Ini Gugatan Guru Diduga Cabul di Jaksel kepada Polisi

Selama proses pemeriksaan di Polres Jaksel, ER mengaku mendapatkan tekanan psikologis dari penyidik

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 25 Apr 2016, 23:55 WIB
Diterbitkan 25 Apr 2016, 23:55 WIB
Ilustrasi Pencabulan
Ilustrasi Pencabulan (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang gugatan praperadilan oknum guru cabul, Edi Rosadi alias ER (56) setelah sempat tertunda selama 2 minggu. Sidang yang dipimpin langsung hakim tunggal Baktar Jubri ini digelar dengan agenda pembacaan permohonan.

Dalam permohonannya,‎ pengacara ER, Herbert Aritonang mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam proses penangkapan hingga penetapan tersangka kliennya. Sebab, penangkapan dilakukan saat tersangka Edi tengah mengajar di tempatnya bekerja.

"Penangkapan dilakukan saat pemohon (Edi Rosadi) mengajar di SMP 3 Manggarai, Jakarta Selatan. Sejumlah polisi kemudian datang dan menangkap atas tuduhan melakukan tindak pidana pencabulan," ujar Herbert di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (25/4/2016).

Menurut Herbert, selama proses pemeriksaan di Polrestro Jaksel, kliennya mendapatkan tekanan psikologis oleh penyidik. Tak hanya itu, Edi juga tidak didampingi pengacara saat memberikan keterangan atas tuduhan itu.

"Dalam proses pemeriksaan pemohon tidak didampingi kuasa hukum dan menerima tekanan mental secara psikologis. Pihak kepolisian juga tidak mengedepankan asas praduga tak bersalah," jelas dia.

Selain itu, terdapat kejanggalan lain seperti dalam surat perintah penangkapan tertanggal 4 Maret 2016. Dalam surat tersebut tertulis tuduhan peristiwa pencabulan terjadi pada 1 tahun yang lalu.

"Tuduhan peristiwa pencabulan pada Juli 2015. Padahal waktu itu bertepatan dengan libur panjang Idul Fitri," ungkap Herbert.

Tak hanya itu, penangkapan Edi hanya berdasarkan bukti petunjuk, keterangan ahli dan hasil visum tanpa adanya saksi yang melihat peristiwa pencabulan yang dimaksud. Ditambahkan Herbert, pihak kepolisian dinilai tidak mengindahkan MoU antara Polri dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang ditandatangani pada tahun 2012.

"Jika ada dugaan unsur perbuatan tercela/pelanggaran guru di sekolah atau adanya indikasi tindak pidana, harus melewati proses sidang Dewan Kehormatan Guru Indonesia," tutur Herbert.

Sudah Sesuai KUHAP

Di lokasi yang sama, Kepala Sub Bagian Hukum Polres Metro Jakarta Selatan,  Kompol I Ketut Sudarsana membenarkan penangkapan guru SMP Negeri 3 Manggarai berdasarkan peristiwa pada Juli 2015. Menurut dia, meski peristiwa pencabulan tersebut dilakukan di masa lalu, masih bisa dilaporkan.

"Dilaporkannya kan boleh kapan saja, selama itu belum kedaluwarsa kejadiannya," ucap Sudarsana usai persidangan.

Sudarsana menjelaskan, soal visum yang dipermasalahkan oleh pihak pemohon tidak mesti selalu ada. Sebab menurut dia sulit membuktikan hasil visum dalam perkara pencabulan. "Kalau visum enggak ada, kalau cuma perbuatan cabul. Cabul itu kan megang payudara, bokong, itu cabul. Kalau divisum kan enggak mungkin," terang dia.

Namun, dia mengungkapkan pihak kepolisian menggunakan alat bukti lain yakni hasil pemeriksaan psikiater terhadap korban. Sehingga, penetapan tersangka Edi sudah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Yang ada adalah hasil pemeriksaan psikiater untuk anak itu. Dari situ ketahuan ada kesimpulan dari. Itu keterangan ahli, salah satu bukti yang sah," tandas Sudarsana.

‎ER ditangkap jajaran Polres Metro Jakarta Selatan pada pertengahan Maret 2016 atas laporan dugaan pelecehan seksual terhadap muridnya.‎ Dalam berita acara (BAP), NPT selaku korban mengaku mengalami pelecehan seksual dari ER sebanyak 4 kali.

Dalam laporan tersebut, pada Kamis 3 Maret 2016, korban terlambat masuk sekolah dan saat itu pelaku menghukum korban dengan membawanya ke ruang staf guru. Korban dipanggil ke ruang itu, saat sedang kosong dan tidak ada kamera pengintai Circuit Closed of Television (CCTV).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya