Liputan6.com, Jakarta - Analis Kebijakan Transportasi Azas Tigor Nainggolan menanggapi soal Pergub Jakarta Nomor 66 tahun 2020 Tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Menurut Azas, peraturan tersebut tidak lengkap dan kurang dalam penerapannya.
"Seharusnya Pemprov Jakarta membuat sebuah peraturan gubernur (pergub) tentang pengujian kendaraan bermotor sebagaimana dimandatkan oleh Pasal 56 (8) Perda Jakarta Nomor 5 Tahun 2014. Artinya tidak bisa berpatok pada pengawasan atau uji emisi gas buang saja," ujar Azas dalam keterangan tertulis diterima, Minggu (31/10/2021).
Baca Juga
Azas menyatakan, ada 7 poin lain yang dikesampingkan dalam pergub itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 54 (8) UU No 22 tahun 2009 yakni emisi gas buang kendaraan bermotor, tingkat kebisingan, kemampuan rem utama, kemampuan rem parkir, roda depan, kemampuan pancaran dan arah sinar lampu utama, kedalaman alur ban.
Advertisement
Selain itu, lanjut dia, Pergub Nomor 66 tahun 2020 tidak ada mengatur rencana aparat pemda dan kepolisian yang akan menerapkan sanksi tilang serta denda hingga Rp 500 ribu kepada pelanggar.
"Sebagaimana diatur dalam pasal 17 Pergub Jakarta tentang Uji Emisi Gas Buang ini hanya memberikan sanksi disinsentif sesuai tarif parkir termahal di Jakarta. Jika memang sanksi ini akan dilakukan berarti lembaga hukum yakni aparat polisi serta aparat pemprov Jakarta telah tidak konsisten bertingkah laku melebihi peraturan dan ini akan mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum di Jakarta," terang dia.
Kesimpulannya, lanjut Azas, secara substansial Pergub Jakarta Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor bertentangan dengan dua peraturan di atasnya.
"Secara substansial Pergub Jakarta Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor bertentangan dengan peraturan di atasnya yakni UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Perda Jakarta Nomor 5 tahun 2014 tentang Transportasi," tegas dia.
Harap Tak Diterapkan
Azas pun berharap Pergub itu tidak dipaksakan untuk dijalankan atau diterapkan mulai tanggal 13 November 2021.
Sebab, kata dia, akan ada tindakan tidak taat hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri dan penolakan sebagai sikap perlawanan masyarakat.
"Ini bisa jadi melahirkan budaya hukum masyarakat dan memilih jalan tidak taat pada aturan," Azas menandasi.
Advertisement