Liputan6.com, Jakarta - Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara yang memutuskan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebagai ketua umum mendapat tanggapan dari berbagai pihak.
Salah satunya dari Ketua Jokowi Mania (Joman) Immanuel Ebenezer. Dia menilai, KLB Demokrat berbahaya bagi Presiden Jokowi dan demokrasi. Sebab, secara tidak langsung, hal tersebut pasti mengganggu pikiran Jokowi.
"Dengan segala hormat, apa yang dilakukan Moeldoko tidak baik. Ini jelas pastinya bisa mengganggu pikiran Presiden Jokowi, " ujar pria yang karib disapa Noel ini melalui siaran pers diterima, Sabtu, 6 Maret 2021.
Advertisement
Selain itu, sejumlah pengamat juga turut bicara. Misalnya pengamat politik SMRC Saiful Mujani menyebut KLB Demokrat di Deli Serdang yang dilakukan oleh pejabat negara adalah sebuah kemerosotan besar dalam demokrasi Indonesia.
"Manuver KSP Moeldoko ini adalah membunuh PD. Demokrat mati di tangan seorang pejabat negara. Backsliding demokrasi Indonesia makin dalam, dan ini terjadi di bawah Jokowi yang ironisnya ia justru jadi presiden karena demokrasi," kata Mujani.
Kemudian, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga turut prihatin dengan kisruh internal Partai Demokrat. Ketua DPP PPP Achmad Baidowi menilai, dualisme dalam partai adalah hal yang menyakitkan.
Berikut berbagai tanggapan dari beragam pihak soal KLB Demokrat yang putuskan Moeldoko sebagai Ketua Umum dihimpun Liputan6.com:
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jokowi Mania
Ketua Jokowi Mania (Joman) Immanuel Ebenezer menilai, Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sumatra Utara berbahaya bagi Presiden Jokowi dan demokrasi. Sebab, secara tidak langsung, hal tersebut pasti mengganggu pikiran Jokowi.
"Dengan segala hormat, apa yang dilakukan Moeldoko tidak baik. Ini jelas pastinya bisa mengganggu pikiran Presiden Jokowi, " kata pria yang karib disapa Noel ini melalui siaran pers diterima, Sabtu, 6 Maret 2021.
Noel meyakini, apa yang dilakukan Moeldoko adalah kali pertama yang dilihatnya di era reformasi. Karena hal itu dilakukan oleh pejabat Istana. Namun Noel meyakini, Presiden Jokowi sama sekali tidak terlibat dalam giat tersebut apalagi melakukan intervensi.
"Jadi salah jika Istana dituduh mengintervensi konflik Demokrat," tegas dia.
Aktivis 98 ini menambahkan, perebutan Partai Demokrat adalah konflik internal lama dan syahwat keinginan menuju pasar bebas Pilpres 2024.
"Saat ini, banyak tokoh yang bersiap diri menuju 2024. Salah satunya, mungkin Moeldoko," jelas Noel.
Noel menduga, ada perangkap politik yang entah disadari atau tidak Moeldoko terjebak di dalamnya. Noel menduga bekas Panglima TNI itu terjebak dalam desain politik SBY.
"SBY ingin membesarkan anaknya. Desain kontruksi konflik seperti ini harusnya mudah terbaca oleh Moeldoko. Sayang beliau terjebak dalam syahwatnya," ungkap Noel.
Noel menjelaskan, konflik ini pastinya akan memunculkan persepsi publik SBY teraniaya oleh elit politik yang berkuasa. Kalau narasi teraniaya ini dimainkan secara piawai oleh kelompok SBY pastinya menguntungkan AHY untuk Pilpres 2024.
"Kita lihat saja siapa yang menang dalam pertarungan opini ini. Pastinya ini bakal panjang, menguras energi Moeldoko sendiri," dia menandasi.
Advertisement
Pengamat Politik dari Cyrus Network
Konflik Partai Demokrat kian memanas setelah kongres luar biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut) memutuskan Moeldoko sebagai ketua umum.
Sementara Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY menegaskan bahwa dirinya Ketum Partai Demokrat yang sah, dan KLB Sumut ilegal.
Pengamat politik dari Cyrus Network, Hasan Nasbi Batupahat menilai konflik yang dihadapi Partai Demokrat bisa diselesaikan dengan cara islah.
Dia menyarankan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY memanggil para tokoh senior seperti Marzuki Alie dan Jhoni Allen Marbun untuk melakukan islah.
"Kalau jalan keluar dari konflik ini menurut saya adalah Pak SBY panggil lagi tuh jagoan-jagoan lama yang pernah mengurus partai dengan sangat baik, semacam Jhoni Allen, Marzuki Alie lalu rumuskan islah bersama," kata Hasan kepada Merdeka.com, Sabtu, 6 Maret 2021.
Hal tersebut, kata Hasan, juga terjadi pada Partai Golkar yang menggunakan cara islah untuk menyelesaikan konflik internal. Sehingga bisa memperbaiki keadaan dan parpol akan semakin solid.
"Kalau sudah begitu saya rasa nanti Pak Moeldoko tidak relevan dengan sendirinya dan KLB Pak Moeldoko tidak relevan dengan sendirinya," ungkapnya.
Tetapi jika Demokrat memilih jalur lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dia menilai, hal tersebut justru akan membuat kader terpecah belah, sehingga partai akan semakin runyam.
"Saya rasa Partai Demokrat akan pecah belah, Partai Demokrat I dan Partai Demokrat II atau Partai Demokrat Perjuangan dan tentu tidak baik untuk Partai Demokrat," ucap Hasan.
Lebih lanjut, Hasan pesimistis Moeldoko akan memberikan masa depan yang baik untuk Partai Demokrat. Sebab, Kepala Staf Kepresidenan tersebut tidak memiliki latar belakang di partai berlambang bintang mercy.
"Tidak ada jaminan Pak Moeldoko akan lebih baik memimpin partai dibandingkan dengan AHY. Karena kan Pak Moeldoko sebenarnya tidak punya akar, tidak punya sejarah dengan Partai Demokrat ini, jadi belum tentu juga lebih baik," katanya.
Lain halnya dengan AHY. Walaupun kepimpinannya diragukan, tetapi AHY masih memiliki SBY.
"Jadi AHY-nya dipintu depan di ruang tamu sebagai figur pemimpin partai, tapi sebenanya dapur belakangnnya tetap diurus dibereskan Pak SBY. Jadi tentu Partai Demokrat lebih punya grade-nya ketika bersama Pak SBY," jelas Hasan.
Pengamat Politik SMRC
Pengamat politik SMRC Saiful Mujani menyatakan, KLB Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut) yang dilakukan oleh pejabat negara adalah sebuah kemerosotan besar dalam demokrasi Indonesia.
"Manuver KSP Moeldoko ini adalah membunuh PD. Demokrat mati di tangan seorang pejabat negara. Backsliding demokrasi Indonesia makin dalam, dan ini terjadi di bawah Jokowi yang ironisnya ia justru jadi presiden karena demokrasi," kata Mujani saat dikonfirmasi.
Mujani menyebut, masih belum terlambat bagi Jokowi menghentikan KLB Sumut yang dinilai merupakan pelemahan demokrasi oleh pejabat negara.
“Pelemahan demokrasi ini bisa dihentikan dengan mencegah negara ikut campur internal partai sebagai pilar utama demokrasi. Presiden punya wewenang lebih dari cukup untuk menghentikan kemerosotan demokrasi ini,” ucapnya.
Namun, Mujani menyebut sikap pemerintah terhadap KLB semua begantung pada komitmen Jokowi menjaga demokrasi.
"Bola berada di pemerintah," ucapnya.
Apabila Jokowi nantinya mengakui KLB Sumut, maka Partai Demokrat diambang kehancuran.
"Setelah KSP Moeldoko ditetapkan jadi Ketua Partai Demokrat lewat KLB, maka selanjutnya tergantung negara, lewat Menkumham dari PDIP, Yasonna mengakui hasil KLB itu atau tidak. Kalau mengakui, dan membatalkan kepengurusan PD AHY, lonceng kematian PD makin kencang," kata Mujani.
Dia menuturkan, apabila pemerintah mengakui KLB Sumut, maka Demokrat AHY akan bertarung di Mahkamah Agung (MA) dan berujung lewatnya peluang Pilpres 2024. Bila hal itu terjadi, maka Demokrat akan bernasib seperti Hanura setelah ditinggal Wiranto.
"2024 Demokrat bisa menjadi seperti Hanura sekarang, yang hilang di parlemen setelah Wiranto tak lagi mimpin partai itu. Saya tak bisa membayangkan PD bisa besar dan bahkan terbesar pada 2009 tanpa SBY. Suka ataupun tidak itu adalah fakta. Moeldoko bisa gantikan itu? Seperti mantan jenderal lainnya mimpin partai, KSP ini tak lebih dari Sutiyoso, Hendro, Edi Sudrajat yang gagal membesarkan partai," kata Mujani.
Advertisement
Pakar Hukum Tata Negara
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai tidak tepat bila pemerintah tak bisa ikut campur dalam kisruh internal Partai Demokrat. Menurutnya, negara mesti bertanggung jawab dalam urusan demokrasi.
"Jadi tidak tepat bila dikatakan bahwa itu urusan internal partai Demokrat, buat saya negara harus menjalankan tanggung jawabnya untuk menjaga demokrasi," katanya dalam diskusi Oligarki dan Koalisi Partai Mayoritas Tunggal, Minggu, 7 Maret 2021.
Menurutnya, Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat Deli Serdang Sumut tidak bisa disamakan dengan KLB Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kemudian, berbeda dengan konflik internal PDI pada 27 Juli 1996.
Bivitri mengatakan, bahwa KLB Demokrat adalah orang luar yang membajak partai. Sehingga, sikap KLB Demokrat Sumut sudah di luar batas.
"Kalau dikatakan ah sama aja ini kaya dulu PKB, kayak Megawati 27 Juli juga dulu begini, beda. Ini orang luar tiba tiba masuk, jadi secara konstitusional sudah kelihatan juga kerangka berpikirmya yang sudah diluar batas," tutur Bivitri.
"Ini malah (Moeldoko) menjadi ketua partai ini justru bagian dari negara apalagi beliau adalah ketua dari kantor staf presiden, jadi ini bener-bener directly under the president," tambah dia.
Maka dari itu, Bivitri menegaskan bahwa tidak tepat apabila negara tidak mau ikut campur dalam persoalan Demokrat. Harusnya, ketika isu Demokrat mencuat pemerintah harus mengambil sikap.
"Apa benar gak usah ikut campur urusan internal partai Demokrat? Menurut saya tidak begitu cara berpikirnya, Negara justru punya tanggung jawab untuk membuat demokrasi berjalan di negara ini, ketika ada isu seperti kemarin harusnya sudah ada langkah-langkah yang dilakukan," pungkas Bivitri.
Partai NasDem
Politikus Partai Nasdem Irma Suryani Chaniago meminta Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko agar mengundurkan diri dari jabatannya dipemerintahan.
Hal tersebut seiring terpilihnya Moeldoko jadi Ketua Umum Partai Demokrat usai kongres luar biasa (KLB) di Deli Serdang.
"Setelah ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat melalui KLB, sebaiknya Bapak Moeldoko mengundurkan diri saja dari KSP agar Presiden tidak terseret dengan masalah pribadi para pembantunya," kata Irma dalam keterangan pers.
Dia menilai sikap politik Moeldoko adalah urusan dan tanggung jawab pribadi. Menurut dia, sikap politik tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan Presiden Jokowi serta institusi kepresidenan dan Kantor Staf Presiden.
"Presiden tidak mencampuri urusan yang sifatnya pribadi dari para pembantunya, termasuk Pak Moeldoko," kata Irma.
Dia menilai situasi di dalam Partai Demokrat merupakan masalah dan urusan internal partai yang tidak ada hubungannya dengan presiden dan Lembaga Kepresidenan. Sebagai institusi, Kantor Staf Presiden, kata dia, tetap menjalankan tugas profesional mengawal program-program strategis nasional.
"Saya yakin Presiden tetap menjunjung tinggi dan menghormati prinsip demokrasi, termasuk dalam relasinya dengan partai politik, dengan tidak mencampuri masalah internal partai," jelas Irma.
Advertisement
PPP
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) prihatin dengan kisruh internal Partai Demokrat. Ketua DPP PPP, Achmad Baidowi menilai, dualisme dalam partai adalah hal yang menyakitkan.
"Itu urusan internal partai Demokrat kita tidak bisa mencampuri, cuma kami merasa prihatin ini kan menjadi PR parpol parpol di Indonesia, terkait dengan dualisme seperti ini karena PPP pernah mengalami hal yang sama 5 tahun lalu dan memang cukup menyakitkan, cukup melelahkan," kata Baidowi lewat pesan suara, Minggu, 7 Maret 2021.
PPP, lanjut dia, menyarankan Demokrat bisa memperbaiki sengketa internal. Namun, semua keputusan adalah hak sepenuhnya partai berlogo bintang mercy itu.
"Kalau saran diri kami ini kemelut internalnya bisa diselesaikan entah cara islah atau seperti apa tapi itu hanya saran, sepenuhnya itu menjadi kewenangan internal partai Demokrat yang memiliki hak otonom," ucap Baidowi.
Anggota DPR ini menambahkan, konflik dalam partai tidak enak dan melelahkan.
"Kami hanya memberi pengalaman konflik itu tidak mengenakkan, capek, effort-nya luar biasa dan hasilnya enggak maksimal," tandas Baidowi soal kisruh Demokrat.
Singgasana Demokrat Terbelah Dua
Advertisement