Liputan6.com, Jakarta - Divisi Hukum (Divkum) Mabes Polri menjadi pengacara dua terdakwa kasus penyerangan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. Dua oknum polisi aktif tersebut mendapatkan pendampingan hukum Polri selama persidangan.
Kadiv Humas Polri Brigjen Raden Prabowo Argo Yuwono menyampaikan, hal tersebut sudah sesuai dengan aturan.
"Tugas Divkum mendampingi anggotanya," tutur Argo saat dikonfirmasi, Kamis (14/5/2020).
Advertisement
Menurut Argo, persidangan yang telah berlangsung memberikan mekanisme hukum bagi pihak-pihak yang keberatan dengan hal tersebut.
"Silakan saja keberatan penasehat hukum diajukan ke pimpinan sidang," kata Argo.
Tim Advokasi Novel Baswedan menyatakan ada sembilan kejanggalan dalam proses persidangan kasus penyerangan air keras terhadap penyidik Novel Baswedan. Menurut mereka, proses persidangan belum bisa mencari fakta real dalam kasus yang terjadi tahun 2017 ini.
Dijelaskan oleh Kurnia Ramadhana, perwakilan Tim Advokasi, kejanggalan pertama bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menunjukkan kasus ini hanya dinilai sebagai tindak pidana penganiayaan biasa, dan bukan berkait kerja pemberantasan korupsi yang diindkasi dengan teror sistematis juga pelemahan KPK melalui para penyidiknya.
"Dakwaan Jaksa sangat bertentangan dengan temuan Tim Pencari Fakta bentukan Polri dan Komnas HAM untuk kasus Novel Baswedan yang menemukan motif penyiraman air keras terhadap Novel yang berkaitan dengan kasus-kasus korupsi besar yang ditanganinya juga aktor intelektual," tulis Kurnia lewat siaran pers diterima, Senin (11/5/2020).
Kedua, lanjut Kurnia, JPU diduga tidak merepresentasi negara yang mewakili korban. Malahan, JPU dirasa membela kepentingan terdakwa dengan isi surat dakwaan yang berisi pasal penganiayaan biasa dan bukan perbuatan mengancam nyawa. Lebih dari itu, air keras yang diketahui sebagai alat serang terdakwa dinyatakan berasal air accu. Padahal diketahui cairan keduanya memiliki zat reaktif yang
"Tentu ini pernyataan sesat, sebab sudah terang benderang bahwa cairan tersebut adalah air keras yang telah menyebabkan Novel kehilangan penglihatan," tegas Kurnia.
Hakim Pasif dan Tidak Objektif?
Ketiga, Kurnia merasa, majelis hakim cenderung pasif dan tidak objektif dalam mencari kebenaran materiil. Sebab, selama jalannya persidangan hakim tidak menggali rangkaian peristiwa secara utuh, Hakim cenderung sebatas menggali fakta dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kejadian oleh pelaku penyerangan dan dampak penyerangan.
"Hakim tidak menggali informasi lebih jauh terkait informasi saksi yang telah disebutkan terkait nama dan peristiwa yang berkaitan dengan penyerangan," tutur Kurnia.
Keempat, Kurnia juga mengkritisi, terdakwa penyerangan Novel Baswedan yang mendapat pendampingan hukum dari institusi Polri. Sebab, keduanya, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, diketahui sebagai oknum polisi aktif.
"Para terdakwa justru dibela oleh institusi Polri, proses pendampingan itu pun harus dipertanyakan. Atas dasar apa insitusi Polri mendampingi mereka? Pembelaan oleh Institusi Kepolisian tentu akan mengambat proses hukum untuk membongkar kasus ini yang diketahui diduga melibatkan anggotanya dan juga petinggi kepolisian," pandang Kurnia.
Kelima, bahwa Tim Advokasi Novel Baswedan menilai adanya manipulasi barang bukti di persidangan. Seperti dari CCTV yang dihiraukan oleh penyidik sampai pada dugaan intimidasi terhadap saksi-saksi penting.
"Ada juga sidik jari yang tidak mampu diindentifikasi kepolisian pada gelas dan botol yang dijadikan alat untuk melakukan penyiraman terhadap Novel. Selain itu, dalam persidangan Kamis, 30 April 2020 yang lalu ditemukan keanehan dalam barang bukti baju yang dikenakan Novel pada saat kejadian terpotong bagian depannya diduga menghilangkan bekas siraman air keras di titik itu," beber Kurnia.
Keenam JPU dinilai mengaburkan fakta air keras yang digunakan untuk penyiraman. Ketujuh, kasus kriminalisasi Novel kembali diangkat diduga untuk mengaburkan fokus pengungkapan kasus penyerangan Novel Baswedan dan KPK. Kedelapan, adanya alat bukti saksi dalam berkas persidangan yang dihilangkan. Kendati baru diketahui dari JPU bahwa terdapat saksi kunci penyerangan Novel Baswedan yang telah memberikan keterangan kepada Kepolisian, Komnas HAM, TGPF bentukan Polri.
"Berkas BAP diduga dihilangkan dan tidak diikutkan dalam berkas pemeriksaan persidangan oleh Jaksa. Ini merupakan temuan dugaan pelanggaran serius, bentuk upaya sistematis untuk menghentikan upaya membongkar kasus penyerangan novel baswedan secara terang," tegas Kurnia.
Kesembilan, saat pemeriksaan saksi korban di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 30 April 2020, ruang pengadilan penuhi dengan aparat kepolisian dan orang-orang yang diduga dikoordinasikan untuk menguasai ruang persidangan. Hal ini menjadi kejanggalan Tim Advokasi Novel Baswedan yang mengindikasikan apakah publik dan tim kuasa hukum tak diberi ruang untuk memantau jalannya persidangan.
Advertisement