Calon Penasihat KPK Ini Sebut Maladministrasi Jadi Embrio Korupsi

Hal ini, menurut Budi terjadi lantaran seluruh tindak korupsi bermula dari maladministrasi.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 27 Mar 2017, 08:23 WIB
Diterbitkan 27 Mar 2017, 08:23 WIB
Ilustrasi KPK
Ilustrasi KPK

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Budi Santoso, mengikuti tes wawancara Panitia Seleksi (Pansel) Penasihat KPK 2017-2021 di Gedung KPK, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

Saat sesi wawancara, Budi mengatakan kalau maladministrasi merupakan embrio tindak pidana korupsi. Menurut dia, seluruh tindak korupsi bermula dari maladministrasi.

Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam suatu proses administrasi pelayanan publik, yakni meliputi penyalahgunaan wewenang atau jabatan, kelalaian dalam tindakan dan pengambilan keputusan, pengabaian kewajiban hukum, dan menunda berlarut.

Budi mengungkapkan, ORI menerima sekitar 6 ribu laporan dugaan maladministrasi setiap tahunnya. Dari jumlah itu, kata dia, laporan-laporan yang terbukti maladiministrasi terdapat korupsi di dalamnya.

"Laporan-laporan yang terbukti maladminstrasi itu embrio dari korupsi. Semua korupsi itu awalnya maladministrasi," ujar Budi di Gedung KPK Jakarta, Minggu 27 Maret 2017.

Ia memberikan contoh seorang pengacara yang terbukti tindak pidana, pasti melanggar kode etik. Meski demikian, Budi mengatakan, tidak seluruh tindak korupsi bermula dari maladministrasi.

"Saya tidak mengatakan 100 persen korupsi itu sebelumnya maladministrasi," ucap dia.

Selama menjadi Komisioner ORI, Budi mengaku banyak menerima pengaduan dan laporan terkait maladministrasi dan pelayanan publik yang tidak transparan. Menurut dia, masyarakat terutama kelas menengah ke bawah di daerah harus menggunakan suap untuk mendapat pelayanan publik yang jadi haknya.

Dengan trigger mechanism atau mekanisme pemicu yang dimilikinya, Budi yakin KPK dapat mencegah terjadinya korupsi di sektor pelayanan publik melalui sistem pencegahan yang terintegrasi.

"Kewenangan KPK, dia harus leading di situ, mengoordinasikan proses-proses. Bagiamana dalam satu pemda itu pelayanan publik itu memenuhi standar-standar kualitas tertentu," tutur dia.

Tak hanya itu, Budi juga merasa kalau revisi Undang-undang (UU) KPK belum mendesak.

"Saya melihat kalau mau fair, justru Undang-undang Tipikor yang lebih dulu direvisi ketimbang Undang-Undang KPK," kata Budi.

Menurut Budi, UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang ada saat ini masih terbatas kewenangannya.

"UU Tipikor masih terbatas juga kewenangannya, dalam mendefinisikan korupsi saja, itu kan Indonesia paling sempit," ucap dia.

Budi menegaskan, kalau UU Tipikor yang terlebih dahulu direvisi, maka secara otomatis UU KPK akan menyesuaikan.

"Secara logika sederhana, kalau Undang-Undang Tipikor direvisi lebih dulu, saya kira KPK secara otomatis menyesuaikan," tegas Budi.

Ke-13 calon Penasihat KPK dinyatakan lolos tahap akhir wawancara. Mereka adalah Antonius D R Manurung dari Universitas Mercubuana, Budi Santoso dari Ombdusman RI, Burhanuddin dari dosen Hukum Pidana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Burhanuddin, Edi Sutarto dari Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan Edward Efendi Silalahi akademisi dari Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.

Ada juga Johannes Ibrahim Kosasih dari Universitas Kristen Maranatha, Moh Tsani Annafari dari Kementerian Keuangan, Muhammad Arief dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan Nindya Nazara dari PT Gerbang Berkah Solusi Indonesia.

Empat calon lainnya, yaitu Roby Arya Brata dsri Sekretariat Kabinet, Sarwono Sutikno dari Institut Teknologi Bandung, Vincensius Manahan Mesnan Silalahi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, serta Wahyu Sardjono dari Garuda Indonesia.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya