Jokowi Tegaskan Pilkada Tetap Dilaksanakan Secara Langsung

Pernyataan Jokowi ini disampaikan melalui Juru Bicara Kepresidenan, Fadjroel Rachman.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Nov 2019, 15:39 WIB
Diterbitkan 12 Nov 2019, 15:39 WIB
Jokowi - Ma'ruf Amin Hadiri HUT ke-55 Partai Golkar
Presiden Joko Widodo memberi sambutan dalam peringatan HUT ke-55 Partai Golkar di Jakarta, Rabu (6/11/2019). HUT ke-55 Partai Golkar mengangkat tema '55 Tahun Partai Golkar Bersatu untuk Negeri Berkarya untuk Bangsa'. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menegaskan pemilihan kepala daerah (Pilkada) tetap melalui mekanisme langsung yakni dipilih oleh rakyat. Jokowi menolak pilkada dikembalikan ke DPRD seperti era orde baru.

Pernyataan Jokowi ini disampaikan melalui Juru Bicara Kepresidenan, Fadjroel Rachman. Pernyataan ini sekaligus mengklarifikasi wacana evaluasi pilkada langsung yang digaungkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.

"Presiden Jokowi mengatakan pilkada provinsi/kabupaten/kota tetap melalui mekanisme pemilihan langsung yang merupakan cermin kedaulatan rakyat/demokrasi dan sejalan dengan cita-cita Reformasi 1998," kata Fadjroel melalui pesan singkat, Selasa (12/11/2019).

Menurut Fadjroel, rencana evaluasi pilkada langsung hanya masuk wilayah teknis penyelenggaraan. Bukan pada sistem pemilihan langsung atau tak langsung.

"Yang akan dievaluasi hanya teknis penyelenggaraan," ucapnya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Permintaan Mendagri

Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian meminta sistem pilkada secara langsung dikaji ulang. Dia mempertanyakan, apakah sistem pemilihan langsung tersebut masih relevan hingga sekarang.

"Kalau saya sendiri justru pertanyaan saya adalah, apakah sistem politik pemilu pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," ujar Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2019).

Tito menilai, sistem pemilihan secara langsung banyak mudaratnya. Dia mengakui ada manfaatnya terkait partisipasi politik, tetapi biaya politiknya terlalu tinggi hingga memicu kepala daerah terpilih melakukan tindak pidana korupsi.

"Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar, mau jadi bupati mana berani dia. Udah mahar politik," ucapnya.

Reporter: Titin Supriatin

Sumber: Merdeka

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya