Pandemi Jadi Alasan Polri Tak Bakal Izinkan Unjuk Rasa UU Cipta Kerja, tapi Pilkada Jalan Terus

Salah satu bunyi telegram Kapolri yaitu melakukan pencegahan adanya aksi unjuk rasa yang menyasar penutupan jalan tol.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 08 Okt 2020, 11:05 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2020, 09:56 WIB
Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono
Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono (tengah). (foto: dokumentasi Humas Polri)

Liputan6.com, Jakarta - Kapolri Jenderal Idham Azis menerbitkan surat Telegram Rahasia (TR) STR/645/X/PAM.3.2./2020 per tanggal 2 Oktober 2020 tentang antisipasi unjuk rasa dan mogok kerja kelompok buruh pada 6 Oktober sampai dengan 8 Oktober 2020, terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law atau Cipta Lapangan Kerja.

Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, telegram itu keluar demi menjaga keselamatan rakyat di tengah pandemi virus Corona atau Covid-19. Unjuk rasa tersebut akan berdampak pada faktor kesehatan, perekonomian, moral, dan hukum di tatanan masyarakat.

"Sebagaimana pernah disampaikan Pak Kapolri Jenderal Idham Azis, di tengah Pandemi Covid-19 ini keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi atau Salus Populi Suprema Lex Esto," tutur Argo dalam keterangannya, Selasa 6 Oktober 2020.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui sosial media. Dalam poin kelima, petugas diminta melakukan patroli siber di medsos dan perusahaan media untuk membangun opini publik yang tidak setuju dengan unjuk rasa di tengah pandemi. Poin keenam, petugas diminta melakukan kontra narasi isu yang mendiskreditkan pemerintah.

"Soal melakukan cyber patroli ini pada medsos dan manajemen media bertujuan untuk mencegah berita-berita hoaks," jelas Argo.

Adapun isi telegram adalah sebagai berikut.

1. Kapolri meminta agar jajarannya melaksanakan kegiatan fungsi intelijen dan pendeteksian dini guna mencegah terjadinya aksi unjuk rasa dan mogok kerja yang berpotensi terjadinya konflik sosial serta aksi anarkis di wilayah masing-masing.

2. Melakukan pemetaan di perusahaan atau sentra produksi strategis dan memberikan jaminan keamanan dari adanya pihak-pihak yang mencoba melakukan provokasi atau mencoba memaksa buruh ikut mogok kerja serta unjuk rasa.

3. Mencegah, meredam, dan mengalihkan aksi unjuk rasa kelompok buruh demi kepentingan pencegahan penyebaran virus Corona. Melakukan kordinasi dengan seluruh elemen masyarakat terkait dengan hal ini.

4. Melakukan koordinasi dan bangun komunikasi efektif dengan Apindo, Disnaker, tokoh buruh, mahasiswa, elemen masyarakat lainnya dalam rangka memelihara situasi Kamtibmas kondusif di tengah pandemi Covid-19.

5. Melakukan patroli cyber pada media sosial dan manejemen media terkait dengan pembangunan opini publik.

6. Lakukan kontra narasi isu-isu yang mendeskreditkan pemerintah.

7. Seluruh jajaran di wilayah tidak memberikan izin unjuk rasa dan kegiatan yang menimbulkan keramaian massa.

8. Antisipasi harus dilakukan di hulu dan lakukan pengamanan terbuka serta tertutup.

9. Melakukan pencegahan adanya aksi unjuk rasa yang menyasar penutupan jalan tol. Menerapkan penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal KUHP dan kekarantinaan kesehatan.

10. Menyiapkan rencana pengamanan dengan tetap mempedomani Perkap Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Pengendalian Massa, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dan Protap Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis.

11. Seluruh jajaran Polri di wilayah masing-masing diminta untuk terus melaporkan kesiapan dan setiap kegiatan yang dilakukan kepada Kapolri dan Asops.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Telegram Polri Disorot

Buruh demo tolak pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja
Ribuan buruh yang tergabung dalam Forum Komunikasi Serikat Pekerja dan Serikat Buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota Bandung menolak disahkannya Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR RI. (Liputan6.com/Arie Nugraha)

Penerbitan surat telegram tersebut jadi sorotan sejumlah pihak, salah satunya Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras).

Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti mengatakan, pandemi Covid-19 yang dijadikan sebagai alasan menentang unjuk rasa Omnibus Law RUU Cipta Kerja para buruh malah bertentangan dengan sejumlah kebijakan pemerintah lainnya.

"Tidak setara dengan bagaimana pemerintah memperbolehkan atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan lainnya yang juga bertentangan dengan penanganan Covid-19 itu sendiri. Seperti mengadakan konser pilkada ataupun tetap memutuskan untuk mengadakan pilkada pada tahun ini," tutur Fatia dalam konferensi pers virtual, Selasa 6 September 2020.

Fatia menyadari bahwa kerumunan demonstran sangat berpotensi menimbulkan klaster penyebaran Covid-19. Namun, terbitnya telegram Kapolri dinilai mencederai kebebasan berekspresi para buruh.

Pasalnya, masyarakat sendiri terpaksa turun ke jalan lantaran keputusan pemerintah yang tidak berdasarkan pada kepentingan rakyat.

"Di mana sebenarnya hal ini bisa diatasi dengan cara-cara tertentu dan tidak perlu melakukan atau meluncurkan tindakan-tindakan eksesif, seperti surat telegram atau pengawasan di beberapa kanal-kanal atau pusat-pusat industri seperti yang dilakukan aparat kepolisian dan TNI hari ini," kata Fatia.

 

Langkah Polri 2020 kawal pilkada

Penjagaan Keamanan Daerah
Ilustrasi polisi. (Liputan6.com)

Sementara itu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah mengatakan, pilkada harus tetap dilakukan meski di tengah pandemi Covid-19. Menurut dia, pelaksanaan Pilkada 2020 tidak bisa ditunda lagi sebab tak ada yang mengetahui kapan pandemi selesai.

"Situasi tidak bisa dibiarkan, penyelenggaraan pilkada harus tetap dilakukan. Tidak bisa menunggu sampai pandemi berakhir karena memang kita tidak tahu, negara mana pun tidak tahu kapan pandemi Covid-19 ini berakhir," jelas Jokowi saat memimpin rapat terbatas yang disiarkan di Youtube Sekretariat Presiden, Selasa 8 September 2020.

Kapolri Jendral Idham Azis pun telah mengambil langkah dengan mengeluarkan Surat Telegram Nomor: STR/387/VI/OPS.1.3./2020 tentang Rencana Dimulainya Operasi Mantap Praja 2020 secara serentak terhitung mulai 3 September 2020.

"Memasuki bulan September 2020 tahapan Pilkada Serentak mulai dilakukan. Sesuai dengan tahapan lanjutan tanggal 4 September 2020 merupakan tahap pendaftaran calon," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono saat dikonfirmasi, Rabu 2 September 2020.

Menurut Awi, Polri khususnya Polda dan Polres jajaran telah menyiapkan diri demi menyukseskan kelancaran pengamanan Pilkada Serentak 2020. Sejak 1 September 2020, petugas telah melaksanakan Latihan Pra Operasi Mantap Praja 2020.

"Namun sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 akan sedikit berbeda di tengah pandemi Covid-19. Bapak Kapolri telah memerintahkan seluruh jajaran Polri untuk selalu siap menghadapi situasi apapun," jelas dia.

Adapun standar pelibatan kekuatan pasukan pengamanan Pilkada Serentak 2020 di antaranya, tahap pendaftaran paslon minimal penugasan 1/3 kekuatan ops, tahap penetapan undian nomor urut dan deklarasi minimal penugasan 1/3 kekuatan ops, tahap kampanye minimal penugasan 1/2 kekuatan ops.

Kemudian tahap masa tenang minimal penugasan 1/5 kekuatan ops, tahap pemungutan suara minimal penugasan 2/3 kekuatan ops, tahap penghitungan suara minimal penugasan 1/6 kekuatan ops.

Selanjutnya, tahap penetapan calon terpilih minimal penugasan 1/3 kekuatan ops, tahap pengajuan PHPU minimal penugasan 1/6 kekuatan ops, dan tahap pelantikan minimal penugasan 1/3 kekuatan ops.

"Seluruh perkuatan yang dilibatkan dalam tiap tahapan disesuaikan dengan tingkat kerawanan dan kebutuhan dari masing-masing wilayah, serta menghindari sikap under estimate dalam menghadapi kerawanan," Awi menandaskan.

Permintaan pilkada ditunda

Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)
Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)

Pilkada 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Pemungutan suara mulanya akan digelar pada 23 September 2020. Namun, akibat pandemi Covid-19, pencoblosan diundur hingga 9 Desember 2020.

Gelaran pilkada 2020 yang telah diundur tersebut kembali menuai polemik. Sebagian masyarakat meminta pilkada kembali ditunda. Sebab, kasus Covid-19 di Tanah Air yang terus meningkat.

Permintaan salah satunya datang dari Ketua MPR Bambang Soesatyo. Dia meminta pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mempertimbangkan menunda pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak apabila pandemi Covid-19 terus meningkat.

"Langkah itu apabila situasi pandemi masih terus mengalami peningkatan, perlu dipertimbangkan secara matang mengenai pengunduran jadwal pelaksanaan Pilkada 2020," kata dia, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 11 September 2020 dilansir Antara.

Pria yang akrab disapa Bamsoet ini juga mengomentari terkait ada 45 kabupaten/kota yang akan melaksanakan Pilkada 2020 masuk dalam zona merah Covid-19.

Mengetahui hal ini kepada Pemda setempat, dia meminta pelaksanaan Pilkada dilakukan dengan protokol kesehatan Covid-19 yang ketat untuk mencegah penularan.

"Saya mendorong pihak penyelenggara pilkada dan Satgas Penanganan Covid-19 meminta pemda dari 45 daerah yang berzona merah itu memastikan seluruh pihak yang terlibat dalam Pilkada 2020 meningkatkan disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan, guna mencegah penularan Covid-19 dan menghindari terbentuknya kluster di dalam Pilkada," ujarnya.

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati juga sepakat dan mendukung agar Pilkada 2020 ditunda. Hal tersebut lantaran melihat pandemi Corona Covid-19 yang mengganas.

"Apalagi ada tanda bahaya bakal calon kepala daerah hingga penyelenggara Pemilu terjangkit Covid-19," ujar Khoirunnisa, Senin, 21 September 2020.

Dia menilai, jika ditunda akan menguntungkan bagi pemerintah, DPR, dan KPU. Sebab, mereka bisa mempersiapkan regulasi yang lebih adaptif. Di samping, pemerintah bisa menjalankan fokus utama mengatasi pandemi.

"Kalau ditunda untungnya adalah KPU, pemerintah, dan DPR punya waktu untuk mempersiapkan regulasinya agar lebih adaptif dengan situasi pandemi. Selain itu pemerintah bisa semakin fokus menangani masalah pandemi ini," papar Khoirunnisa.

Dia mengatakan, penundaan Pilkada bukan berarti hingga pandemi Covid-19 selesai. Idealnya, kata dia, penundaan hanya hingga pertengahan 2021.

"Menunda pilkada bukan artinya menunda sampai pandemi Covid ini selesai. Tapi setidaknya kita punya waktu yang lebih panjang untuk mempersiapkannya," terang Khoirunnisa.

Koordinator Nasional Sekretaris Nasional (Seknas) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby punya pendapat lain. Alwan lebih mendorong pemerintah, DPR dan penyelenggara Pemilu membuat aturan yang tegas agar tidak sampai menunda Pilkada 2020.

Dia menilai, penundaan Pilkada akan memberikan ketidakpastian hukum. Pada 2021 menurut Alwan tidak menjamin pandemi Covid-19 akan berakhir. Kursi pimpinan daerah juga akan kosong.

"Dalam lain hal kepastian kepemimpinan daerah juga tidak ada. 2021 tahapan pilkada yang 2017 harus sudah berjalan. Belum lagi UU pemilu harus direvisi, banyak agenda yang tertunda," ujar Alwan saat dihubungi.

Menurut dia, Pilkada di tengah pandemi ada sisi baiknya, salah satunya akan menggerakan perekonomian.

Alwan mendorong pemerintah dan DPR membentuk aturan dan sanksi tegas pada pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi Covid-19, yaitu dengan mengeluarkan Perppu dan merevisi PKPU.

Salah satu yang disoroti adalah sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan. Serta, menghapus kegiatan kampanye yang berpotensi terjadi penyebaran virus, seperti konser serta mendorong kampanye virtual.

"Perppu harus mengatur itu bagi pasangan calon atau tim kampanye atau pihak penyelenggara melanggar protokol kesehatan harus diberikan sanksi. Juga dalam aturan itu harus memperjelas otoritas lembaga mana yang berhak memberikan sanksi," jelas Alwan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya