Kekecewaan Novel Baswedan pada Peradilan Kasus Penyiraman Air Keras

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan geram saat mendengar terdakwa perkara penyerangan air keras terhadap dirinya dituntut 1 tahun penjara.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 12 Jun 2020, 08:28 WIB
Diterbitkan 12 Jun 2020, 08:22 WIB
Setahun Peristawa Penyiraman, Novel Baswedan Datangi KPK
Penyidik KPK Novel Baswedan usai menggunjungi gedung KPK, Jakarta, Rabu (11/4). Novel Baswedan selesai menjalani perawatan di rumah sakit Singapura yang kedua hingga kini kasus penyiraman air keras genap satu tahun. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan geram saat mendengar terdakwa perkara penyerangan air keras terhadap dirinya dituntut 1 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Novel lagi-lagi menyebut peradilan kasus yang menyebabkan kedua matanya tak berfungsi secara baik ini hanya formalitas dan rekayasa. Bahkan sejak awal Polri mengaku telah menangkap dua terduga pelaku penyerangan air keras, Novel tak merasa senang.

Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis yang ditangkap Polri pada Desember 2019, menurut Novel bukanlah pelaku yang menyiramkan air keras ke wajahnya.

Motif kedua pelaku yang mengaku dendam kepada Novel yang membuat Novel tak percaya keduanya adalah pelaku. Sebab, Novel sempat menyatakan tak mengenal kedua terduga pelaku.

Saat kasus ini naik ke meja hijau, Novel dan tim kuasa hukum makin yakin kalau pengungkapan kasus ini oleh Polri hanya formalitas. Apalagi, Rahmat dan Ronny didakwa oleh jaksa dengan Pasal 353 KUHP.

Hasilnya, Kamis 11 Juni 2020 kemarin, tim jaksa penuntut umum meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk menjatuhkn hukuman satu tahun penjara terhadap kedua terdakwa penyerangan air keras terhadap Novel Baswedan.

Mendengar tuntutan jaksa terhadap penyerangnya, Novel geram. Bahkan, sangking geramnya, Novel Baswedan merasa malu untuk terus menerus mengomentari peradilan terhadap dirinya.

"Dalam sidang ini begitu nekat, permasalahan di semua sisi terjadi dengan terang. Saya sudah tanggapi dengan tidak percaya sejak awal, hingga malu sebenarnya terus mengkritisi kebobrokan ini," ujar Novel kepada Liputan6.com.

Novel sempat menyindir Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Sebab, permintaan Novel dan tim kuasa hukum agar Jokowi membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) tak kunjung diindahkan. Jokowi tetap memercayakan kasus ini kepada Polri.

"Saya malah melihat bahwa ini fakta hasil kerja Presiden Jokowi dalam membangun hukum selama ini," kata Novel.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Pesimis Sejak Awal

WP KPK Silaturahmi Idul Fitri ke Rumah Novel Baswedan
Penyidik KPK Novel Baswedan saat memberi keterangan pers di sela silaturahmi dengan WP KPK di kediamannya di Kelapa Gading, Jakarta, Minggu (17/6). Silaturahmi digelar dalam rangka Idul Fitri. (Liputan6.com/JohanTallo)

Novel mengaku sejak awal memang sudah pesimis kasus yang membuat kedua matanya tak bisa melihat dengan normal ini akan diungkap dengan gamblang. Banyak kejanggalan yang ditemukan Novel dan tim kuasa hukum saat penyidikan dan persidangan berjalan.

"Persekongkolan, kerusakan dan kebobrokan yang dipertontonkan dengan vulgar, menggambarkan bahwa memang sedemikian rusaknya hukum di Indonesia. Hal lain yang perlu kita lihat adalah bagaimana masyarakat bisa berharap mendapatkan keadilan dengan keadaan demikian," kata Novel.

Kejanggalan-kejanggalan dalam persidangan yang sempat diungkap Novel salah satunya terkait dengan dakwaan yang menyebut dirinya disiram air aki. Novel sempat menyatakan keberatan disebut disiram dengan air aki di hadapan majelis hakim PN Jakarta Utara.

"Maaf yang mulia, saya keberatan kalau disebut disiram dengan air aki. Saya punya bukti kalau itu bukan air aki," ujar Novel di PN Jakarta Utara, Kamis 30 April 2020. Saat itu Novel dihadirkan sebagai saksi.

Keberatan Novel ini tak diterima langsung oleh hakim. Saat itu, menurut hakim, ada waktunya untuk proses pembuktian apakah cairan yang membuat mata Novel rusak itu adalah air aki atau air keras.

Hakim meminta untuk saat ini Novel cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sesuai dengan berita acara pemeriksaan (BAP) yang ditandatangani Novel.

Meski sempat diminta untuk tidak memberikan pembuktian, Novel kemudian kembali menjelaskan bahwa dirinya bukan disiram dengan air aki, melainkan air keras.

"Saat tersiram cairan tersebut (air keras) mata saya putih semua, hitamnya hilang. Ini berdasarkan cerita dari mereka yang membantu saya, termasuk saat saya dilarikan ke RS Mitra Keluarga (Kelapa Gading)," kata Novel.

Novel menyebut, mata sebelah kirinya kini sama sekali tak berfungsi. Sementara mata kanannya masih melihat namun samar. "Mata kiri saya buta. Permanen. Mohon maaf saya tidak melihat majelis hakim," kata Novel.

Usai menjadi saksi, kecurigaan Novel bahwa peradilan ini hanya rekayasa kian dirasakannya. Novel curiga bahwa kedua terdakwa itu merupakan orang suruhan yang sengaja dibayar untuk mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan.

"Nampak bahwa para terdakwa ini merasa tidak bersalah, biasa saja. Tapi ada peluang kedua, ada kemungkinan orang yang mengaku tersebut, justru orang yang disuruh, orang yang dibayar untuk mengaku. Kan kemungkinan itu ada," kata Novel.


Alasan Jaksa

Sidang Perdana Kasus Penyerangan Novel Baswedan
Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaan pada sidang perdana kasus penyiraman Novel Baswedan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (19/3/2020). Dua terdakwa, yakni Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulete menjalani sidang dengan agenda pembacaan dakwaan oleh JPU. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Jaksa penuntut umum sendiri memiliki alasan menjerat kedua Rahmat dan Ronny dengan Pasal 353 KUHP. Menurut Jaksa Ahmad Patoni, tuntutan satu tahun penjara terhadap kedua anggota Polri aktif ini sudah tepat. Menurutnya, Rahmat dan Ronny mengakui perbuatannya dalam persidangan.

"Yang bersangkutan juga meminta maaf dan menyesali perbuatannya, dan dia secara dipersidangan menyampaikan memohon maaf kepada keluarga Novel Baswedan, dan meminta maaf institusi polisi, institusi Polri itu tercoreng," ujar Ahmad usai persidangan di PN Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020).

Selain itu, menurut Ahmad, kedua terdakwa tak berniat melukai dan menyebabkan kedua mata Novel tak berfungsi dengan baik. Ahmad mengatakan, kedua terdakwa hanya ingin memberi pelajaran kepada Novel.

"Di fakta persidangan dia tidak ada niat untuk melukai. Dalam fakta persidangan yang bersangkutan hanya ingin memberikan pelajaran kepada seseorang, yaitu NB, dikarenakan alasannya dia lupa dengan institusi," kata Ahmad.

Maka dari itu, menurut Ahmad, penuntut umum mendakwa keduanya dengan Pasal 353 tentang perencanaan, penganiyaan yang mengakibatkan luka berat.

"Kemudian ketika dia ingin melakukan pembelajaran penyiraman ke badannya, ternyata mengenai mata, maka kemudian Pasal yang tepat adalah di Pasal 353. Berbeda dengan 355, kalau 355 dari awal sudah menarget dan dia lukai tuh sasarannya. Sedangkan ini dia tidak ada untuk melukai," kata Ahmad.

Pernyataan jaksa penuntut umum berbanding terbalik dengan pernyataan tim advokasi Novel Baswedan. Tim advokasi menyatakan persidangan kasus teror terhadap Novel merupakan sandiwara yang malah memperolok dunia peradilan.

Menurut salah satu tim advokasi Novel, Kurnia Ramadhan, tuntutan terhadap Novel tidak hanya sangat rendah, akan tetapi memalukan serta tidak berpihak pada korban kejahatan. Terlebih diketahui kasus ini adalah serangan brutal kepada penyidik KPK yang telah terlibat banyak dalam upaya pemberantasan korupsi.

"Alih-alih dapat mengungkapkan fakta sebenarnya, justru penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elit mafia korupsi dan kekerasan," kata Kurnia kepada Liputan6.com.

Kurnia menjelaskan, sejak awal tim advokasi Novel Baswedan mengemukakan bahwa terdapat banyak kejanggalan dalam persidangan ini. Pertama, dakwaan jaksa seakan berupaya untuk menafikan fakta kejadian yang sebenarnya.

Sebab, jaksa hanya mendakwa terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP terkait dengan penganiayaan. Padahal kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia.

"Sehingga jaksa harus mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana," kata Kurnia.

Kedua, saksi-saksi yang dianggap penting tidak dihadirkan jaksa di persidangan. Dalam pantauan tim advokasi Novel Baswedan, setidaknya terdapat tiga orang saksi yang semestinya dapat dihadirkan di persidangan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.

Tiga saksi itu, menurut Kurnia sudah pernah diperiksa oleh penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian.

"Namun, Jaksa seakan hanya menganggap kesaksian mereka tidak memiliki nilai penting dalam perkara ini. Padahal esensi persidangan pidana itu adalah untuk menggali kebenaran materiil, sehingga langkah jaksa justru terlihat ingin menutupi fakta kejadian sebenarnya," kata dia.

Ketiga, menurut pandangan Kurnia, peran penuntut umum seperti pembela para terdakwa. Hal ini terlihat dari tuntutan yang hanya 1 tahun. Kemudian saat Novel dihadirkan sebagai saksi, penuntut umum seakan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan Novel.

"Semestinya jaksa sebagai representasi negara dan juga korban dapat melihat kejadian ini lebih utuh, bukan justru mebuat perkara ini semakin keruh dan bisa berdampak sangat bahaya bagi petugas-petugas yang berupaya mengungkap korupsi ke depan," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya