Kebijakan Parlemen Uni Eropa Terkait Sawit Rugikan Indonesia

Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen Nurhayati Ali Assegaf mengomentari Parlemen Uni Eropa mengenai minyak kelapa sawit yang akan menyebabkan kerugian besar bagi Indonesia.

oleh Gilar Ramdhani diperbarui 25 Apr 2018, 16:11 WIB
Diterbitkan 25 Apr 2018, 16:11 WIB
Kebijakan Parlemen Uni Eropa Terkait Sawit Rugikan Indonesia
Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen Nurhayati Ali Assegaf mengomentari Parlemen Uni Eropa mengenai minyak kelapa sawit yang akan menyebabkan kerugian besar bagi Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen Nurhayati Ali Assegaf mengatakan resolusi Parlemen Uni Eropa mengenai minyak kelapa sawit akan mengakibatkan kerugian yang besar. Tidak hanya bagi pelaku industri kelapa sawit, tetapi juga para petani dan juga 50 juta masyarakat Indonesia yang menggantungkan kehidupannya pada kelapa sawit.

Hal itu diungkapkan Nurhayati saat melaporkan hasil kunjungan kerja Grup Kerja Sama Bilateral (GKSB) DPR RI dengan Uni Eropa di Brussels, Belgia, di Media Center DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (23/4/2018). Dalam kunjungan itu, Delegasi DPR membawa misi memperjuangkan minyak kelapa sawit Indonesia.

Nurhayati menambahkan, saat ini Parlemen Uni Eropa sedang dalam proses pembahasan lebih lanjut mengenai resolusi yang menganjurkan bahwa kelapa sawit akan dikesampingkan dari daftar komoditas pertanian yang dimanfaatkan menjadi sumber energi terbarukan.

“Alasan utama dari resolusi tersebut adalah berkembangnya opini di Eropa bahwa kelapa sawit merupakan salah satu penyebab utama terjadinya deforestasi di negara-negara yang memiliki hutan tropis seperti Indonesia,” jelas Nurhayati.

Untuk itu, tambah Anggota Dewan dari Fraksi Partai Demokrat itu, resolusi Uni Eropa mengenai kelapa sawit dapat dipandang sebagai sebuah tindakan diskriminatif terhadap Indonesia akibat adanya kampanye negatif terhadap minyak kelapa sawit Indonesia.

“Tidak seharusnya Parlemen Uni Eropa menyusun resolusi yang justru dapat membuat kerugian yang besar bagi Indonesia. Sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dan kontributor terbesar bagi perekonomian ASEAN, seharusnya Uni Eropa mengedepankan kerja sama dengan Indonesia, ketimbang negara-negara lain yang tidak demokratis,” kata Nurhayati.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota BKSAP DPR RI Fadel Muhammad berpendapat, pemerintah harus meninjau kembali perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa, jika sikap Parlemen Uni Eropa tidak berdampak baik bagi Indonesia.

“Kalau perlu, hentikan aja pembelian barang dari Uni Eropa. Indonesia bisa membeli barang-barang di tempat lain jika sikap Parlemen Uni Eropa seperti itu. Kalau mereka keras, Parlemen Indonesia juga bisa keras demi kepentingan rakyat Indonesia,” papar politisi Partai Golkar tersebut.

Ia menyampaikan, ada banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia yang mendapat dana dari Uni Eropa untuk mengkhianati bangsa sendiri. Untuk itu, pihaknya akan membicarakan ini dengan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melakukan verifikasi dan keterbukaan.

“Kita menginginkan agar resolusi yang dibuat oleh Parlemen Uni Eropa tentang sawit agar dihentikan dan agar membicarakan dengan baik mengapa Uni Eropa mengesampingkan Indonesia lain pihak dengan negara lain. Hal- hal ini akan kita bicarakan dengan pemerintah dan kita mengharapakan agar pemerintah juga bisa bersikap lebih baik untuk menghadapi hal ini,” tutupnya.

 

(*) 

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya