Kaleidoskop Politik 2017: Pilkada yang Mengantar Ahok ke Penjara

Karena Pilkada DKI 2017, DKI Jakarta menjadi kota yang paling tidak toleran. Juga dimulainya tren banjir kiriman karangan bunga.

oleh SunariyahHanz Jimenez SalimNanda Perdana PutraDelvira HutabaratMuhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 11 Des 2017, 18:03 WIB
Diterbitkan 11 Des 2017, 18:03 WIB
Pendukung Ahok
Sejumlah warga menunjukan KTP saat pengumpulan KTP di depan Balai Kota, Jakarta, Kamis (5/11). Pendataan dan pengumpulan KTP tersebut sebagai petisi penangguhan penahanan Ahok sebagai Tahanan Kota. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Awal 2017 menjadi masa paling menegangkan, khususnya di Ibu Kota. Puncaknya pada April, ketika pasangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Saiful Hidayat bertarung melawan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, dalam memperebutkan kursi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Ketegangan politik di Ibu Kota yang merembet ke daerah-daerah lainnya, tidak hanya ditandai dengan demo berjilid-jilid yang digelar sekelompok warga yang menolak pencalonan Ahok, tapi juga terjadi serangan bersifat SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).

Akibat pilkada ini, masyarakat DKI disebutkan terbelah menjadi dua kelompok yakni kelompok pendukung Ahok dan kelompok pendukung Anies.

Bahkan gara-gara pilkada ini disebutkan juga, DKI Jakarta dapat predikat sebagai kota intoleransi.

Setara Institute menyebutkan, Pilkada DKI 2017 telah menyebabkan terjadinya penguatan intoleransi dan politisasi identitas keagamaan di Ibu Kota. Kondisi ini membuat DKI Jakarta menjadi kota dengan toleransi paling rendah di Indonesia.

Padahal dalam penelitian 2015, Jakarta menduduki peringkat 65 dari 94 kota toleran.

Peneliti Setara Institute, Halili, pada Kamis 16 November 2017 mengatakan, saat Pilkada DKI terjadi 24 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun, pada situasi itu, tidak ada terobosan dan tindakan nyata untuk merespons pelanggaran yang ada.

Berikut peristiwa-peristiwa yang memicu ketegangan politik selama 2017 yang dipicu oleh Pilkada DKI:

Masjid Tolak Salatkan Jenazah Pendukung Ahok

Nenek Hindun
Nenek Hindun. (Liputan6.com)

Saat Pilkada DKI berlangsung, terjadi berbagai macam aksi SARA. Salah satu yang sempat membuat heboh adalah penolakan masjid untuk mensalatkan jasad pendukung Ahok.

Kasus ini mengemuka setelah jenazah nenek 78 tahun bernama Hindun, ditelantarkan oleh masyarakat sekitar. Pasalnya, sang nenek saat masih hidup memilih Ahok dan Djarot pada Pilkada DKI putaran pertama.

Menurut anak Nenek Hindun, Neneng, setelah ibunya mencoblos Ahok-Djarot, keluarganya menjadi pergunjingan.

"Kami ini semua janda, empat bersaudara perempuan semua, masing-masing suami kami meninggal dunia, kini ditambah omongan orang yang kayak gitu, kami bener-bener dizalimi, apalagi ngurus pemakaman orang tua kami aja susah," ujar Neneng, pada Liputan6.com di kediamannya, Jalan Karet Raya II, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat 10 Maret 2017.

Selain jenazah Nenek Hindun, di Jalan Petojo Sabangan 8 RT 008 RW 04, Jakarta Pusat, Masjid Asy-Syarif dikabarkan juga menolak mensalatkan jenazah Nenek Ufie Supiati binti Muhammad Undu.

Berdasarkan kabar yang beredar, nenek 73 tahun itu merupakan pendukung Ahok dan Djarot dalam Pilkada DKI 2017.

Anggapan itu muncul, berdasarkan penelusuran Liputan6.com, karena salah satu kerabat Nenek Ufie, yaitu Atun, menjadi pendukung Ahok-Djarot.

Penolakan ini sampai membuat seorang keluarga Nenek Ufie bernama Atun pingsan. Seorang warga menyebut, keluarga Nenek Ufie shock karena mendengar informasi pengurus Masjid Asy-Syarif menolak menyalatkan jenazah Nenek Ufie.

"Dia (Atun) pingsan karena masalah tak bisa disalatkan," ujar seorang pria yang tak mau menyebutkan namanya di lokasi Minggu, 26 Maret 2017.

Pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Sumarsono menyebut, selama bulan Maret terdapat 147 spanduk provokatif yang sudah ditertibkan Pemprov DKI.

Spanduk itu di antaranya penolakan mensalatkan jenazah pendukung penista agama.

"Sekarang sudah 147 spanduk provokatif dicopot oleh Satpol PP, dicopot bukan hanya oleh Satpol PP saja, tapi juga oleh kesadaran warga," ujar pria yang karib disapa Soni ini di Balai Kota Jakarta, Senin 13 Maret 2017.

Menurut Soni, banyak spanduk provokatif yang dipasang bukan oleh warga sekitar masjid. Dia menduga spanduk-spanduk itu berasal dari satu sumber.

"Kalau hurufnya sama, cetakannya sama kan berarti ada yang menggerakkan," tambah Soni.

 

Aksi 313 dan Penangkapan Terduga Makar

Aksi 313
Ribuan massa memenuhi patung kuda saat aksi bela islam 313 di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (31/3). Mereka menuntut kepada Presiden Jokowi agar melaksanakan undang-undang dengan mencopot gubernur terdakwa, Ahok. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Selama Pilkada DKI, berlangsung demo berjilid-jilid yang menolak pencalonan Ahok. Demo ini dimulai sejak 12 Desember 2016 dan semakin gencar dilakukan menjelang dan saat pencoblosan.

Demo ini dimotori oleh kelompok yang menamakan diri mereka Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI).

Pada 31 Maret 2017, GNPF-MUI kembali menggelar demo besar-besaran di depan Istana Merdeka, Jakarta. Demo kali ini dimotori oleh Forum Umat Islam (FUI) yang merupakan bagian dari GNPF-MUI.

Menurut Sekjen FUI, Al Khaththath, peserta aksi 313 tidak hanya warga Jakarta. Bahkan masyarakat dari luar Pulau Jawa diklaim ikut turun ke jalan menyuarakan pencopotan Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Aksi ini diramaikan dengan beredarnya kabar soal makar. Informasi ini bergulir setelah Polda Metro Jaya menangkap inisiator aksi 313, Muhammad Al Khaththath. Dia ditangkap pada Jumat 31 Maret 2017 dinihari bersama empat rekannya. Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono, kelimanya ditangkap atas dugaan pemufakatan makar.

Argo mengatakan, Al Khaththath Cs diduga kuat berencana menggulingkan pemerintahan yang sah secara inkonstitusional, dengan berencana menduduki DPR secara paksa.

"Ada pertemuan-pertemuan, dalam suatu ruangan tertentu, kemudian lebih dari satu orang. Kemudian dia akan menggulingkan pemerintah yang sah, melengserkan pemerintah," ujar Argo mengungkapkan bukti-bukti dugaan makar itu, Jumat 31 Maret 2017.

 

Chat Seks dan Buronnya Rizieq Shihab

Rizieq Shihab dan Firza Husein
Rizieq Shihab dan Firza Husein

Pilkada DKI juga berimbas pada ditangkapnya Firza Husein, salah satu tersangka dugaan makar.

Firza merupakan Ketua Yayasan Solidaritas Sahabat Cendana. Dia pernah ditangkap setelah penyidik memiliki bukti keterlibatannya dalam rencana makar pada 2 Desember 2016.

Pada Selasa 31 Januari, Firza kembali dijemput polisi dari kediamannya dan ditahan di Mako Brimob. Kemudian pada 20 Februari 2017, Polda memperpanjang masa penahanannya.

Selain kasus makar, Firza juga dikaitkan dengan kasus pornografi berupa chat seks dan gambar tak senonoh yang diduga melibatkan dirinya dengan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.

Kasus chat seks ini sempat viral di sejumlah media sosial pada akhir Januari 2017. Selain Firza Husein, dalam kasus ini Polda Metro Jaya juga menetapkan Pemimpin FPI Rizieq Shihab sebagai tersangka. Rizieq merupakan salah satu tokoh GNPF-MUI yang getol mendemo Ahok.

"Pasal Pornografi. Pasal 4, 6, dan 8," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono soal pasal yang digunakan untuk menjerat Rizieq, Senin 29 April 2017.

Gara-gara kasus ini, Rizieq kabur Arab Saudi hingga sekarang. Untuk menangkap Rizieq, Polda Metro menyiapkan sejumlah strategi untuk memulangkan pemimpin FPI itu. Salah satunya menerbitkan red notice kepada National Central Bureau (NCB) Interpol.

Beberapa kali Rizieq disebutkan akan pulang ke Indonesia, namun nyatanya tidak pernah terjadi. Hingga pada 22 Agustus 2017, tim pengacara Rizieq Shihab resmi melayangkan surat permohonan penghentian kasus pornografi ke Polda Metro Jaya.

"Sudah saya ajukan di Polda Metro. Terkait kasus pornografi," ujar Ketua Bantuan Hukum FPI sekaligus Pengacara Rizieq, Sugito Atmo Pawiro saat dikonfirmasi, Jakarta, Selasa 22 Agustus 2017. Namun permohonan itu belum mendapat tanggapan hingga saat ini.

 

Ahok Dipenjara dan Banjir Karangan Bunga di Balai Kota

Vonis Ahok
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyapa awak media saat tiba di Rutan Cipinang, Jakarta Timur, Selasa (9/5). Ahok divonis dua tahun penjara oleh Majelis Hakim dan langsung digelandang ke Rutan Cipinang, Jakarta Timur. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Klimaks drama Pilkada DKI terjadi saat Basuki Tjahaja purnama atau Ahok divonis bersalah dalam kasus penodaan agama dan dihukum penjara selama 2 tahun.

"Menyatakan Ir Basuki Tjahaja Purnama terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan agama dan menjatuhkan pidana penjara 2 tahun dan memerintahkan terdakwa ditahan," ujar Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto dalam persidangan di Gedung Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa 9 Mei 2017.

Vonis ini lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya menuntut hukuman 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun.

Sidang vonis Ahok ini sendiri diwarnai oleh aksi unjuk rasa yang dilakukan kelompok pendukung Ahok dan kelompok penentang Ahok. Kelompok pendukung Ahok bertahan berunjuk rasa sampai akhirnya Ahok dipindahkan ke tahanan Mako Brimob, Kelapa Dua. Aksi dukung Ahok ternyata tidak hanya berlangsung di Ibu Kota, tapi juga di sejumlah daerah dan negara lain.

Puncak aksi dukungan Ahok berlangsung pada Rabu, 10 Mei 2017, saat ribuan pendukung Ahok memadati Balai Kota. Mereka berkumpul sambil menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa yang dipandu oleh komposer ternama, Addie MS, dan dipimpin oleh Pelaksana Tugas Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat.

"Saya terharu bahwa bayangan saya hanya 500 orang, tapi ini mungkin lebih dari seribu orang," kata Djarot dengan berlinang air mata di Balai Kota Jakarta.

Pada kesempatan itu, Djarot menceritakan pesan gubernur nonaktif DKI Jakarta Ahok untuk para pendukungnya.

"Tadi malam saya bertemu dengan Pak Ahok. Beliau berpesan kepada saya yang harus saya sampaikan kepada kalian semua bahwa kita menghormati, kita menghargai, apa pun yang jadi keputusan majelis hakim," ujar Djarot.

Vonis dua tahun ini juga membuat Balai Kota dibanjiri ribuan karangan bunga sebagai bentuk dukungan untuk Ahok-Djarot. Momen ini juga membuat dimulainya tren banjir kiriman karangan bunga untuk mendukung atau menolak satu kasus tertentu.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya