Liputan6.com, Jakarta - Hukuman mati bagi para koruptor sempat dibahas oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu tak menutup kemungkinan soal hukuman mati, asalkan keinginan tersebut datang dari rakyat.
Pernyataan itu diucapkan Jokowi saat menghadiri pentas Prestasi Tanpa Korupsi di SMKN 57 Jakarta ketika mendapat pertanyaan seputar hukuman mati bagi koruptor.
Baca Juga
Namun rupanya, wacana hukuman mati bagi koruptor itu menuai pro dan kontra. Mereka yang menolak wacana itu menilai, hukuman mati bukanlah hukuman yang sesuai untuk para koruptor.
Advertisement
Misalnya saja adalah Ketua DPR Puan Maharani. Menurut putri Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri itu, hukuman mati bisa melanggar hak asasi manusia atau HAM.
"Itu kan pertama melanggar HAM. Kedua kita juga harus telaah apakah itu perlu dilakukan atau tidak, itu kan sudah ada undang-undangnya," ucap Puan.
Berikut orang-orang yang menolak wacana hukuman mati bagi para koruptor dihimpun Liputan6.com:
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pakar Hukum Pidana
Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar merespons rencana Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang akan menghukum mati para koruptor. Menutnya, hukuman mati tak akan membuat jera para koruptor.
"Hukuman mati tidak akan efektif untuk penjeraan. Buktinya hukuman mati (untuk pengedar) narkoba tidak menyurutkan pelakunya," ujar Abdul Fickar saat dikonfirmasi, Selasa, 10 Desember 2019.
Menurut Abdul Fickar, hal yang membuat koruptor jera bukanlah kematian, melainkan kehilangan banyak harta.
"Bagi tindak pidana korupsi itu bagaiman mengambil harta koruptor sebanyak-banyaknya atau memiskinkan koruptor. Dengan pendekatan aset recovery, semua akses napi koruptor harus ditutup agar jera," katanya.
"Tidak boleh punya perusahaan, tidak boleh punya kartu kredit, tidak bokeh jadi pimpinan perusahaan, dicabut hak politiknya. Ini akan lebih menjerakan ketimbang hukuman mati," ucap Abdul Fickar menambahkan.
Menurut Abdul Fickar, rencana Jokowi untuk menghukum mati para koruptor tak sejalan dengan tindakan mantan Gubernur DKI Jakarta itu selama ini.
"Ya ini sikap yang ambivalen dan ambigu, tidak jelas arahnya. Jangan-jangan komitmen terhadap pemberantasan korupsi pun begitu, buktinya Pak Jokowi setuju UU KPK direvisi dan KPK dilemahkan," ucapnya.
Advertisement
Ketua DPR
Ketua DPR Puan Maharani menilai wacana penerapan hukuman mati terhadap narapidana kasus korupsi melanggar hak asasi manusia. Dia menanggapi wacana yang dilemparkan Presiden Jokowi saat Hari Anti Korupsi Sedunia.
"Itu kan pertama melanggar HAM," ujar Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 12 Desember 2019.
Puan meminta, wacana penerapan hukuman mati bagi koruptor dikaji terlebih dahulu. Menurut dia, sudah ada undang-undang yang mengatur tentang hukuman mati bagi koruptor.
"Kedua kita juga harus telaah apakah itu perlu dilakukan atau tidak, itu kan sudah ada undang-undangnya," ucap dia.
Dia pun menyarankan kepada pemerintah untuk mengikuti undang-undang yang sudah ada, daripada menerapkan hukuman mati bagi koruptor.
"Ya kita ikuti sajalah undang-undang tersebut, jangan sampai kita kemudian bergerak terlalu cepat, tapi kemudian melanggar undang-undang," kata politikus PDIP itu.
Amnesty Internasional
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan, pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait hukuman mati hanyalah retorika ketegasan. Sebab, hukuman mati hanya seolah terlihat tegas padahal dalam praktiknya lembek.
"Studi hukuman mati seperti di Kanada tidak menimbulkan efek jera karena lebih mencerminkan kegagalan sistem pemerintahan, seperti kalau ada gratifikasi, berarti sistem pencegahan yang tidak beres. 143 negara mengakhiri eksekusi hukuman mati dan itu adalah negara penandatangan konvensi antikorupsi," kata Usman dalam diskusi Cross Check by Medcom di Upnormal Coffee, Jakarta, Minggu, 15 Desember 2019.
Dia juga mengutip studi di California, Amerika Serikat yang mengatakan bahwa pelaksanaan hukuman mati lebih mahal dari hukuman seumur hidup. Sebab, saat praktiknya banyak tenaga sumber daya disiapkan seperti pengamanannya, proses dan sebagainya.
Selain itu, Usman memandang, soal metode eksekusi hukuman mati, seperti dipenggal atau suntik mati adalah hukuman kejam dan tak manusiawi.
"Saya tak melihat argumen atau bukti yang memadai untuk mendukung hukuman mati, jadi apa pun kejahatannya harus menghindari praktik hukuman mati ini," Usman menandasi.
Advertisement
Gerindra
Wacana hukuman mati yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuai pro kontra. Politikus Partai Gerindra Supratman Andi Agtas menyambut baik hal tersebut. Tetapi jika ini diterapkan tidak akan membuat efek jera para koruptor.
"Tidak ada efek jera, kita lihatlah contohnya di KPK untuk hukuman maksimal enggak usah hukuman mati, KPK indeks persepsi kita turun," kata Andi saat diskusi 'korupsi dihukum mati, retorika Jokowi?" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu, 15 Desember 2019.
Walaupun tidak anti dengan hukuman mati, dia meminta jika hal itu dilakukan dan diterapkan secara selektif. Termasuk jika hukuman itu sudah masuk dalam revisi KUHP.
"Tapi saya mau menyatakan bahwa hukuman mati itu betul-betul bisa dilakukan secara selektif," kata Andi.
"Artinya bahwa hukuman mati itu adalah sebuah realitas politik. Kita tidak boleh menafikan bahwa katakanlah pengambil kebijakan, pembuat UU bersama DPR masih menganggap hukuman mati ini tidak jadi salah satu untuk menekan tindak pidana korupsi. Termasuk perubahan fundamental, teori hukuman mati," kata Supratman.
Komisioner KPK
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menyatakan, hukuman mati untuk koruptor hanyalah retorika dan tidak sesuai dengan norma-norma di Indonesia.
"Katakanlah semua kriteria sudah tercukupi, dia memang dalam negara sulit, melakukan pengulangan, dan menyesali perbuatannya, kamu mau lakukan juga? Sementara kamu punya Pancasila? Kamu manusia macam apa ?" kata Saut di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu, 15 Desember 2019.
Dia menjelaskan walaupun hukuman mati sudah ada dalam Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Tetapi kata dia faktor kemanusian harus ada.
"Kalau sudah maaf kamu mau hukum dia juga?" tanya Saut.
Sebab itu, dia mengatakan hukuman pemberantasan korupsi lebih baik terfokus pada perbaikan ahlak. Sebab pendidikan antikorupsi sejak dini lebih menjamin dibanding hukuman mati.
"Kita mending bahas yang substantif yaitu bagaimana perilaku masyarakat Indonesia ini berubah secara total, itu harus diperbaiki dengan lingkungannya," jelas Saut.
Advertisement