HEADLINE: Penularan Covid-19 Masih Tinggi di Jakarta, Tarik Rem Darurat Jadi Solusi?

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai membuka wacana untuk menarik rem darurat lagi seiring naiknya kasus Covid-19 di wilayahnya.

oleh Delvira HutabaratMuhammad Radityo PriyasmoroYopi MakdoriAde Nasihudin Al Ansori diperbarui 29 Des 2020, 00:00 WIB
Diterbitkan 29 Des 2020, 00:00 WIB
Jakarta Bersiap Perketat PSBB
Warga menggunakan masker berjalan di JPO kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (10/9/2020). Setelah mempertimbangkan sejumlah faktor, di antaranya ketersediaan tempat tidur rumah sakit, PSBB DKI Jakarta kembali diperketat per Senin (14/9). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai membuka wacana untuk menarik rem darurat lagi. Hal ini seiring naiknya kasus Covid-19 di ibu kota. Sebagai gambaran, Sabtu 26 Desember 2020, terdapat 2 ribu kasus baru, dan Minggu 27 Desember 2020 sebanyak 1.997, bahkan pada Senin 28 Desember juga berada di angka 1.678.

Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria mengatakan, pihaknya masih terus menganalisa perkembangan penanganan Covid-19 di Jakarta sebelum mengetuk palu terkait langkah yang akan diputuskan Januari 2021. Sekaligus berakhirnya Instruksi Gubernur Nomor 64 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pengendali Kegiatan Masyarakat Dalam Pencegahan Covid-19 di masa Libur Natal 2020 dan Tahun Baru 2021.

"Kami akan terus mengambil berbagai kebijakan. Kita akan lihat nanti beberapa hari ke depan setelah tanggal 3 nanti, apakah dimungkinkan nanti Pak Gubernur nanti akan ada emergency brake. Nanti kita akan lihat sesuai dengan fakta dan data," kata Riza di Polda Metro Jaya, Minggu (27/12/2020).

Riza tak membantah kenaikan angka penduduk yang terpapar Covid-19. Namun, menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Misalnya, meningkatnya tes PCR. Kemudian adanya akumulasi data spesimen dari rumah sakit dan laboratorium swasta yang terlambat dilaporkan. Penyebab lainnya adalah faktor liburan dan munculnya klaster rumah tangga.

"Juga ada penambahan disebabkan oleh libur dan lain sebagainya," kata Riza.

Karena itu, dia berharap masyarakat, pelaku usaha, perkantoran untuk berupaya mencegah penyebaran Covid-19 yang salah satunya disiplin menerapkan protokol kesehatan. Menurutnya, jika itu berhasil dilakukan, maka opsi PSBB ketat tak akan diambil.

"Kami minta khusus pelaku usaha perkantoran dan lainnya untuk membantu kita semua agar jangan sampai nanti ada peningkatan luar biasa. Sehingga (jika meningkat terus kasus Covid-19) kami Pemprov dengan jajaran, Pak Gubernur, terpaksa mengambil kebijakan untuk memperketat PSBB," jelas Riza.

 

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Infografis Kasus Covid-19 di Jakarta Masih Tinggi, Perlu Rem Darurat? (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Kasus Covid-19 di Jakarta Masih Tinggi, Perlu Rem Darurat? (Liputan6.com/Abdillah)

Political Will Daerah Penyangga

Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah mengatakan, rem darurat kali ini akan sangat sulit dilakukan. Pasalnya, tak mudah mendapatkan dukungan mengingat masyarakat sudah mengalami banyak masalah.

"Situasi sekarang ini sudah dalam posisi masyarakat mengalami penurunan daya beli, kedua konsumsi rumah tangga sudah memprihatikan, ketiga saving atau tabungan masyarakat sudah habis. Kalau nanti direm, masyarakat di rumah, persoalannya apakah Pemprov DKI sanggup menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, siap tidak?," kata Trubus kepada Liputan6.com, Senin (28/12/2020).

Menurut dia, DKI harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat guna membuat political will, mengingat Jakarta dikelilingi daerah penyanggah.

Sehingga, perlu kerja sama dengan daerah lain. Jika diikuti semuanya, maka sangat efektif. "Kemarin diketatkan ternyata wilayah penyanggah tidak dukung, jadi tidak efektif," tutur Trubus.

Dia menegaskan, memang dalam mengeluarkan kebijakan mengendalikan Covid-19, harus melihat sisi keinginan publik sendiri. Harus ada jalan tengah antara kesehatan dan ekonomi, tanpa meningkatkan kasus tetapi roda perekonomian bergerak.

"Aktivitas masyarakat biar berjalan tanpa pembatasan, tanpa diperketat. Karena kalau sampai lockdown, akan ada resistensi," ungkap Trubus.

Dia memandang, pihak-pihak yang menerapkan lockdown banyak tak efektif. Membuat kasus melandai tapi tidak menghilangkan dan terjadi lagi kasus Covid-19 baru.

"Artinya pilihan menegakan protokol kesehatan seiring ekonomi berjalan saya nilai tepat, tidak terjadi benturan di masyarakat, jadi ini cara efektif. Jadi pendisiplinan protokol kesehatan itu yang penting sambil menungggu vaksin," jelas Trubus.

Dia menegaskan, disipilin dalam menerapkan protokol kesehatan menjadi kunci utama.

"Yang diperketat itu protokol kesehatannya bukan aktivitas warganya. Kalau aktivitas yang diperketat, Pemprov berani kasih kompensasi? Kalau tidak ada, akan tetap warga beraktivitas, apakah bansos mencukupi? Kalau tidak warga akan beraktivitas. Secara rasional kan gitu. Kebutuhan perut itu lebih mendesak." kata Trubus.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Keputusan Tergantung DKI

Pengetatan PSBB Jakarta Sepekan
Warga melintasi mural sosialisasi bahaya COVID-19 di Jalan Sultan Iskandar Muda, Jakarta, Rabu (23/9/2020). PSBB pengetatan sepekan terakhir ini belum efektif menurunkan angka jumlah harian Covid-19 di DKI yang tercatat bertambah 1.122 kasus di ibu kota pada Selasa (22/9). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyerahkan sepenuhnya kepada DKI apakah akan menarik rem darurat kembali atau tidak. Pasalnya, keputusan tersebut kewenangan pemerintah DKI Jakarta selaku pembuat kebijakan.

"Setiap Pemda/Satgas Daerah memiliki kewenangan untuk mengendalikan kasus dengan kebijakan di daerahnya," kata Wiku kepada Liputan6.com, Senin (28/12/2020).

Karena itu, menurut dia, jika itu dipandang baik oleh Pemprov DKI untuk mengendalikan Covid-19, maka bisa dilakukan.

"Jadi apa yang akan dilakukan DKI tentunya baik untuk mengendalikan kasus di DKI," jelas Wiku.

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Zita Anjani menolak rencana bila nanti pemerintah memberlakukan penarikan rem darurat. Menurutnya, semua orang sudah terbiasa dengan kehidupan normal.

"Saya pikir kita sudah terbiasa hidup normal kembali, jadi tidak perlu PSBB. Yang menjadi fokus Pemprov adalah meningkatkan imun warga, dan tegakkan protokol kesehatan kembali. Sudah ada Perdanya, tinggal eksekusinya," kata Zita kepada Liputan6.com, Senin (28/12/2020).

Dia berharap Pemprov bisa maksimalkan 3T (testing, tracking, dan treatment). "Ketiga-tiganya sama penting. Jadi jangan hanya testing yang ditonjolkan," jelas dia.

Senada, Ketua Fraksi NasDem DKI Wibi Andrino menyatakan rem darurat belum diperlukan, sebab DKI bisa memaksimalkan pencegahan dan penegakan.

"Optimalkan pencegahan dan penegakan. Sulit untuk Jakarta melaksanakan PSBB ketat bila daerah penyangga tidak melakukan hal yang sama," kata Wibi.

 

 

Pemprov Diminta Evaluasi Kebijakan

FOTO: Pelanggar PSBB Tangerang Selatan Dihukum Berlari 800 Meter
Warga pelanggar PSBB dihukum berlari saat terjaring Operasi Yustisi yang digelar petugas gabungan di BSD, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (16/9/2020). Tangerang Selatan sebagai kota penyangga Ibu Kota ikut melakukan pengetatan PSBB karena peningkatan kasus Covid-19. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane menuturkan, banyak yang harus diubah oleh DKI.

Pertama melakukan testing secara selektif jangan seluruh kontak eratnya. Kedua jika melakukan testing dan kontak erat semuanya harus dikarantina.

"Itu yang harus mereka lakukan terus menerus. Tarik rem gas lagi apa selesai, tidak kan," kata Pane kepada Liputan6.com, Senin (28/12/2020).

Menurut dia, banyak yang ditesting baik, tapi bagi yang mereka tanpa gejala lebih baik karantina di rumah saja agar tidak terjadi kelimpungan dalam menangani pasien.

"Padahal sebenarnya, kalau dia tanpa gejala ya cukup di rumah sajam tapi dengan seluruh kontak eratnya langsung dikurung dan tak boleh kemana-manam," kata Pane.

Karena itu, apa yang terjadi dengan DKI sekarang sangat tidak efektif. Sehingga jika menghabiskan dana dengan mengetes seluruh orang lebih baik diselesaikan dengan cara memberikan mereka yang sudah pasti akan dikarantina.

"Daripada bemiliar-miliar untuk testing mending uangnya itu diberikan kepada mereka yang dikarantina, kasih saja misalnya Rp 1,5 juta atu Rp 1 juta selama karantina, tapi dengan perjanjian mereka tidak boleh ke mana-mana." jelas Pane.

Sementara, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Prof dr Tjandra Yoga Aditama Sp P(K), MARS, DTM&H, DTCE berpendapat, DKI bisa juga melakukan untuk mengurangi kontak antara satu orang dengan orang lainnya. Penerapannya dapat dilakukan dengan cara menutup tempat-tempat wisata, mengurangi jumlah orang yang datang ke kantor, dan membatasi jam mal.

"Sampai ke kegiatan-kegiatan lain yang lebih kuat lagi, misalnya memberlakukan lagi PSBB, semuanya bermanfaat bukan masalah rem darurat atau tidak rem darurat. Saya tidak mengatakan rem darurat harus ditarik, segala sesuatu untuk mengurangi penularan itu baik walau bukan dengan rem darurat," kata dia.

Tjandra menambahkan, segala upaya yang baik untuk menekan penularan Covid-19 akan bermanfaat baik bukan hanya dilakukan oleh DKI saja, tapi daerah lainnya.

Dengan kata lain, secara umum kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi penularan adalah upaya yang bermanfaat. Baik dari tingkat pribadi, provinsi, maupun tingkat yang lebih luas lagi di luar Jakarta.

"Mau di Jakarta saja bagus, kalau bisa di daerah sekitarnya juga lebih bagus lagi. Pokoknya segala kegiatan untuk mengurangi kemungkinan kontak itu baik dari tingkat kebijakan maupun dari orang perorang," jelas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya