Liputan6.com, Jakarta - Beberapa hari ini, publik Indonesia disibukkan dengan adanya berita tentang tindakan persekusi oleh ormas tertentu, sehingga mengakibatkan adanya penetapan tersangka kepada AM (22 tahun) dan M (57 tahun).
AM dan M menjadi tersangka karena diduga telah melakukan tindakan persekusi terhadap seorang remaja berinisial PMA (15), yang dianggap telah mengolok-olok ulama dalam unggahan di akun media sosial miliknya.
Selain itu, berita yang viral juga adalah tentang seorang dokter bernama Fiera Lovita yang bekerja di RSUD Kota Solok, Sumatera Barat. Dia menjadi korban persekusi berupa teror dan intimidasi setelah menulis status di akun medsosnya yang bernada sindiran terhadap tokoh tertentu.
Penanganan kasus yang berlarut mengakibatkan dicopotnya Kapolres Solok, karena dianggap oleh Kapolri tidak tegas dalam menangani kasus tindakan persekusi oleh ormas.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) mencatat, sejak 27 Januari sampai akhir Mei 2017, terdapat 59 korban persekusi di seluruh Indonesia (Kompas, 4 Juni 2017).
Advertisement
Korban pada umumnya dinilai menghina tokoh dari ormas yang melakukan persekusi. Ada korban yang diintimidasi dan akhirnya dipaksa menandatangani permohonan maaf bermaterai. Adapula yang mengalami kekerasan baik fisik maupun psikis.
Istilah persekusi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai tindakan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sekelompok orang. Dalam ilmu hukum, istilah yang dapat disejajarkan dengan persekusi adalah eigenrichting (Belanda) atau main hakim sendiri.
Tindakan persekusi dilakukan terhadap pemilik akun yang dianggap menghina agama atau ulama di media sosial, kemudian diburu oleh beberapa pihak.
Pertanyaannya sekarang, mengapa ujaran kebencian marak terjadi di Indonesia? Apakah tindakan "persekusi" dibenarkan dalam sistem hukum Indonesia?
Apa yang seharusnya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu apabila ada orang yang dianggap melakukan penistaan terhadap agama atau ulama, yang sesuai koridor hukum di Indonesia?
Maraknya Ujaran Kebencian di Media Sosial
Sebagaimana yang terjadi di Jakarta Timur, persekusi diawali oleh ujaran kebencian yang dilakukan oleh remaja berinisial PMA (15) di media sosial, kemudian diprovokasi oleh anggota ormas atau masyarakat yang merasa tersinggung atas ujarannya tersebut.
Oleh karena situasi semakin memanas, akhirnya terjadilah persekusi.
Perbedaan pendapat yang tajam dan berakhir pada ujaran kebencian terhadap tokoh tertentu di media sosial, marak terjadi pasca pilkada DKI Jakarta, di mana perbedaan pendapat yang mengarah penyampaian ujaran kebencian menimbulkan benih perpecahan dan intoleransi. Dari intoleransi menjadi radikalisme hingga akhirnya muncul terorisme.
Seharusnya Indonesia sudah mengatur larangan ujaran kebencian (hate speech), mengingat Indonesia sudah meratifikasi Konvensi ICCPR. Pada Pasal 2 (2) disebutkan, segala advokasi yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, kekerasan, harus dilarang oleh hukum.
Maraknya persekusi tidak terlepas dari lambatnya pihak kepolisian dalam menindaklanjuti laporan penghinaan yang terjadi di media sosial. Sehingga melihat hal itu, ormas atau simpatisannya menggunakan kekuatan massa dalam menyelesaikan ujaran kebencian di media sosial tersebut.
Karena cepat proses penyelesaiannya, maka pola itu dijadikan sebagai "trend" untuk diterapkan terhadap orang-orang, yang dianggap menista agama atau ulama menurut versinya.
Persekusi adalah Tindakan Main Hakim SendiriÂ
Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 setelah diamandemen ketiga disahkan 10 November 2001.
Penegasan dalam konstitusi ini bermakna, bahwa segala aspek kehidupan dalam kemasyarakatan, kenegaraan, dan pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.
Untuk mewujudkan negara hukum salah satunya diperlukan perangkat hukum, yang digunakan untuk mengatur keseimbangan dan keadilan di segala bidang kehidupan dan penghidupan rakyat melalui peraturan perundang-undangan.
Menurut John Locke, negara terbentuk berdasarkan pactum unionis, yaitu perjanjian antar individu untuk membentuk negara. Dengan demikian, setiap individu telah menyerahkan hak-haknya secara sukarela kepada negara dalam suatu kontrak social (du Contrat Social).
Karena itu, negara diberikan kewenangan untuk menegakkan hukum terhadap siapapun sebagaimana telah digariskan dalam undang-undang (ius puniendi).
Tindakan persekusi terhadap remaja berusia 15 tahun di atas adalah tindakan main hakim sendiri.
Hal tersebut melanggar hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu pasal tentang larangan melakukan kekerasan baik fisik maupun psikis terhadap anak (Pasal 76C), dan melanggar pasal yang melarang tindakan penculikan (Pasal 76F) UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sedangkan tindakan persekusi seperti yang terjadi di Jakarta Timur, apabila dilakukan terhadap orang dewasa, penerapan pasalnya berbeda.
Pertama, dapat dikenakan Pasal 328 KUHP (penculikan). Kedua, Pasal 351 KUHP apabila penganiayaan yang dilakukan berakibat luka berat, dan mati atau Pasal 352 KUHP apabila penganiayaannya tidak menyebabkan sakit.
Ketiga, dapat dikenakan Pasal 335 (1) ke-1 KUHP (versi pasca putusan MK Nomor 1/PUU-XI/2013), karena secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan.
Tindakan yang Seharusnya DilakukanÂ
Sejatinya ormas atau simpatisan yang melakukan persekusi adalah korban kejahatan dan korban persekusi adalah pelaku kejahatan (pelaku penghinaan/pencemaran), namun karena ulah provokator yang menyebarkan ujaran kebencian maka situasi jadi terbalik.
Korban yang "main hakim sendiri" akhirnya menjadi "pelaku kejahatan persekusi", dan pelaku kejahatan (penghinaan) yang "dipersekusi malah jadi korban kejahatan".
Seharusnya dahulukan menggunakan pola somasi dan mediasi terlebih dahulu, hindari melakukan penculikan ke rumah/ke kantor orang yang dianggap menghina, lalu memaksa yang bersangkutan untuk meminta maaf.
Bila mediasi tidak mengalami titik temu, proses litigasi dilakukan yaitu dengan melapor ke polisi terhadap pelaku penghina atau pencemar nama baik ulama atau pimpinan ormas, dapat diterapkan Pasal 45 (3) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE, dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Contoh yang mengedepankan somasi dan mediasi terlebih dahulu baru kemudian litigasi, telah diperlihatkan oleh keluarga Ustad Arifin Ilham dan Majelis Azzikra dengan mengajukan ultimatum/somasi terlebih dahulu dan memberikan tenggat waktu untuk meminta maaf sebelum keluarga atau majelis Azzikra menempuh jalur hukum.
Namun memang dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, belum ada kontrol horizontal terhadap kinerja penyidik kepolisian, mengingat diproses atau tidaknya suatu pelaporan hanya tergantung pihak penyidik.
Akibatnya, terkadang masyarakat frustrasi atas situasi tersebut. Karena itu diharapkan revisi KUHAP pun segera dilakukan untuk dapat memberikan kontrol horizontal atas kinerja penyidik.
Tindakan persekusi wajib segera dihentikan, apabila tindakan persekusi ini dibiarkan terus-menerus terjadi, menjadi ancaman serius terhadap Indonesia sebagai negara hukum.
Dalam konsep negara modern, berlaku pameo bahwa penghormatan terhadap hukum adalah bentuk keberadaban suatu bangsa. Semakin menguatnya persekusi/eigenrichting adalah cermin kemunduran keadaban suatu bangsa dan menuju bangsa yang barbar tanpa hukum.
Semoga Bangsa Indonesia tetap menjadi bangsa yang beradab sebagaimana layaknya sebuah negara modern.
Â
** artikel opini ini pertama kali terbit di hukumonline.com.