Kampanye Anti Tembakau Bertabur Dollar?

Fakta menunjukkan, sejumlah besar duit dollar mengalir ke sejumlah lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, bahkan lembaga pemerintah.

oleh Liputan6 pada 14 Des 2016, 11:50 WIB
Diperbarui 15 Des 2016, 17:15 WIB

Liputan6.com, Jakarta Fakta menunjukkan, sejumlah besar duit dollar mengalir ke sejumlah lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, bahkan lembaga pemerintah. Di balik duit itu ada satu pesan: memberangus industri hasil tembakau.

Kampanye anti tembakau yang digencarkan sejumlah institusi pendidikan, kelompok riset, hingga lembaga swadaya masyakarat (LSM) rupanya tak tak bebas nilai.

Pernyataan pedas kerap dilontarkan yang dialamatkan ke industri kretek di dalam negeri dan juga para petani, ternyata dicecoki duit asing.

Sudah bertahun-tahun, jutaan dollar AS mengalir ke kantong-kantong kelompok anti kretek. Inilah ironi anak negeri. Mereka tentu sadar, tak ada makan siang yang gratis. Duit dollar itu jelas membawa pesan terbuka, bagaimana memberangus industri hasil tembakau di Tanah Air.

Dengan beragam cara, mulai kampanye terang-terangan di ruang publik, melakukan kampanye hitam di media, hingga membuat riset-riset tak bebas nilai dengan tujuan utama membumihanguskan tembakau.

Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, menjelaskan, akibat kampanye kelompok anti tembakau, perlahan dan pasti, pemerintah mengadopsi banyak regulasi produk asing yang pada intinya membatasi pertumbuhan industri hasil tembaku.

Saat ini banyak dana-dana asing dari berbagai perusahaan asing dan lembaga internasional mengucur deras ke berbagai kelompok kepentingan di Indonesia, bahkan, lebih ironis lagi, termasuk ke kementerian.

Kata Daeng, duit asing itu jelas tak bebas kepentingan. Tentu yang paling utama adalah bagaimana duit itu bisa menghasilkan perubahan regulasi nasional. “Contoh kongkritnya adalah dana-dana asing untuk kelompok antitembakau itu,” terang Daeng.

Daeng menambahkan, “Korporasi asing atau lembaga asing kasih uang untuk mengubah regulasi dengan tangannya sendiri. Mereka lebih anarkis tapi tidak pernah dianggap berbahaya oleh pemerintah.”

Merujuk situs http://tobaccocontrolgrants.org/ termpampang jelas lembaga-lembaga mana saja di negara ini yang menikmati kucuran duit asing untuk membunuh petani tembakau.

Contoh, Fakultas Komunikasi Universitas Islam Bandung menerima USD25.090 untuk program Bandung Bebas Asap Rokok dengan mendorong hadirnya Perda Bebas Asap Tembakau. Progam dijalankan mulai Mei 206 sampai 2017.

Sementara Indonesia Corruption Watch (ICW) menerima duit USD45.470 dengan tujuan mendorong good governance kebijakan tembakau di Indonesia. Ditail tugas ICW yakni melaksanakan kampanye dengan mitra koalisi anti-tembakau yang mempromosikan transparansi dan akuntabilitas melalui kegiatan yang bertujuan untuk mendorong perubahan mendasar dalam kebijakan pemerintah terkait dengan tata kelola tembakau.

Namun sebenarnya, Universitas Islam Bandung atau ICW adalah penerima “duit receh” untuk kampanye antitembakau. Karena sejatinya, lembaga-lembaga pemerintah pengguna dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) yang sebagian dari anggaran itu bersumber dari perpajakan industri hasil tembakau juga bersemengat menerima duit dollar untuk kampanye antitembakau.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit non Menular Kementerian Kesehatan misalnya. Direktorat ini bak duri dalam daging. Di satu sisi mereka menerima anggaran negara namun di sisi lain mereka berkampanye untuk menggerus penerimaan negara dari perpajakan industri hasil tembakau.

Dana yang mereka terima pun tak tanggung-tanggung. Dalam kurun waktu September 2008 hingga Februari 2016, Direktorat ini menerima duit dari Bloomberg Inisiative mencapai kurang lebih USD 850.000 atau setara dengan Rp 13 miliar lebih.

Belum lagi dana-dana yang diterima lembaga pendidikan. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI, misalnya. Di awal-awal kampanye pada 2008 silam, lembaga ini menerima sekitar USD 280.000. Dan di tahun-tahun berikutnya, lembaga ini menerima dana yang tergolong receh, yakni sebesar USD 40.000.

Bahkan, kampanye kenaikkan harga rokok menjadi Rp 50.000, juga tak lepas dari peran duit dollar ini. Hanya saja yang memainkan isu ini adalah Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Fakultas ini menerima dana sebesar kurang lebih USD 350.000 atau setara Rp 4,55 miliar untuk rentang kampanye mulai Februari 2015 hingga Januari 2017.

Itulah fakta-fakta bahwa kampanye antitembakau sarat kepentingan asing.




(Adv)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya