Bayi yang Sempat Dijual di Kampung Beting Kembali ke Keluarga

Kasus penjualan bayi di Kampung Beting Remaja tersebut pernah menjadi buah bibir di masyarakat.

oleh Delvira HutabaratIka Defianti diperbarui 30 Sep 2017, 19:13 WIB
Diterbitkan 30 Sep 2017, 19:13 WIB
Bayi (1)
Ilustrasi bayi. (Sumber Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Bayi itu sudah kembali ke pelukan keluarganya. Demikian kata Ketua RW 19, Kampung Beting Remaja, Kelurahan Tugu Utara, Jakarta Utara, Ricardo Hutahaean.

Ricardo mengakui, salah satu warganya memang pernah melakukan transaksi penjualan bayi sebulan yang lalu.

Pasangan suami istri P (39) dan A (38) bersama empat anaknya merupakan salah satu warganya yang hidup digaris kemiskinan. Kedua anaknya yang paling besar sempat berhenti sekolah karena tak terdapat biaya.

Sehingga hal itu mendorong terjadinya tindakan jual beli anak. Bayinya, MF, yang kala itu berusia tujuh bulan sempat diserahkan kepada ketiga calo yang ditemuinya di sebuah rumah sakit di Jakarta Utara, yaitu M, R, dan S.

Menurut Ricardo, peristiwa tersebut berawal dari A dan P yang sempat bertengkar karena masalah ekonomi untuk memenuhi kebutuhan si bayi seperti halnya susu. Kekhawatiran A pada anak bungsunya tersebut membuatnya terus berpikir, bagaimana anaknya dapat hidup lebih baik lagi.

"Tanpa bilang sama suaminya, dia pulang bawa uang Rp 2 juta dari transaksi itu," kata dia.

Bayi Berada di Tangan Calo

Saat ditanyakan oleh suaminya pun, A berdalih MF dititipkan kepada keluarganya yang tinggal di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara. Namun, saat didatangi oleh P, putranya tersebut tidak bersama dengan neneknya.

Dari situlah, A mengaku telah menitipkan anaknya tersebut kepada calo beberapa hari yang lalu.

Saat mencoba menghubungi ketiga calo tersebut, mereka meminta pasangan tersebut dapat memberikan uang tunai sebesar Rp 4 juta dengan alasan anaknya sudah diasuh oleh salah satu keluarga yang tinggal di Kalimantan.

Pasangan suami istri tersebut memiliki penghasilan yang minim dari pekerjaan P sebagai jasa perbaikan barang-barang elektronik keliling. Bersama A dan P, Ricardo menemani untuk mendatangi langsung tempat tinggal salah satu calo di Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Ricardo menceritakan, penyerahan kembali MF kepada orangtuanya juga sedikit alot dengan sedikit percekcokan. Dia mengingatkan kepada para calo dan ibu MF bahwa tindakan mereka dapat termasuk dalam transaksi penjualan anak.

Akhirnya, salah satu calo tersebut meminta pengasuh MF untuk memberikannya kepada ibu kandungnya.

"Saya bilang kalau enggak mau balikin MF, bisa masuk ke ranah hukum, A, M, R dan S bisa masuk penjara," ujar Ricardo.

Dia mengatakan, terungkapnya transaksi tersebut berawal dari pihaknya yang ingin membantu untuk mencairkan dana bantuan dalam program keluarga harapan (PKH) yang dimiliki oleh Kementerian Sosial (Kemensos) yang dimiliki keluarga itu.

Pendampingan tersebut, kata dia, sekaligus untuk mengontrol penerimaan PKH yang tepat sasaran.

"Takut disalahgunakan, jadi saat pencairan didampingi dan saat transaksi juga langsung diawasi oleh salah satu petugas dari Kemensos. Seperti beli susu, atau perlengkapan untuk bayi," paparnya.

Sementara itu, Dinsos DKI Jakarta enggan banyak berkomentar mengenai kasus penjualan bayi tersebut. 

"Sikap Dinas Sosial terhadap bayi terlantar yang dapat dilindungi sesuai amanahnya UU No 35 Tentang Perlindungan Anak. Sedangkan jika ada orangtuanya dan pemberiannya dari pihak keluarganya tidak termasuk anak bayi terlantar hal ini ranah KPAI," kata Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinsos DKI Jakarta Khaidir, Sabtu (30/9/2017).

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 

Tinggal dalam Kemiskinan

Ketua RW 19, Kelurahan Tugu Utara, Jakarta Utara, Ricardo Hutahaean menyatakan, dari 12 RT dengan 845 kepala, keluarga itu 72 persen tinggal dalam garis kemiskinan. Sebab rata-rata mereka bekerja sebagai buruh serabutan.

"Penghasilan berapa kalau buruh serabutan, enggak seberapa," kata dia.

Akibatnya, dalam garis kemiskinan seperti itu, dengan mudah adanya persoalan kekerasan hingga kriminalitas terjadi.

Ricardo menyebut, kasus penjualan bayi di Kampung Beting Remaja tersebut pernah menjadi buah bibir di masyarakat. Peristiwa tersebut terjadi sebelum 2010.

Ricardo menjelaskan, terdapat salah warganya bernama Aminah yang pernah menyerahkan kedua anaknya kepada pihak lain. Namun, hingga saat ini telah putus komunikasi sehingga Aminah tidak pernah mendapatkan informasi akan keberadaan putrinya.

Saat itu, kata Ricardo, Aminah mendapatkan pembayaran persalinan rumah sakit dari pihak yang membawa anaknya. Kedua anak Aminah seharusnya saat ini berumur 17 tahun dan 14 tahun.

"Itu alasannya sama ingin anaknya dapat penghidupan yang layak. Apalagi dulu sebelum 2013, keberadaan warga di RW 09 belum diakui oleh pemerintah," papar dia.

Ricardo juga menyebutkan, beberapa tindakan menyimpang masyarakat di sekitarnya dampak dari ditutupnya Kramat Tunggak. Saat pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, Kramat Tunggak merupakan lokalisasi terbesar di Ibu Kota, bahkan di Asia Tenggara, kala itu.

Lahan sebesar 12 hektare tersebut sekarang dibangun oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebagai Jakarta Islamic Center.

"Jadi masih berdampak sampai sekarang, apalagi masyarakat sini sudah mulai tinggal di sini dari tahun 1976," kata dia.

Menurut Ricardo, kemiskinan yang berada di Kampung Beting Remaja tersebut dapat terurai, jika terdapat pendampingan oleh pemerintah untuk memberikan edukasi dan pelatihan. Seperti halnya, penjelasan akan proses pengangkatan anak secara legal.

"Soalnya selama ini masyarakat tidak tahu juga, jadi cuma kasih aja dengan pemberian imbalan yang cuma-cuma," Ricardo menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya