Kunjungan Kerja Wakil Rakyat Disorot

Berbagai pihak meminta dugaan kunker fiktif ditindaklanjuti serius dan diproses hukum bila terdapat temuan korupsi.

oleh Devira PrastiwiAhmad Romadoni TaufiqurrohmanPutu Merta Surya Putra diperbarui 14 Mei 2016, 00:12 WIB
Diterbitkan 14 Mei 2016, 00:12 WIB
dugaan kunker Fiktif
Ilustrasi dugaan kunker Fiktif (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan kembali riuh. Pangkal masalahnya adalah adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dengan kunjungan kerja (kunker) yang diduga fiktif. Kesekretariatan Jenderal (Setjen) berang. Potensi dugaan korupsi diusut.

Temuan ini bermula dari audit yang dilakukan auditor negara yang menemukan adanya kejanggalan dalam setiap laporan kunker para anggota dewan.

Salah satu yang mencengangkan sekaligus lucu adalah laporan foto yang dilampirkan berulang yang diduga untuk mengelabui auditor.

Wakil Ketua Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan, terkadang ada foto kegiatan kunker yang digunakan berkali-kali. Menurut BPK, lanjut dia, akuntabilitas tersebut tidak memadai. Ia pun tidak pernah menggunakan foto yang sama dalam kegiatan kunker.

Rapat Paripurna penutupan masa sidang V diwarnai interupsi, Jakarta, Jumat (29/4). Interupsi itu berasal dari salah satu anggota dari Fraksi PKS, Asrori Siregar yang meminta Fahri Hamzah diganti oleh Ledia Hanifa. (Liputan6.com/Johan Tallo)

"Ya orang-orang yang sangat sibuk dan lebih banyak percayakan kegiatannya pada tenaga ahli di lapangan," tutur Hendrawan, Kamis 12 Mei 2016.

Dalam audit BPK diduga terdapat potensi kerugian negara dalam kunjungan kerja fiktif. Angkanya cukup fantastis. Mencapai Rp 945.465.000.000.

Menurut Anggota Komisi XI tersebut, bukan hanya kepada fraksinya Setjen mengirimkan surat keberatan terkait laporan kunker. Namun, keberatan juga disampaikan ke seluruh fraksi.

Menindaklanjuti temuan itu, Hendrawan mengatakan fraksinya tengah meminta pertanggungjawaban para anggotanya, yaitu dengan membuat format laporan kunjungan kerja untuk dipenuhi.

"Kemarin (10 Mei 2016) diingatkan kembali oleh sekretaris fraksi, Bambang Wuryanto, supaya dalam satu tahun terakhir, semua akan disusun ulang," kata Hendrawan.

Hendrawan mengatakan, kewajiban membuat laporan itu hanya untuk mengingatkan anggota dewan yang menganggap enteng pelaporan tersebut. Apalagi, terkait kegiatan politik yang tidak bisa dilaporkan secara langsung.

"Misalnya nyumbang ini, nyumbang itu, puluhan juta kan enggak bisa dipertanggungjawabkan. Lalu mengumpulkan orang dikasih transport, bagaimana cara pertanggungjawaban nya," imbuh dia.

Anggota Komisi XI itu mengatakan surat tersebut untuk mengingatkan anggota dewan untuk menggunakan dana reses sebaik-baiknya. Contohnya, sosialisasi empat pilar atau undang-undang.

Sementara itu, Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto mengatakan, temuan BPK tersebut tidak bisa dianggap remeh.

Suasana Sidang Paripurna ke-24 di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4). Rapat membahas Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Periode 1 Juli sampai dengan 31 Desember 2015. (Liputan6.com/Johan Tallo)

"Perlu perhatian khusus pimpinan DPR dan anggota DPR kalau itu memang benar," kata Yandri.

Anggota Komisi II DPR ini mengatakan, temuan BPK itu adalah hal serius yang harus segera ditindaklanjuti.

"Harus di-follow up dan harus diklarifikasi anggota DPR fiktif nya di mana? BPK kita percayai, pimpinan DPR harus klarifikasi," papar Yandri.

Setelah temuan BPK ini, kata dia, fraksinya akan kembali memeriksa apa yang dilaporkan oleh anggotanya. Untuk memastikan apakah laporan yang anggotanya buat benar.

"Dengan audit BPK ini akan lebih memastikan kebenaran laporan itu," tegas Yandri.

Berpotensi Rugikan Negara

Gedung BPK RI. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI angkat bicara soal dugaan kunker fiktif anggota DPR berdasarkan temuan BPK. Dalam temuan itu terindikasi potensi merugikan keuangan negara hingga Rp 945 miliar.

Kepala Biro Pemberitaan Parlemen Setjen DPR RI Suratna mengaku tak pernah mengirim surat ke fraksi-fraksi di DPR terkait dengan proses pemeriksaan BPK tahun Anggaran 2015.

"Sekretariat Jenderal DPR RI tak pernah mengirim surat ke fraksi-fraksi termasuk di dalamnya kegiatan kunjungan kerja yang dilakukan secara perorangan oleh anggota DPR dalam rangka penyerapan aspirasi masyarakat," ucap Suratna dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat 13 Mei 2016.

Lalu, lanjut dia, apa yang disebut dengan kerugian negara dalam pemberitaan media, sejati nya belum merupakan kerugian negara. Namun lebih kepada dugaan potensi yang belum dapat diyakini kebenarannya. Sebab belum semua anggota DPR menyampaikan laporan kegiatan sebagai bukti riil sebagaimana dinyatakan oleh BPK.

"Perlu ditegaskan di sini, sesuai dengan pasal 211 ayat (6) Peraturan DPR tentang Tata Tertib menyatakan laporan kunjungan kerja anggota disampaikan oleh anggota kepada fraksinya masing-masing. Sebelum adanya pemeriksaan BPK, telah banyak anggota yang menyampaikan laporan kunjungan kerja ke fraksinya," papar Suratna.

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan, temuan BPK masih bersifat dugaan. Massoal kunjungan kerja atau kunker fiktif anggota DPR yang berpotensi merugikan negara, masih sebatas dugaan.

"Dugaan itu juga masih akan diteliti lebih lanjut apakah memang benar begitu," kata Hidayat.

Menurut dia, bisa saja potensi itu terindikasi oleh BPK karena banyak anggota DPR yang belum membuat laporan hasil kunker nya. Apalagi, menurut Hidayat, sampai saat ini BPK belum memberikan penyataan resmi soal potensi kerugian negara tersebut.

Ia menegaskan, apa yang menjadi temuan BPK belum pada kesimpulan terakhir, sehingga tidak bisa dikatakan seolah terjadi perampokan uang negara.

"Karena sekali lagi, itu perlu dilakukan pembuktian dan dilakukan kompilasi yang lebih detail lagi. Tapi apa pun, ini adalah sebuah peringatan kepada rekan-rekan saya di DPR agar kita melaksanakan reses sebagaimana mestinya," papar Hidayat.

BPK sendiri mengakui tengah mengaudit sejumlah laporan kegiatan DPR. Salah satu di antaranya, anggaran kunker para legislator.

Ketua BPK RI Harry Azhar Azis juga mengaku belum mengetahui jumlah anggaran tersebut karena audit masih berjalan.

"Sedang melakukan audit, bukan hanya kunjungan kerja tapi seluruh keuangan DPR. Angkanya saya belum tahu. Jadi kunjungan kerja itu bagian dan belum kita selesaikan, baru Juni 2016 kita laporkan ke DPR," kata Harry Azhar saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat 13 Mei 2016.

Menurut dia, BPK memang tengah gencar mengaudit laporan keuangan sejumlah lembaga negara, termasuk kementerian. Khusus untuk DPR, lanjut dia, BPK akan menyerahkan hasil audit nya pada sidang paripurna bulan depan.

"Memang sedang kita audit, belum selesai. Kita sedang gencar-gencarnya melakukan audit terhadap lembaga negara. Akhir Mei mungkin selesai, nanti kita kirim ke DPR atau nanti awal Juni baru kita serahkan di paripurna," Harry menandaskan.

Disikapi Serius

Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai anggota DPR seharusnya menggunakan masa kunjungan kerja untuk bertemu konstituennya. Bukan menyerahkannya kepada staf yang ditunjuk.

Menurut JK, setiap wakil rakyat yang melakukan kunjungan kerja ke berbagai daerah harus menjalankan kewajiban, terutama laporan selama perjalanan berlangsung. Mereka harus bertemu langsung dengan bupati dan mendapatkan tanda tangan yang menunjukkan mereka benar-benar melakukan kunjungan kerja.

"Jadi seperti itu, melihat meninjau bertemu masyarakat atau ada foto nya bertemu masyarakat," kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat 13 Mei 2016.

Menurut JK, datang langsung dalam kunjungan kerja terutama ke daerah pemilihan sebenarnya memiliki manfaat yang lebih besar. Sebab, rakyat melihat langsung keseriusan wakil mereka dan berpeluang memilih lagi saat pemilu. Hanya saja, peluang ini tidak banyak dilihat oleh anggota DPR.

Bagi JK, kabar kunker fiktif ini harus disikapi dengan serius. Anggota DPR yang kedapatan terlibat, harus mendapat sanksi, baik dari fraksi maupun dari DPR.

"Kalau tidak memenuhi itu harus ada sanksi nya baik dari fraksinya atau dari DPR sendiri," pungkas JK.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mempelajari terlebih dulu hasil temuan BPK untuk kemudian diproses hukum.

"KPK akan melihat hasil temuan itu dulu karena sejauh ini baru melihat dari pemberitaan saja," ujar Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati saat dikonfirmasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya