Liputan6.com, Jakarta - Pemprov DKI Jakarta menutup jalan sepanjang 400 meter di kawasan Tanah Abang, Jakarta Barat. Jalan ini diperuntukkan bagi pedagang kaki lima.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ingin mengakomodasi keinginan PKL Tanah Abang.
Pantauan Liputan6.com, pukul 07.30 WIB Sabtu (23/12/2017), penjual kembali memadati trotoar. Hal ini dilakukan karena petugas dari Pemprov DKI yang bertugas memasang tenda belum juga muncul.
Advertisement
"Nunggu tenda, mbak," ujar salah seorang pedagang perempuan sambil lalu.
Ketika ditanya pukul berapa tenda dipasang, pedagang tersebut menjawab petugas baru hadir di Tanah Abang sekitar pukul 08.00 WIB. Benar saja, petugas berseragam mulai bersiap pukul 08.00 WIB. Tenda pun baru terpasang rapi pukul 08.20 WIB.
Petugas Transjakarta mengaku melihat para pedagang sudah memadati trotoar sejak pukul 06.00 WIB karena tak mau menunda rezeki.
Sayangnya, penataan baru kawasan Tanah Abang ini tidak menjamin trotoar steril. Beberapa pedagang tetap bertahan di trotoar lantaran tidak mendapatkan tenda berwarna merah dari Anies Baswedan.
Kekhawatiran
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga menyarankan agar Anies meninjau ulang strateginya dalam menata ulang PKL Tanah Abang. Cara Anies, lanjut dia, justru mengorbankan keadilan untuk sebagian besar warga Jakarta lainnya.
"Ada solusi lain tanpa harus mengorbankan keadilan untuk warga yang lain. Jangan hanya memfasilitasi keadilan untuk PKL. Tapi ada warga lain yang terganggu haknya, pedagang Tanah Abang lain, penumpang kereta api, pengguna jalan, dan warga sekitar sendiri. Jangan ambil kebijakan sepihak yang malah nantinya mempersulit penataan," tutur Nirwono kepada Liputan6.com.
Selain itu, dia menyebut, jurus penataan Anies ini melanggar setidaknya tiga aturan. Pertama Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan kedua PP Nomor 34 Tahun 2006 soal Jalan.
"Jalan tidak boleh ditutup-tutup setiap hari. Penutupan jalan diperbolehkan untuk kasus insidental seperti keagamaan atau kawinan. Bukan setiap hari," kata Nirwono.
Ketiga, Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum di DKI Jakarta. Ruang publik, lanjut dia, tidak boleh untuk kegiatan komersil.
Dia juga mengatakan cara melegalkan PKL di Tanah Abang, masih memiliki banyak kelemahan. Salah satunya, tentang jam buka dan tutup.
Pemprov DKI harus jelas dalam mengatur jam ini. "Apakah jam 08.00 itu sudah mulai berdagang atau jam 08.00 baru mendirikan tenda? Kalau mulai berdagang, artinya dia harus mulai mendirikan tenda jam 7. Itu akan memangkas hak pengguna jalan. Begitupula terkait jam tutup."
Advertisement
Beri Kesempatan
Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala menilai 'pelegalan' PKL berjualan di jalanan di Tanah Abang, sah-sah saja. Asal dengan catatan, dasar hukumnya jelas.
"Berdasarkan langkah berbeda yang diambil Anies ini biarlah. Sepanjang regulasinya disesuaikan, dengan kata lain perdanya disesuaikan, maka kebijakan tersebut menjadi sah, akhirnya menjadi legal," kata Adrianus kepada Liputan6.com saat ditemui di Hotel Aryaduta Jakarta, Jumat.
Namun, Anies tetap harus mengevaluasi kebijakannya ini dalam waktu tertentu. Jika ada indikasi 'jurus' ini gagal, maka harus ditinjau ulang.
"Oke lah sebagai transisi silakan dicoba, tapi jika ada indikasi-indikasi di mana gagal atau DPRD-nya tidak setuju, maka harus di-review," Adrianus menjelaskan.
Oleh karena itu, dia berharap, DPRD juga aktif mengawasi. Jika sampai tahun depan persoalan dasar hukum ini belum terselesaikan, lanjut dia, Ombudsman akan turun tangan.Â
"Mungkin pada tahun depan, jika sampai saat itu belum ada dasar hukumnya lagi yang memadai, kami akan masuk kembali (mengurusi persoalan ini)," ujar Adrianus.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini: