BNPB Sarankan Pemerintah Daerah Petakan Risiko Likuefaksi

Pada 2012, Badan Geologi telah melakukan penelitian tentang likuefaksi di Kota Palu.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Okt 2018, 07:43 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2018, 07:43 WIB
Potret Udara Ribuan Perumnas Balaroa yang Hilang Akibat Gempa
Pandangan udara Perumnas Balaroa yang rusak dan ambles akibat gempa bumi Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (5/10). Berdasarkan data Lapan, dari 5.146 bangunan rusak sebanyak 1.045 di antaranya Perumnas Balaroa yang ambles. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, pemerintah daerah perlu membuat peta mikrozonasi terkait risiko gempa dan likuefaksi (tanah bergerak). Ini berguna untuk keperluan penataan ruang guna meminimalkan dampak bencana.

"Perlu dilakukan pemetaan mikrozonasi gempa dan likuefaksi, sehingga sebaran daerah gempa dan likuefaksi dapat dipetakan secara detail," kata Sutopo dalam konferensi pers di Kantor BNPB, Jakarta, Minggu, 7 Oktober 2018.

Pada 2012, Badan Geologi telah melakukan penelitian tentang likuefaksi di Kota Palu. Hasilnya menunjukkan, Palu tergolong wilayah yang berpotensi sangat tinggi mengalami likuefaksi. Namun, permukiman tetap dibangun di area yang berisiko mengalami likuefaksi itu.

"Adanya likuifaksi saat gempa menyebabkan kerusakan bangunan dan korban jiwa di kota Palu lebih besar dibandingkan dengan daerah lain," ujar Sutopo seperti dilansir Antara.

Dia berharap, peta mikrozonasi terkait risiko gempa dan likuefaksi akan menjadi pertimbangan dalam penataan ulang ruang Kota Palu serta daerah-daerah rawan bencana lain.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Tentang Likuefaksi

Ratusan Rumah di Petobo Terendam Lumpur
Pantauan udara ratusan rumah terendam lumpur dan tanah di Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (3/10). Fenomena likuifaksi merupakan hilangnya kekuatan tanah akibat besarnya massa dan volume lumpur yang keluar pasca gempa. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Sutopo menjelaskan, saat likuefaksi terjadi, tanah kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat tekanan, tanah yang tersusun atas lapisan kerikil, batu apung, dan air ketika diguncang gempa rongga-rongganya menjadi lebih longgar, sehingga akhirnya menjadi lumpur.

"Otomatis beban di atasnya menjadi amblas. Rumah-rumah mengalir seolah-olah hanyut, yang akhirnya tenggelam. Pasalnya, di sana kedalaman air tanah di bawah 10 meter. Saat gempa di Palu pertama 7,4 skala Richter, lalu disusul 6 skala Richter, otomatis tanah menjadi lembek dan menjadi lumpur," tutur Sutopo.

 

* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya