Liputan6.com, Yogyakarta - Gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta pada 27 Mei 2006 berkaitan dengan secar opak. Secar ini membelah Kota Gudeg mulai dari selatan hingga utara.
Dosen Geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta Prasetyadi mengatakan, pihaknya telah melakukan penelitian di sepanjang Bantul hingga Sleman pada 2012 lalu selama dua bulan.
Tim menemukan adanya manifestasi secar opak di Kembangsongo, Trimulyo Jetis, Bantul. Manifestasi itu terlihat sepanjang dua kilometer melalui batuan yang masih tersimpan di bukit Kembangsongo.
"Di kembangsongo kita menemukan jalur jalur itu. Orang geologi menemukan batuan yang masih segar, jadi batuan betul-betul padat jejak-jejaknya sama dengan arah secar opak. Tapi agak nyerong sedikit 20 derajat ke utara, lalu kita kaitkan jangan jangan ya ini si jalur secar opak," kata Prasetyadi kepada Liputan6.com baru-baru ini di Yogyakarta, Minggu (29/5/2016).
"Walau pun kelihatan sekitar dua kilometer lainnya hilang ditelan oleh permukiman sungai tempat tinggal, jadi tidak terlihat lagi. Karena di batuan yang segar, maka arah-arah secar opak masih kerekam, apalagi ditambang orang terus," sambung dia.
Prasetyadi mengatakan, ekpresi zona secar opak itu paling bagus ada di Kembangsongo. Ekspresi itu dapat terlihat, karena mengenai batuan yang masih segar sehingga masih terekam.
Namun, jika jalur itu mengenai batuan yang lunak atau alluvial, kemungkinan akan hilang karena batuannya akan tererosi. Ekspresi Kembangsongo inilah yang ditunjukkan ke Gubernur DIY Sri Sultan HB X saat napak tilas beberapa waktu lalu.
"Pundong masuk kriteria di jalur secar ini, nah Kembangsongo itu di batuan segar. Kalau dia secar motongnya di batuan lunak dia tidak akan keliatan lagi, tapi yang keras dia akan kelihatan," kata dia.
"Dia ada di batuan yang keras dia disebut batuan semilir, batuan gunung api, sementara kalau dilihat yang putih yang muda ya bekasnya waktu terlihat jelas namun hilang lagi," lanjut dia.
Prasetyadi mengatakan, setelah ekspresi dan jalur secar opak ditemukan, pihaknya memberitahukan pengelola candi Prambanan. Sebab secar Opak itu tepat berada di bawah candi.
Menurut Prasetyadi, panjang secar opak dari Prambanan ke selatan kurang lebih 30 hingga 40 kilometer sampai berhenti di palung Jawa. Jadi candi Prambanan berada di atasnya, karena dulu ditengarai sungai opak itu seperti dibengkongkan. Â
"Kalau kembali ke purba berarti banyak candi-candi yang berantakan, kan candi Kedulan banyaklah bentuknya tidak utuh lagi. Kalau biang keladinya merapi kok kejauhan, karena setting-nya jauh," sambung dia.
  Â
Potensi Gempa Besar
Prasetyadi mengatakan, gempa Yogya terekam periodiknya lebih lama dalam mengalami keterulangan. Karena sifat benturan dari lempeng Indo Australia yang bergerak ke utara per tahun bergerak tujuh sentimeter.
Namun yang membedakan adalah di Jawa lempeng ini bergerak ke utara dengan tegak lurus, sedangkan pulau Sumatera posisinya miring. Benturan lempeng yang berbeda posisi ini memengaruhi intensitas gempa.
Di Sumatera, kata Prasetyadi, intensitas gempa terekam lebih sering, namun di Yogya masih terekam rendah intensitas gempa.
"Apa yang terjadi benturan miring ya bergeser, jadi dia sobek, makanya sobekannya itu senantiasa terganggu terus. Sementra di Yogya tegak lurus, maka tidak seaktif yang miring. Kalau nabraknya berhadapan, paling naik, kalau miring anda bisa ngoset gitu," ujar dia.
Selain itu, kata Prasetyadi, dipengaruhi halus tidaknya lantai samudra. Semakin halus lantai samudera maka tidak ada gaya gesek yang besar. Sementara saat ini di selatan Jawa lantai samudra, tidak sehalus yang diperkirakan.
Prasetyadi menjelaskan, saat ini terlihat ada tonjolan tonjolan atau roo rise. Tonjolan yang ada di lempengan Indo Australian ini dilihat dari kehadiran Christmast Island dan beberapa pulau lainnya. Keberadaan tonjolan ini dapat memengaruhi getaran jika terjadi gempa.
"Semakin dia halus dia semakin smooth tidak ada gaya gesek yang besar, halus. Karena tidak ada gaya gesek yang besar ya tidak ada gempa. Tapi kalau di Sumatera tadi tetap karena miring tadi, ada gesekan itu," papar dia.
"Jadi membedakan Jawa dan Sumatera adalah posisi sudut benturan atau sudut datangnya. Kalau di Sumatera menyudut, di Jawa tegak lurus. Nah, karena tegak lurus itu dipengaruhi halus kasarnya lantai samudra. Kalau lantai samudra halus dan ini tegak lurus yaudah ini smooth smooth aja," sambung Prasetyadi.
Â
"Sementara di petakan ada Christmast Island itu tidak ada sendiri ada teman-temannya yang dibilang roo rise simon. Ini ketinggian bisa sampai dua kilometer dari dasar lantai samudra. Roo rise ini memanjang dari Yogya hingga Banyuwangi," sambung dia.
Perbedaan intensitas gempa dalam satu lajur antara Jawa dan Sumatra (seismic gap), menurut Prasetyadi, disebabkan karena tertahannya energi dan kekasaran lantai samudra.
Salah satu indikasinya seismic gap muncul dari gempa yang sangat mengkhawatirkan adalah gempa Yogya, yang mempunyai siklus selama 60 tahun.
"Kalau disosialisasikan agak mengandung sedikit kekhawatiran, karena akan gempa besar tapi memang seperti itu dia dangkal dan geometrinya lantai samudera di selatan Yogya itu tidak halus," kata dia.
"Jadi tidak halus itu gesekan antara dua lempeng ini jadi tertahan, kan tertahankanya ini menjadikan akumulasi energi potensi semakin tinggi. Dia butuh waktu lama untuk bergerak jadi gempa. Karena akumulasi besar maka gempanya juga besar," tandas Prasetyadi.
Prasetyadi khawatir, jika palung Jawa dimasuki roo rise yang ada di selatan Jawa, menjadi tidak smooth lagi. Sehingga, potensinya akan membutuhkan energi yang besar atau akan tertahan sebentar, atau tertahan sampai suatu ketika lepas. Â
Tertahan dan lepas ini yang membutuhkan waktu panjang di Jawa. Hal itu nantinya membuat gempa lebih besar dan dangkal. Sementara saat ini palung Jawa sudah patah di bagian selatan Yogyakarta, sehingga jika terjadi gempa akan memilih patahan itu, daripada membuat patahan baru.
Advertisement
Contoh Mahal
Gempa Yogya 10 tahun lalu menjadi peringatan tersendiri bagi warga Bantul dan sekitarnya. 10 Tahun lalu gempa 5,9 SR itu telah merubuhkan sebagian peradaban selatan Kraton Yogyakarta waktu itu. Â
Prasetyadi mengatkan, refeleksi 10 tahun ini tidak sekadar mengingatkan bahwa kewaspadaan itu jangan dimakan waktu. Refleksi itu harus selalu diingat warga yang tinggal di daerah rawan gempa. Mereka harus hidup selaras dengan tidak menyalahkan alam.
"Kan bangsa itu sering lupa, maka saya bilang saya melawan lupa. Kita harus smart dan menyadari gempa erupsi bahwa bagian tanah yang kita tempat tinggali ini," kata dia.
"Kewaspadaan itu tidak luntur karena entimologi terhadap gempa memang gitu kejadiannya. Tahun 2006 jadi contoh yang mahal. Kita enggak ingin ada contoh kedua," sambung dia.
Menurut Prasetyadi, gempa 2006 menjadi event kebencanaan dan membuat masyarakat Bantul, khususnya di Pundong menjadi titik balik mereka bangkit.
Kebangkitan itu saat ini terlihat selama 10 tahun itu terkenal dengan pusat kerajinan dan kuliner. Hal ini membuat mereka berubah dan mempunyai kesadaran yang lebih tinggal di wilayah rawan gempa.
Salah satunya dengan membangun rumah dengan struktur bangunan yang lebih kuat. Namun, pemerintah dianggap belum maksimal memberikan contoh dan anjuran dalam membangun rumah. Rumah tahan gempa di Klaten dinilai berlebihan.
"Coba masuk sana, sumuk (gerah) kan? Secara struktur ok tapi secara kelaikan dan kenyamanan jadi terabaikan. Ada titik ekstrem yang mengabaikan dan ada titik ekstrem yang mengunggul. Kita enggak usah buru buru bermain engineering kaku, tapi engineering berbasis culture," ujar dia.
Baca Juga
Prasetyadi mengatakan jika Pemda Yogyakarta hadir dalam kewaspadaan gempa bencana, maka perlu melakukan asessment bangunan publik terhadap kegempaan.
Ia menceritakan saat ia pergi ke Utah Amerika Barat. Saat itu, Utah masuk dalam jalur patahan dari San Andreas. Patahan itu melintas di tengah kota. Namun penduduknya membandel, membangun rumah di sekitarnya.
Lalu para geologi di sana memberikan penjelasan dan informasi gempa berapa tahun sekali. Namun saat itu warga tidak mengetahui bagaimana bangunan tahan gempa.
Sehingga pemerintah di Utah membongkar seluruh bangunan publik, seperti sekolah, geraja, ruang pertemuan, dan membangunnya kembali dengan bangunan yang tahan gempa.
"Sebetulnya kita harus meniru tapi langkah itu bagus kalau kita hanya terus berwacana, tidak mengerti ukurannya seberap banyak. Masyarakat kita mbok pemerintah ngasih contoh. Kalau pemerintah punya will yang baik, buat dong itu untuk percontohan," papar dia.
Â
"Ketika ada gempa, mereka semua selamat di alamnya. Enggak kebayang kita sesat soal gempa, tiba-tiba sekolah ambruk dan ada murid yang tidak bisa aman," pungkas Prasetyadi.