Kronologi Keluarnya Sikap Keagamaan MUI Versi Pengacara Ahok

Pengacara Ahok menilai ada yang janggal dalam keluarnya pandangan dan sikap keagamaan MUI itu.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 07 Feb 2017, 09:15 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2017, 09:15 WIB
Ahok
Ahok dan tim pengacaranya dalam sidang.

Liputan6.com, Jakarta - Pengacara Ahok menjelaskan soal sikap tim penasihat hukum Gubernur nonaktif DKI Jakarta tersebut saat bertanya ke Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin. Saat itu, pengacara mengaku hanya ingin merunut kronologi keluarnya pendapat dan sikap keagamaan MUI terkait pidato Ahok di Kepulauan Seribu.

Penasihat hukum Ahok, Humprey Djemat, mengatakan mereka ingin menggali kebenaran untuk kliennya. Mereka menilai ada yang janggal dalam pengeluaran pandangan dan sikap keagamaan MUI itu. Terlebih, pandangan dan sikap keagamaan MUI ini dikeluarkan dalam waktu sangat singkat.

"Harus lihat konstruksi. Ini berkaitan dengan produk MUI, kenapa yang dikeluarkan pandangan dan sikap keagamaan, bukan fatwa. Kalau fatwa diatur terinci dalam pedoman MUI. Kalau pandangan ini tidak diatur dan kemarin terungkap, itu baru pertama kali dalam sejarah MUI baru dikeluarkan," ujar Humprey sebelum sidang Ahok dimulai, di Jakarta, Selasa (7/2/2017).

Menurut dia, pandangan dan sikap keagamaan terkait Ahok ditandatangani pada 11 Oktober 2017. Sehari kemudian, surat itu sudah dilaporkan ke Kapolri.

Jika dirunut, kata Humprey, MUI mempersiapkan dan membahas pandangan dan sikap keagamaan tersebut. Sedangkan, 8 dan 9 Oktober adalah libur akhir pekan. Rentang waktu itu dinilai terlalu singkat untuk menelurkan sebuah sikap atau pandangan.

Sementara, pada 7 Oktober 2016, PBNU menerima kedatangan pasangan calon nomor urut 1, Agus Yudhoyono dan Sylviana Murni. Ma'ruf. Sebagai Rois Aam PBNU, Ma'ruf Amin yang menerima keduanya. Hal itu terkonfirmasi dengan berita yang dimuat, termasuk soal komunikasi Ma'ruf dengan ayah Agus yang merupakan mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.

"Tentu kita pertanyakan kenapa bisa timbul sikap keagamaan ini. Proses ini dibilang 1 Oktober untuk melakukan penelitian dan investigasi. Kenapa bisa tanggal 1 Oktober, padahal ada isu ini dan muncul video editan itu baru 5 Oktober. Kita pertanyakan itu, dasarnya dari apa? Beliau bilang ada laporan masyarakat. Siapa? Orang Kepulauan Seribu. Kapan? Tanggal 28 September," tutur Humprey.

Namun, ucap dia, tidak ada sama sekali warga Kepulauan Seribu yang melapor soal dugaan penistaan agama. Ahok sendiri baru berpidato pada 27 September 2016.

"Mustahil karena tanggal 27 baru selesai pidato. Tanggal 28 malam Pemprov DKI baru unggah videonya. Lalu hal ini ditanyakan, ada laporan? Enggak, lisan katanya. Oleh karena itu, hasil kajian kita minta biar bisa kita lihat," tukas Humprey.

Klarifikasi MUI

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Infokom Masduki Baidlowi mengatakan proses pembahasan pendapat dan sikap keagamaan MUI soal dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak dilakukan secara tergesa-gesa.

"Asumsi yang menggambarkan bahwa MUI Pusat menetapkan sikap dan pandangan keagamaan secara mendadak, tiba-tiba atau tergesa-gesa sangat tidak beralasan," kata Masduki di Jakarta, Rabu, 2 Februari 2017.

Ia mengatakan, proses pembahasan pendapat dan sikap keagamaan MUI telah dimulai sejak awal Oktober 2016, sebelum MUI DKI mengeluarkan surat teguran.

Sifat tidak tergesa-gesa, kata dia, juga berlaku untuk surat teguran MUI DKI untuk Ahok pada 9 Oktober 2016 dan mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaan MUI Pusat pada 11 Oktober 2016.

Dikutip dari Antara, surat teguran serta pendapat dan sikap keagamaan tersebut, kata Masduki, tidak bertentangan tapi saling mendukung. Soal kuorum rapat dalam penetapan sikap dan pandangan Majelis Ulama Indonesia, kata dia, telah dihadiri anggota sesuai peraturan.

Pada rapat Komisi Fatwa yang membahas kasus Ahok itu, hadir Ketua MUI yang membidangi fatwa, ketua dan wakil-wakil ketua Komisi Fatwa, sekretaris dan wakil-wakil sekretaris Komisi Fatwa dan puluhan anggota Komisi Fatwa. Bahkan, lanjut dia, hadir dalam rapat tersebut lima guru besar dari berbagai bidang, yaitu fikih, ushul fikih, hukum, dan tafsir.

Hadir pula akademikus dari berbagai kampus seperti UIN Jakarta, UI, IIQ (Institut Ilmu Al quran) Jakarta, Uniat (Universitas At Tahiriyah) Jakarta, UAD, PTIQ dan lain-lain.

"Ada juga Rektor IIQ dan Direktur Pascasarjana IIQ. Mereka hadir dan ikut pembahasan," ucap dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya