Tokoh Pers Herawati Diah Wafat di Usia 99 Tahun

Siti Latifah Herawati Diah wafat di usia 99 tahun di Rumah Sakit Medistra, Jakarta.

oleh Liputan6 diperbarui 30 Sep 2016, 08:14 WIB
Diterbitkan 30 Sep 2016, 08:14 WIB
Herawati Diah
Tokoh pers Herawati Diah. (Foto: Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Satu lagi tokoh pers Indonesia berpulang. Siti Latifah Herawati Diah wafat pada usia 99 tahun di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, Jumat (30/9/2016).

Seperti dilansir Antara, Siti Latifah Herawati Diah lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 1917, adalah adalah anak ketiga dari antara empat bersaudara. Ibunya Siti Alimah binti Djojodikromo dan ayah Raden Latip R Latip adalah lulusan sekolah dokter Stovia tahun 1908, membuka praktek di pulau tetangga Bangka itu sebagai ahli medis sebuah perusahaan tambang timah Belanda.

Saat penyusunan cetakan kedua Ensiklopedia Pers Indonesia (EPI) terbitan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 2010, Herawati pernah menyatakan, tanpa melepas pendidikan agama Islam dan tradisi, Alimah mendorong anak-anaknya untuk merangkul gaya hidup Barat yang bertujuan mengimbangi kaum penjajah Belanda.

Khusus Herawati, mula-mula dikirim ke sekolah di Jepang. Berlanjut ke Amerika Serikat, di mana pada 1941, dia menjadi wanita pertama Indonesia yang berhasil meraih gelar sarjana dari luar negeri.

Dia lalu menjalani studi di Barnard College, Universitas Columbia, New York, AS. Pada musim panas, dia belajar jurnalistik di Universitas Berkeley, California.

Mengapa belajar ke Amerika dan bukan Eropa? Karena ibunya yang dari lingkungan priyayi tersebut telah memutuskan Herawati harus menuntut ilmu ke negara yang tidak punya jajahan.

Selesai studi, dia kembali ke Indonesia. Jepang menyerbu ke selatan dan menggulingkan semua pemerintahan jajahan Eropa di Asia Tenggara.

Ternyata, latar pendidikan Amerika yang dimilikinya sangat diperlukan segera, guna menghadapi berbagai peristiwa-peristiwa genting yang melanda Indonesia. Maka, Herawati tergiring untuk menjalankan tugas-tugas jurnalisme.

Dia setengah dipaksa bekerja di stasiun radio penguasa militer Jepang yang membutuhkan penyiar berbahasa Inggris untuk keperluan propagandanya.

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dia sempat menjadi sekretaris pribadi Menteri Luar Negeri pertama Republik Indonesia, Achmad Soebardjo, yang kebetulan pamannya.

Jurnalisme Bagi Herawati

Herawati pun membantu suaminya, BM Diah, menerbitkan koran pro-Indonesia, Merdeka. Mereka menilai Indonesia merupakan pemain baru dalam arena politik internasional yang belum teruji. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan media komunikasi untuk melawan Belanda dan sekutu yang mengotot ingin memulihkan rezim Hindia Belanda. Beredarlah Harian Merdeka sejak 1 Oktober 1945.

Sejak Oktober 1954, dia memimpin harian baru berbahasa Inggris, Indonesian Observer untuk mengkampanyekan aspirasi kemerdekaan RI dan negara-negara masih terjajah, yang makin menggelora sejak penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika pada 1955 di Bandung.

Apakah jurnalisme itu di mata Herawati Diah? Menurut dia, jurnalisme paling tidak menuntut kecintaan pada pekerjaan dan membutuhkan pengindahan terhadap hati nurani.

"Hati nurani adalah penyuluh dari pekerjaan dan sukses wartawan, justru karena inti dari profesi ini adalah pengabdian kepada kepentingan umum. Inilah yang berulang kali saya sadari ketika melakukan lawatan keliling Nusantara dalam rombongan bersama Presiden Sukarno."

Ia menimpali, "Keterbelakangan sekian daerah di Indonesia mengharuskan kita membuat reportase menggunakan hati nurani. Dengan kegemaran merekam setiap kali terlihat satu contoh sikap di dalam masyarakat, dan memegang teguh prinsip-prinsip moral dan etik, wartawan akan merebut kepercayaan pembacanya, membesarkan tempatnya bekerja, dan malah mencetak nama bagi dirinya sendiri."

Jurnalisme dan Perempuan

Khusus mengenai jurnalisme dan perempuan, Herawati menilai ada kesalahan dalam mengembangkan jurnalisme.

"Salah satu kesalahan itu adalah pengucilan berita-berita penting bagi umat manusia sebagai sekadar berita wanita. Berarti itu tidak dianggap penting. Padahal, sebenarnya menyangkut lebih dari separuh penduduk dunia. Persoalan wanita adalah persoalan setengah dunia, bukan persoalan sekelompok kecil masyarakat," kata dia.

Herawati sempat menyatakan, "Kini meningkatnya jumlah wartawati di dunia pers membesarkan hati saya. Saya yakin bahwa banyak wanita sependapat dengan saya bahwa wanita dalam posisi lebih baik untuk memperjuangkan nasib sesamanya daripada rekannya yang laki-laki.

Ia menambahkan, "Sebab masih saja terdapat ketiadaan keadilan bagi wanita di pelbagai sektor kehidupan di bumi Indonesia yang tercinta ini. Keuntungan yang kita peroleh sebagai wartawan wanita tidak terhitung banyaknya."

Herawati mendampingi suaminya yang diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh di Cekoslowakia, kemudian Inggris dan terakhir Thailand (1959-1968).

Selepas dari Bangkok, Thailand, kembali ke Jakarta, Herawati menjadi sebagai istri Menteri Penerangan dalam kabinet terakhir Bung Karno (1968). Namun, karena Merdeka dan Indonesian Observer terus terbit selama pengembaraannya, Herawati tetap dapat mempublikasikan kesan-kesannya sebagai pemberitaan.

Hingga akhir hayatnya, tokoh pers itu tetap rajin menulis dan membaca media massa berbahasa Indonesia maupun asing. "Biar tidak cepat pikun," demikian Herawati Diah, yang juga penerima Bintang Mahaputra itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya