Liputan6.com, Jakarta Data dari World Bank (2015) kaum urban di Indonesia mencapai 53,7% dari total jumlah penduduk, yakni sebanyak 138.419.945 orang.
Angka ini bertambah hampir dua kali lipat jika dibandingkan 20 tahun lalu, yang mana kaum urban Indonesia hanya 71.054.512 orang.
Dengan semakin tak terbendungnya laju pertumbuhan penduduk di kota-kota besar. Bukan hanya karena pertumbuhan 'organik' dari para penduduk kotanya, namun juga lantaran semakin kencangnya arus perpindahan penduduk dari desa ke kota besar.
Advertisement
Sudah bisa dipastikan berbagai persoalan pemenuhan kebutuhan dasar hidup akan turut menyertai. Mulai dari ketersediaan pangan, air bersih, tempat tinggal yang bersih dan sehat, hingga lapangan pekerjaan.
Selain itu, ‘penyakit’ turunan dari urbanisasi pun telah mengakar di jalanan dalam bentuk kemacetan. Fenomena kemacetan kronis pun memberi dampak kerugian ekonomi yang sangat besar.
Data Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2015 menunjukkan kerugian akibat kemacetan di DKI Jakarta mencapai hingga Rp 65 triliun per tahun, atau setara dengan biaya pembangunan 14 jembatan Suramadu yang masing-masingnya sebesar Rp 4,5 triliun. Dengan demikian sudah sangat benderang besarnya nilai potensi ekonomi yang hilang akibat kemacetan.
Kemacetan setiap waktu dan setiap hari dijalani oleh seluruh masyarakat Indonesia. Bukan hanya di jalanan saja banyak juga yang memilih transportasi umum, seperti halnya kereta commuter line.
Terutama, mengingat besarnya jumlah komuter di kota-kota besar, seperti di Jakarta yang berdasarkan data Badan Pusat Statistik, mencapai 2,42 juta komuter.
Akumulasi waktu yang terbuang percuma oleh masyarakat ini adalah sebuah konsep yang telah diterminologikan sebagai “limbah waktu”.
Apa itu Limbah Waktu dan Bagaimana Cara Mengukurnya?
Sebagai ilustrasi, akumulasi limbah waktu yang diproduksi komuter Jabodetabek dalam enam hari dapat digunakan untuk membangun gedung tertinggi di dunia, Burj Khalifa; Bangunan 163 lantai dengan tinggi 829,8 meter atau enam kali lebih tinggi dari Monas. Dalam waktu satu bulan limbah waktu komuter Jabodetabek dapat digunakan untuk membangun 5 Burj Khalifa.
Berdasarkan penelitian mutakhir terhadap 1.004 pengguna ponsel cerdas (smartphone) di lima kota besar Indonesia (Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar), sebanyak 62% responden menghabiskan waktu dijalan lebih dari satu jam per hari.
Survei dengan margin error 4,38% dan tingkat kepercayaan 95% ini menunjukkan rata rata waktu yang dihabiskan masyakarat Jabodetabek di kala macet bisa mencapai 1,5 jam per hari. Sehingga total waktu yang dihabiskan warga Jabodetabek untuk bolak-balik antara rumah dan kantor mereka mencapai 3,63 juta jam perhari.
Selain itu, besarnya waktu yang dihabiskan juga memberikan dampak negatif terhadap berbagai aspek kehidupan para komuter. Seperti yang terungkap dari survei yang sama, sebanyak 85% responden mengakui bahwa macet memberikan dampak negatif bagi kualitas hidup mereka dan 61% responden secara spesifik menyatakan bahwa kemacetan membuat tingkat stres mereka meningkat.
Hal tersebut paling banyak dirasakan oleh reponden berusia 30 tahun, dimana 73% dari mereka mengakui adanya peningkatan level stres akibat macet.
Lebih lanjut lagi, sebanyak 37% responden mengaku performa kerja mereka menurun, sedangkan 35% merasa hubungan keluarga mereka menjadi lebih buruk.
Bagaimana Cara ‘Mendaur Ulang’ Limbah Waktu?
Sudah seharusnya kita sebagai masyarakat Indonesia bisa mendaur ulang limbah waktu. Kenapa? karena dengan bisa mendaur ulang limbah waktu menjadi sesuatu yang bermanfaat, tentu akan menguntungkan bagi masyarakat banyak.
Seperti pengolahan limbah sampah di salah satu negara maju, Korea, yang berhasil mengubah sampah menjadi tenaga listrik melalui proyek Korea’s Landfill Gas Recovery Project.
Kembali ke pemasalahan limbah waktu, masyarakat harus dapat memanfaatkan waktu yang biasanya terbuang saat bermacet-macet ria untuk melakukan hal yang lebih baik.
Tengok saja bagaimana mereka sangat tertib ketika menggunakan angkutan umum serta asyik dengan gawainya (gadget) masing-masing. Ada yang menggunakannya untuk menyelesaikan pekerjaan, membaca buku digital, komik, atau membuka berbagai aplikasi lain yang bermanfaat.
Bisa kita lihat bahkan mungkin Anda sendiri merasakan saat terpapar kemacetan sudah terbiasa asik dengan gadget-nya. Salah satunya dengan memanfaatkan internet untuk membuka dunia lewat browsing.
Nah, jika kita melakukan hal-hal positif dengan gadget kita saat dijalan atau kemacetan dengan baik tentu itu sudah bisa dikatakan sebagai wujud mendaur ulang limbah waktu.
Sebagai masyarakat kita harus dapat memilih secara bijak apakah ingin menua sia-sia di tengah kemacetan atau memanfaatkan limbah waktu yang tersedia melimpah dengan perilaku-perilaku yang positif dan bermanfaat?
(Adv/HA)