Liputan6.com, Jakarta - KPK kembali memeriksa dua saksi terkait kasus suap proyek jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Mereka adalah staf administrasi anggota DPR Fraksi PKB Musa Zainudin Mutakin dan Direktur Jalan Bebas Hambatan Perkotaan dan Fasilitas Jalan Daerah Ditjen Bina Marga Kementerian PUPR, Subagiono.
"Benar, keduanya akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka YWA (Yudi Widiana Adia)," tutur Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin (20/2/2017).
Sebelumnya, Musa dalam sidang terdakwa Abdul Khoir di Pengadilan Tipikor Jakarta disebut-sebut turut menerima suap senilai Rp 8 miliar untuk mengalihkan program aspirasinya ke Maluku dan Maluku Utara.
Advertisement
KPK telah menetapkan 10 tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan di Kementerian PUPR. Lima di antaranya adalah anggota DPR.
Mereka adalah Damayanti Wisnu Putranti dari Fraksi PDIP, Budi Supriyanto dari Fraksi Golkar, Andi Taufan Tiro dari Fraksi PAN, Yudi Widiana Adia dari Fraksi PKS, dan Musa Zainudin dari Fraksi PKB.
Sementara, tersangka lain yang sudah ditetapkan oleh KPK yakni Komisaris PT Cahaya Mas Sok Kok Seng alias Aseng, Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara Amran Hi Mustary, Abdul Khoir serta dua rekan Damayanti, Dessy A Edwin dan Julia Prasetyarini.
Korupsi Penerbitan Paspor
Selain itu, hari ini KPK juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap mantan Pembantu Atase Imigrasi KBRI Malaysia Idul Adheman soal dugaan tindak pidana korupsi penerbitan paspor RI dan proses penerbitan calling visa tahun 2013-2016.
"KPK menjadwalkan pemeriksaan Idul Adheman sebagai saksi untuk tersangka DW (Dwi Widodo)," terang Febri Diansyah.
Sebelumnya, penyidik telah menetapkan Atase Imigrasi KBRI Malaysia Dwi Widodo sebagai tersangka penerbitan paspor RI dengan metode reach out pada 2016. Dia diduga menerima uang sejumlah Rp 1 miliar.
Dwi diduga meminta yang melebihi tarif yang ditentukan dari pihak perusahaan yang mengurus paspor dan visa tenaga kerja Indonesia di Malaysia umtuk membantu membuat paspor baru yang hilang atau rusak.
Dwi disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.