden Jokowi' di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 5 Maret 2016.
Komentar juga muncul dari Ketua MPR Zulkifli Hasan. Pria yang karib disapa Zulhas itu mengatakan, persoalan tersebut sebaiknya diselesaikan di internal saja.
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu berharap, kegaduhan serupa tidak terulang di kemudian hari. Sebab, hal tersebut dapat mengurangi wibawa menteri.
"Jadi jangan lagi menteri-menteri itu (gaduh), kan punya pemimpin Pak Presiden. Nah, kalau ada perbedaan, selesaikan di internal kabinet jangan di depan publik. Itu tentu tidak etis, tidak elok, dan mengurangi wibawa pemimpinnya yaitu presiden. Mudah-mudahan ini tidak terjadi lagi," tegas Zulkifli usai memberikan kuliah umum di Universitas Islam As-Syafi'iah (UIA) Jatiwaringin, Jakarta, Sabtu 5 Maret 2016.
Ketua DPR Ade Komaruddin juga menyayangkan kegaduhan di antara beberapa menteri Kabinet Kerja. Apalagi peristiwa ini berulangkali.
"Kami sangat menyayangkan yang mana hal itu tidak perlu terjadi, untuk mensukseskan sebuah program adalah kekompakan. Jadi kalau kita kompak segala sesuatu akan bisa diselesaikan dengan baik," kata Ade di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Kamis 3 Maret 2016.
Politikus Partai Golkar itu berharap agar kekompakan di antara para menteri Kabinet Kerja dapat segera diwujudkan bersama-sama. Soal Blok Masela memang seharusnya pemerintah punya pilihan terlebih dahulu.
Sementara, Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Pereira meminta Presiden Jokowi lebih bijaksana dalam menyelesaikan kegaduhan para menterinya.
Jika penyelesaian kegaduhan tersebut tidak dilakukan dengan bijaksana, bisa merugikan pemerintahan ke depan karena menyangkut program-program pemerintah.
"Presiden harus arif, jangan sampai akibatnya malah fatal," kata Andreas dalam diskusi 'Para Menteri Bertikai, Apa Langkah Presiden Jokowi' di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 5 Maret 2016.
Menurut dia, Jokowi tidak cukup hanya memberikan pernyataan-pernyataan tegas untuk mengingatkan para menteri yang berselisih. Namun, di sisi lain, Jokowi tidak dibenarkan melakukan sapu bersih dengan mengganti menteri yang terlibat perselisihan.
Berbeda dengan Ketua Fraksi Partai Hanura Nurdin Tampubolon. Dia mengatakan, tak melihat adanya kegaduhan antarmenteri Kabinet Kerja yang ramai diperbincangkan publik.
Justru menurut dia, yang terlihat hanya perbedaan pendapat antarmenteri yang masih dalam batas kewajaran. Maka itu, Nurdin pun mengaku jika perbedaan atau silang pendapat antarmenteri hal biasa.
"Saya sebagai ketua fraksi tak melihat adanya kegaduhan, yang saya lihat hanya perbedaan pendapat dan itu suatu hal yang lumrah," kata Nurdin di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat 4 Maret 2016.
Anggota Komisi XI DPR ini berujar, perbedaan pandangan antar menteri tersebut wajar bila masih dalam satu visi dan misi dengan Presiden Joko Widodo dan sepanjang demi kepentingan bangsa.
Wakil Presiden Jusuf Kalla tak membantah kondisi Kabinet Kerja tersebut. Namun, ia menggarisbawahi perbedaan tersebut, karena sang menteri menjalankan tugas dan melihat dari sudut pandang kementeriannya.
"Misalnya dalam hal pangan, tentu terjadi pandangan dari sisi pertanian dan perdagangan," kata pria yang akrab disapa JK di Kantor Wakil Presiden, Jumat 29 Januari lalu.
Terkait silang pendapat soal impor pangan menurut JK sudah selesai, karena Presiden Jokowi sudah turun tangan.
"Programnya harus saling mengisi antara pertanian dan perdagangan tentunya, kemarin sudah dijelaskan oleh Presiden harus begini," kata JK.
Satu Visi
Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi mengatakan, Jokowi tidak menyukai kegaduhan para menterinya. Terlebih itu membuat kesan terjadi perselisihan antar menteri Kabinet Kerja.
Presiden Jokowi segera memanggil sejumlah menteri yang selama ini silang pendapat di ranah publik itu. Presiden marah besar. Sebab, situasi ini sudah masuk pada perseteruan yang bukan hanya berbeda pandangan program pemerintahan, namun juga bersifat pribadi.
"Tentu menjadi masukan yang sangat kuat buat Presiden untuk meminta penjelasan kepada menteri-menteri terkait. Beberapa waktu lalu sudah disampaikan Presiden untuk tidak bersilang pendapat di ranah publik," ujar Johan Budi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu 2 Maret lalu.
"Tidak hanya 2 menteri, tapi ada beberapa menteri yang juga bersilang pendapat secara terbuka. Ini tidak etis bahasanya, tidak elok lah," sambung dia.
Silang pendapat yang terjadi, kata Johan, akan menjadi bahan evaluasi Jokowi untuk menilai kinerja menteri-menterinya.
"Evaluasi tidak hanya pada satu titik dan waktu tertentu, tapi sepanjang kegiatan atau kinerja menteri itu. Evaluasi dalam bentuk apa, saya kira Presiden yang tahu," ucap Johan.
"Presiden marah dengan situasi ini. Cukup, hentikan itu. Presiden ingin kembali memposisikan bahwa menteri itu adalah pembantu Presiden," sambung dia.
Sementara, Jokowi di sela-sela peninjauan jalan tol Medan-Binjai, di Sumatera Utara, Rabu 2 Maret lalu, menanggapi dengan guyonan.
"Silang pendapat apa, ya dinamika biasa. Lihat saya masih senyum gini," kelakar Jokowi.
Menurut Jokowi, perbedaan pendapat antara seseorang merupakan hal wajar. Ia juga membiarkan publik melihat pernyataan mana yang benar dan tidak benar.
Meski demikian, mantan Gubernur DKI Jakarta ini menegaskan satu hal, yaitu semua harus sesuai visi Presiden.
"Itu biasa ada perbedaan, dinamika. Itu menjadi sebuah pembelajaran publik, mana yang benar dan mana yang tidak benar. Apa pun harus satu visi, dengan presiden," Jokowi menegaskan.
Baca Juga
*** Saksikan Live Gerhana Matahari Total, Rabu 9 Maret 2016 di Liputan6.com, SCTV dan Indosiar pukul 06.00-09.00 WIB. Klik di sini.
Advertisement