Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan yang diajukan Sosiolog Imam Prasodjo, Andy F Noya, Sarwin, dan Rulany Sigar terkait Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Dalam permohonannya, Imam Prasodjo dan lainnya melihat Pasal 44 ayat (1) membuat kayu temuan dan sitaan, tidak bisa digunakan untuk keperluan pembangunan fasilitas sosial atau publik. Karena berdasarkan pasal tersebut haruslah dimusnahkan, kecuali untuk kepentingan perkara dan penelitian.
Baca Juga
"Permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat, dalam persidangan, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (20/9/2017).
Advertisement
Dalam pertimbangannya, hakim menilai dalam Pasal 44 ayat (1) juga menyatakan, adanya fungsi pengawasan negara yang tidak terlepas dari mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga tidak tepat jika dinilai sebagai perbuatan mubazir.
"Melainkan harus dilihat dari persepektif yang lebih luas, yaitu fungsi hutan konservasi itu sendiri," kata Hakim Aswanto.
Karenanya, MK tidak menemukan alasan untuk menyatakan bahwa Pasal 44 ayat (1) tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Meski begitu, niat pemohon mendapat pujian.
"Mahkamah sungguh menghargai dan memberi apresiasi terhadap niat mulia yang terkandung dalam permohonan a quo yang hendak memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar untuk kepentingan sosial, dalam hal ini khususnya untuk kepentingan pendidikan," kata Hakim Aswanto.
Namun, MK kembali menegaskan, keberadaan Pasal 44 ayat (1) UU 18 Tahun 2013, sebenarnya sangat dibutuhkan guna menjaga kelestarian hutan konservasi. Bahkan niat dari pemohon sudah diatur dalam ayat berikutnya.
"Niat mulia tersebut sesungguhnya dalam diwujudkan oleh ketentuan Pasal 44 ayat (2) UU 18/2013 yang secara tegas menyatakan; "Barang bukti kayu temuan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan konservasi dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial," pungkas Hakim Aswanto.
Â
Saksikan video di bawah ini:
Â
Gugatan ke MK
Tiga orang pegiat sosial kenamaan, yaitu Imam B Prasodjo, Andy F Noya, dan Ully Sigar Rusady menggugat ketentuan yang mengatur pemusnahan barang bukti kayu hasil pembalakan liar dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
Dilansir dari mahkamahkonstitusi.go.id, Sidang perdana perkara No. 69/PUU-XIV/2016 tersebut digelar Rabu 14 September 2016 di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Lewat kuasa hukumnya, para Pemohon menyatakan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 44 ayat (1) UU P3H tersebut bertentangan dengan prinsip penggunaan Sumber Daya Alam (SDA) untuk kemakmuran rakyat.
Munafrizal Manan selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan kedudukan hukum (legal standing) yang dipakai para Pemohon untuk menggugat ketentuan a quo. Ketiga Pemohon, menurut Manan, telah banyak dikenal oleh masyarakat sebagai pegiat sosial maupun pemberdaya masyarakat di bidangnya masing-masing. Kegiatan para Pemohon sebagai pegiat sosial tersebut dianggap telah terhalang oleh ketentuan Pasal 44 ayat (1) UU P3H.
Para Pemohon keberatan dengan ketentuan pemusnahan barang bukti kayu hasil pembalakan liar maupun hasil penggunaan kawasan hutan secara ilegal yang berasal dari hutan konservasi.
Para Pemohon menganggap pengecualian pemusnahan barang bukti kayu hanya untuk kepentingan pembuktian dan penelitian, tidak mencerminkan keberadaan negara dalam melindungi warga negaranya guna memenuhi hak konstitusional para Pemohon.
Selain itu, para Pemohon beranggapan ketentuan pemusnahan tersebut juga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa SDA harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagai sumber kekayaan negara, barang bukti kayu hasil pembalakan seharusnya dapat digunakan untuk penyediaan fasilitas sosial dan pendidikan.
Advertisement