Cerita Direktur Penyidikan Aris Budiman soal Friksi di KPK

Aris Budiman mengaku dirinya meminta penyidik berpangkat Kompol, tetapi nyatanya Polri mengirimkan polisi berpangkat AKP.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 30 Agu 2017, 09:12 WIB
Diterbitkan 30 Agu 2017, 09:12 WIB
Direktur Penyidik KPK Penuhi Panggilan Pansus Angket DPR
Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Brigjen Pol Aris Budiman saat memenuhi panggilan Rapat Dengar pendapat bersama Pansus Hak Angke KPK, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/8). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (Dirdik KPK) Brigjen Aris Budiman, mengakui adanya friksi--perpecahan akibat perbedaan pendapat--di tubuh penyidik lembaga antirasuah itu. Friksi tersebut, menurut Aris, dimulai ketika ia diangkat menjadi penyidik di KPK.

"Bagi saya seorang direktur, saya butuh penyidik dan sebagainya, beberapa kali saya mengusulkan untuk merekrut penyidik, sudah rapat di kedeputian," ujar Aris di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa malam, 29 Agustus 2017.

Akhirnya, kata Aris, dikabulkanlah perekrutan penyidik. Penyidik baru tersebut berasal dari Polri dan penyidik internal yang diangkat KPK sendiri. Meski terbagi dua kelompok, tidak terjadi gap.

"Sebenarnya bukan geng, kami semuanya penyidik KPK, walau berasal dari Polri dan diangkat KPK sendiri. Saya tidak ingin mengatakan itu geng, tapi ada kesulitan-kesulitan tertentu yang saya alami, terkait dengan pelaksanaan tugas saya dan kelihatannya ini akan menggangu," papar dia.

Aris mengaku dirinya meminta penyidik berpangkat komisaris polisi (Kompol), tetapi nyatanya Polri mengirimkan polisi berpangkat ajun komisaris polisi (AKP).

"Mabes Polri mengatakan kok yang dikirim AKP, saya padahal mintanya kompol. Banyak perwira di luar yang baik, terpelajar, yang tidak punya, yang ingin punya kesempatan berkarya di KPK, tetapi ini tidak disetujui dan diubah dalam rapat berkumpul penyidik," beber dia.

Lalu, Aris menyebutkan, ada penyidik yang keras dan menentang usulan tersebut. Menurut Aris, mereka menyatakan selama ini menerima penyidik berpangkat AKP.

"Ada penyidik yang keras menentang apa yang saya usulkan, mereka menyatakan itu selama ini kami menerima AKP. Alasan-alasan kepada saya sering kali kompol tidak efektif, di KPK semuanya bekerja, sehingga itu yang ditentang. Kalau kompol masuk akan menganggu stabilitas kerja KPK," kata dia.

Munculnya friksi tersebut, menurut Aris, selain demi kepentingan KPK, karena terkait kepentingan atau posisi. Ia pun menyebut ada satu penyidik KPK yang sangat berpengaruh, bahkan hingga menentang kebijakannya sebagai atasan.

"Di luar itu saya kira itu kepentingan personal. Setidaknya saya berupaya melaksanakan peran saya selaku direktur," Aris Budiman menandaskan.

Kesaksian Palsu Sidang E-KTP

Aris Budiman ramai diperbincangkan lantaran namanya muncul dalam sidang pemberian keterangan palsu, dengan terdakwa Miryam S Haryani, yang merupakan mantan anggota Komisi II DPR.

Dalam sebuah video pemeriksaan terhadap Miryam yang ditampilkan di Pengadilan Tipikor, Miryam sempat mengaku Aris menemui anggota Komisi III DPR dan diduga meminta uang Rp 2 miliar. Uang tersebut disebut-sebut untuk mengamankan kasus korupsi megaproyek e-KTP.

Penyidik senior KPK Novel Baswedan yang tengah memeriksa Miryam hanya mengatakan, 'oh Pak Direktur', saat politikus Partai Hanura tersebut memperlihatkan sebuah gambar kepadanya.

Kemunculan video tersebut pun membuat anggota Komisi III DPR geram. Mereka mengadukan hal tersebut ke Panitia Khusus Hak Angket KPK.

Pansus Hak Angket KPK akhirnya mengundang Aris untuk hadir di rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang digelar pada Selasa malam, 29 Agustus 2017.

Aris terlihat menghadiri undangan pansus tersebut, meski sudah dilarang Komisioner KPK.

"Pimpinan tidak sependapat untuk yang bersangkutan hadir," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat dikonfirmasi, Selasa, 29 Agustus 2017.

Di hadapan Pansus Hak Angket KPK, Aris membantah menemui sejumlah anggota DPR untuk meminta uang pengamanan kasus korupsi e-KTP sejumlah Rp 2 miliar. Aris mengaku tidak mengenal dengan anggota DPR kecuali Wenny Warouw.

"Berkaitan dengan tuduhan-tuduhan bertemu dengan anggota DPR, saya tidak pernah bertemu kecuali dalam forum resmi begini. Saya tidak bertemu karena saya tahu bagaimana posisi saya dalam menjalankan tugas," kata Aris dalam Rapat Dengan Pendapat dengan Pansus Angket KPK di Gedung DPR, Jakarta," Selasa, 29 Agustus 2017.

Aris mengatakan, tuduhan pemberian uang Rp 2 miliar, adalah bagian untuk menghancurkan karakter dan integritasnya.

"Tuduhan terima Rp 2 miliar, bagi saya luar biasa ini hancurkan karakter saya. Kalau saya mau terima (uang) bisa lebih. Saya bisa pastikan saya tidak terima," tegas Direktur Penyidikan KPK ini.

Saksikan video menarik berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya