Cerita Pilu Pasien Covid-19, Sulit Dapat IGD dan Kehilangan Tante di Tenda Darurat

Rotua Situmorang hanya mampu bertahan selama dua jam di tenda RS Duren Sawit, sebelum akhirnya meninggal dunia sebelum mendapatkan penanganan intensif.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 24 Jul 2021, 18:06 WIB
Diterbitkan 24 Jul 2021, 18:06 WIB
RSUD BEKASI MENDIRIKAN TENDA
Petugas medis menyiapkan alat pendukung kesehatan di ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat) di RSUD Bekasi, Rabu (23/6/2021). Pemkot Bekasi mendirikan tenda untuk ruang IGD yang dapat menampung 30 pasien karena keterisian tempat tidur penuh akibat lonjakan kasus COVID-19. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Rabu dini hari, tepatnya 21 Juli 2021 diingat Desty Rama Rumondang sebagai kenangan paling sedih di keluarganya. Di tenda darurat RS Duren Sawit, Jakarta, ia harus melihat tantenya Rotua Situmorang meninggal dunia karena Covid-19.

"Saya pikir membawa Uak (tante) saya ke RS Anda (Duren Sawit) adalah jalan kesembuhan bagi Beliau, tapi ternyata jalan ajal," cerita Desty, Sabtu (24/7/2021).

Sebelum mengembuskan napas terakhirnya, Desty menyebut tantenya sempat menjalani isolasi mandiri satu hari. Akibat kondisi terus menurun hingga sesak napas dan saturasi oksigen di level 80-90 persen, keluarga akhirnya membawa Rotua ke RS Eka Hospital. 

"RS Eka Hospital kemudian menyarankan agar mencarikan RS yang masih tersedia tempat tidur di IGD. Lalu saya berkeliling Jakarta dengan guidance dari aplikasi Siranap," ujarnya.

Meski sempat kesulitan menemukan IGD, akhirnya lewat aplikasi Sinarap, Desty menemukan ada tiga rumah sakit di kawasan Jakarta Utara yang terdata masih memiliki tempat tidur di IGD.

"Mereka bilang IGD penuh, padahal data menunjukkan IGD masih tersedia," ucapnya.

Hampir putus asa, Desty mendapat saran dari kerabat untuk mengecek IGD RS Duren Sawit. Sebelum datang, Desty mengonfirmasi ketersediaan bed dan sempat lega saat diberitahu masih ada tempat tidur di IGD.

Dengan kondisi yang kian menurun, Rotua yang berusia 55 tahun itu tiba di RS Duren Sawit. Namun, betapa kaget dirinya saat tim medis menyebut tidak ada ruang lagi di IGD.

"Bagaimana bisa RS sebesar itu missmatching dengan database IGD," katanya.

"Keadaan sudah kritis begitu sesampainya di Duren Sawit, mau tak mau Uak harus stay di sana. Tapi saya sangat kecewa penanganannya sangat seadanya," ungkap Desty. 

 

** #IngatPesanIbu 

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

#sudahdivaksintetap 3m #vaksinmelindungikitasemua

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Kekecewaan Keluarga pada RS Duren Sawit

Kondisi tantenya yang kian kritis hanya ditempatkan di tenda dan dijanjikan akan dipindah ke ruang ICU apabila keadaan Rotua benar-benar kritis. Hal ini membuat keluarga semakin kecewa. 

"Mereka bilang kalau keadaan Uak makin kritis, akan dipindahkan ke ICU. Tapi nyatanya tidak, sampai datang ajalnya pun Uak masih di tenda, tidak dipindahkan ke ruang ICU," ceritanya.

Rotua hanya mampu bertahan selama dua jam di tenda RS Duren Sawit itu sebelum akhirnya meninggal dunia sebelum mendapatkan penanganan intensif dan dipindah ke ICU/IGD.

"Tidak sampai dua jam, Uak meninggal di tenda," ucapnya.

Desty mengaku sangat kecewa dengan penanganan RS pemerintah itu. Ia berharap semua RS menangani pasien tanpa pilih-pilih.

"Yth. Pimpinan RS Duren Sawit, Anda harus tahu, sampai saat ini penyesalan terbesar saya adalah memindahkan Uak saya dengan segala risiko hidup matinya dr RS Eka Hospital ke RS Duren Sawit hanya untuk menyerahkan nyawanya," katanya.

Desty berharap tetap diberi penjelasan RS Duret Sawit terkait berbagai informasi di luar rekam medis yang diminta pihak RS, sebelum menangani tantenya.

"Jelaskan apa korelasi data pekerjaan, pendidikan, suku dan semua yang berbau SARA dengan proses penanganan Covid bagi pasien," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya